Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Indonesia adalah negara dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman budaya, suku, ras, dan agama meniscayakan Bhinneka Tunggal Ika itu. Dimaklumi perbedaan merupakan sunatullah, sementara secara fikih perbedaan merupakan keniscayaan. Dalam konteks sosial-fikih, salah satu perbedaan yang cukup menyita perhatian umat Islam di tanah air adalah perbedaan dalam penetapan awal-awal bulan hijriah terutama awal bulan Ramadan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Zulhijah. Pertanyaannya adalah, apakah perbedaan itu sepenuhnya berdampak negatif? Atau, adakah dampak positif dari perbedaan itu? Apa saja dampak positifnya? Pertanyaan ini patut dan penting diajukan karena adanya kecenderungan segelintir orang yang teramat memandang pesimis dan cenderung frustasi melihat fenomena perbedaan penentuan awal bulan di tanah air, yang adakalanya mendorong segelintir orang itu beropini dan bernarasi diluar kapasitasnya.
Sepanjang historis abad peradaban Islam, diskursus dan perdebatan hisab-rukyat dan penentuan awal bulan hijriah kerap terjadi dan mewarnai khazanah fikih Islam, artinya dalam konteks ini perbedaan itu senantiasa ada dan lazim terjadi. Perbedaan dan perdebatan menjadi sesuatu yang lazim dan mewarnai khazanah fikih Islam dalam lintas mazhab. Dinamika dan dialektika para ulama (fukaha) ini merupakan sumbangan berharga bagi umat Islam di era modern. Dengan diskursus itu pula literasi dan wawasan umat dalam masalah ini terus tumbuh, ini adalah sesuatu yang positif.
Dalam konteks Indonesia, bila diperhatikan sesungguhnya ada banyak hikmah dan dampak positif yang didapat dengan adanya perbedaan penentuan awal bulan hijriah ini, baik secara sosial dan terlebih secara keilmuan, diantaranya masyarakat mulai ‘melek’ dan terdorong untuk mengetahui akar dan fenomena masalah ini, dan setelah itu masyarakat dapat menerima realita yang ada betapapun masyarakat menyimpan harapan untuk wujudnya persatuan.
Hikmah dan dampak positif lainnya perbedaan ini menjadi faktor maraknya kajian ilmu falak di dunia akademik perguruan tinggi yang ditunjukkan dengan intensnya kajian masalah hisab-rukyat dan perbedaan penentuan awal bulan hijriah dalam bentuk tugas makalah mata kuliah, tugas akhir skripsi, tesis, dan disertasi. Dengan ini pula ada banyak mahasiswa yang memeroleh gelar sarjana, master, dan doktor karena meneliti dan mengangkat isu perbedaan penentuan awal bulan hijriah di Indonesia. Selain itu para dosen pengampu mata kuliah ilmu falak juga terdorong dan tertuntut meneliti tentang masalah ini dengan luaran artikel jurnal ilmiah, yang semua ini menambah khazanah dan literasi masalah ini. Selain itu adakalanya pula lembaga-lembaga di luar perguruan tinggi juga melakukan kajian atas masalah ini seperti pernah dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dan lainnya. Tidak dipungkiri kajian-kajian yang dilakukan berbagai lembaga ini memberi sumbangan penting lagi berharga bagi umat.
Sementara itu secara formal akademik, perbedaan penentuan awal bulan hijriah menjadi salah satu jalan dan inisiasi penting pembukaan program studi ilmu falak di perguruan tinggi keagamaan Islam, dimana diskursus hisab-rukyat dan perbedaan penentuan awal bulan kerap menjadi salah satu analisis dalam borang yang dinarasikan. Tercatat saat ini ada beberapa program studi ilmu falak di Indonesia dimana yang terakhir adalah prodi ilmu falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) yang merupakan perguruan tinggi swasta satu-satunya. Diperkirakan akan lahir lagi prodi-prodi ilmu falak baru di perguruan tinggi lainnya.
Selain itu, dengan perbedaan ini juga memberi peluang dan kesempatan bagi sejumlah orang (tokoh) baik yang secara spesifik mendalami ilmu falak (astronomi) maupun yang hanya sekedar menekuninya untuk menjelaskan masalah ini, dengan itu pula sejumlah orang (tokoh) itu mendapat ‘panggung’ akademik dan pada akhirnya semakin dikenal publik, yang betapapun sekali lagi terlepas penjelasannya komprehensif atau tidak.
Hikmah dan dampak positif penting lainnya lagi adalah semakin mengemukanya kajian dan pemikiran tentang Kalender Islam Global, terlepas dari penerimaan-penolakan dan pesimisme-optimisme tentangnya, namun yang jelas diskursus tentang ini merupakan langkah awal menuju terwujudnya unifikasi kalender Islam secara internasional. Ini tidak lain berangkat dari keprihatinan umat Islam hari ini yang belum memiliki kalender yang bersifat unifikatif-internasional, sementara kalender Masehi telah ada dan telah mapan pula. Disini muncul pertanyaan mengapa agama Islam yang telah berusia 14 abad lebih saat ini belum memiliki kalender Islam yang bersifat global? Bukankah Islam menghargai ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi? Bukankah Islam sangat menekankan arti penting pengorganisasian waktu sebagaimana spirit QS. Al-‘Ashr [103] ayat 1-3? Maka perbedaan dan perdebatan yang terjadi menumbukan pemikiran di kalangan umat untuk mewujudkan Kalender Islam Global ini, tentu ini sesuatu yang positif, bukan negatif.
Demikian beberapa dampak positif yang dapat ditarik dari fenomena perbedaan penentuan awal bulan hijriah di tanah air, yang tentunya masih ada banyak lagi dampak-dampak positif lainnya, yang selain tentunya juga harus diakui terdapat dampak negatif yang didapat akibat perbedaan tersebut. Namun disini penulis berkepentingan menggambarkan secara objektif bahwa perbedaan itu selain merupakan keniscayaan dan memiliki dampak negatif, namun juga memiliki nilai dan dampak positif yang bisa didapat bagi masyarakat maupun kaum intelektual. Ini sekaligus menjawab pandangan dan pernyataan sejumlah kalangan yang terlampau pesimis dengan adanya perbedaan penentuan awal bulan hijriah di tanah air. Wallahu a’lam