Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Pada tulisan sebelumnya telah diuraikan secara singkat mengenai prinsip-prinsip dalam Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT). Dalam tulisan ini akan dikemukakan secara singkat tentang syarat-syarat dalam KHGT. Syarat-syarat ini merupakan sesuatu yang harus ada dan melekat dalam KHGT, yang jika tidak ada atau tidak terpenuhi maka KHGT tidak akan pernah terwujud. Syarat-syarat dalam KHGT itu setidaknya ada enam syarat yang saling terkait dan berhubungan antara satu dengan lainnya.
Syarat pertama, KHGT harus mencakup aspek ibadah dan sipil (muamalah). Dalam praktiknya KHGT harus mencakup urusan ibadah dan muamalah (sipil). Jika KHGT hanya dimaksudkan salah satunya saja maka narasi “global” yang didengungkan pada dasarnya tidak punya arti penting. Karena itu secara praktis-implementatif KHGT harus mencakup aspek penjadwalan waktu-waktu ibadah, terutama penetapan awal puasa dan hari raya, dan saat yang sama harus mencakup penjadwalan waktu-waktu terkait sipil-administratif dan muamalah secara akurat dan konsisten. Isyarat bahwa kalender itu harus mencakup ibadah dan sipil diantaranya dapat dilihat dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 189,
يسئلونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج (سورة البقرة (02) : 189)
“Mereka bertanya kepadamu tentang ahillah, katakanlah ahillah itu sebagai pertanda waktu untuk manusia dan ibadah haji” (QS. Al-Baqarah [02] : 189).
Kata “linnas” dalam ayat ini isyarat bahwa kalender itu harus mencakup urusan manusia, sedangkan kata “al-hajj” mengisyaratkan bahwa kalender itu untuk kaitan dengan ibadah yang diwakili dengan ibadah haji sebagai ibadah paling puncak seorang Muslim.
Syarat kedua, KHGT harus berdasarkan siklus bulan kamariah. Hal ini tidak lain sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 189 dan QS. At-Taubah [09] ayat 36,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ (سورة التوبة (09) : 36)
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa” (QS. At-Taubah [09]: 36).
Dalam ayat ini (dan dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 189), disebutkan bahwa sistem waktu dalam Islam adalah berdasarkan peredaran bulan yang ditandai dengan proses dan fase “al-ahillah” (hilal-hilal). Demikian lagi kalender bulan diisyaratkan dalam hadis-hadis tentang rukyat bahwa pergantian hari dan tanggal adalah saat hilal berada pada kondisi dan posisi tertentu saat sore hari. Karena itu pula dalam KHGT mengharuskan menempatkan bilangan bulan tidak kurang 29 hari dan tidak lebih 30 hari, sesuai durasi sinodis peredaran bulan mengelilingi bumi.
Syarat ketiga, KHGT harus bersifat global. Praktik dan penerapan KHGT harus bersifat global-unifikatif dalam pengertian menganut satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Dengan sifat global pada KHGT ini meniscayakan ada beberapa hal yang harus direkonstruksi ulang seperti pemahaman posisi hilal di bawah ufuk dan penggunaan hisab. Bentuk bumi yang bulat serta jangkauan keterlihatan hilal yang tidak merata di seluruh dunia menyebabkan perlu ijtihad dan cara pandang baru, dengan catatan selama tidak bertentangan dengan dalil al-Qur’an dan sunah. Sifat global pada KHGT ini pada dasarnya mencerminkan kesatuan dan universalisme ajaran Islam (QS. Al-Anbiya’ [21]: 92] dan QS. Al-Mu’minun [23]: 52),
اِنَّ هٰذِهٖٓ اُمَّتُكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةًۖ وَّاَنَا۠ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْنِ (سورة الأنبياء (21) : 92
“Sesungguhnya ini (agama) adalah agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhan kamu, maka sembahlah Aku” (QS. Al-Anbiya’ [21] : 92).
وَاِنَّ هٰذِهٖٓ اُمَّتُكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّاَنَا۠ رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْن (سورة المؤمن (23) : 52
“Dan sesungguhnya ini (agama) adalah agama kamu, agama yang satu, dan aku adalah Tuhan kamu maka bertakwalah kepadaku” (QS. Al-Mu’min [23]: 52).
Berikutnya KHGT juga menjadi implementasi bahwa Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi alam dan untuk seluruh manusia (QS. Al-Anbiya’ (21): 107 dan QS. Saba’ (34): 28).
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ (سورة الأنبياء (21) : 107)
“Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107).
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا كَاۤفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ (سورة سبأ (34) : 28)
“Dan tidaklah kami mengutusmu melainkan untuk seluruh manusia sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Saba’ [34]: 28).
Syarat keempat, syarat telah terjadi ijtimak (konjungsi) di seluruh muka bumi. Ijtimak adalah saat bulan berada diantara matahari dan bumi (fase wane, al-mahāq), dimana wajah bulan tidak tampak dari bumi. Ijtimak merupakan suatu peristiwa saat bulan dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat. Para astronom sepakat bahwa peristiwa ijtimak merupakan batas penentuan secara astronomis antara bulan kamariah yang sedang berjalan dengan bulan kamariah berikutnya. Ijtimak atau konjungsi merupakan syarat dan standar pergantian awal bulan kamariah. Peristiwa ijtimak sekaligus menandakan telah sempurnanya satu peredaran sinodis bulan mengelilingi bumi (QS. Yasin [36]: 39).
والقمر قدرنه منازل حتى عاد كالعرجون القديم (سورة يس (36) : 39)
“Dan telah kami tetapkan tempat peredaran bulan sehingga setelah sampai ke tempat peredaran yang terakhir, kembalilah ia seperti tandan tua” (QS. Yasin [36]: 39).
Karena itu dalam KHGT tidak boleh menyebabkan umat Muslim di suatu tempat memasuki bulan baru sementara ijtimak (konjungsi) belum terjadi. Ijtimak ini juga hendak memastikan bahwa bilangan bulan kamariah tidak kurang 29 hari dan tidak lebih 30 hari.
Syarat kelima, syarat imkan rukyat. KHGT pada dasarnya mengakomodir dan mempertimbangkan hisab dan rukyat secara sekaligus. Hal ini tampak dari penetapan ambang batas (imkan rukyat) yaitu 5-8 (ketinggian hilal 5 derajat dan sudut elongasi 8 derajat). Dalam hal ini KHGT tidak boleh menjadikan umat Muslim memulai bulan baru kamariah sebelum terjadinya imkan rukyat 5-8 di suatu tempat, dimana saja. Syarat ini tidak lain hendak menempatkan rukyat dan imkan rukyat dalam posisi dan porsi yang setara, bahwa keduanya diakomodir. Seperti diketahui paham rukyat, demikian juga imkan rukyat, masih dipegang kuat oleh umat Islam hari ini. Karena itu pilihan parameter imkan rukyat (5-8) dalam KHGT merupakan kompromi antara hisab dan rukyat, atau antara rukyat dan imkan rukyat.
Syarat keenam, tidak boleh menunda masuknya awal bulan bagi umat Muslim di suatu tempat pada saat hilal telah terlihat atau memenuhi imkan rukyat. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw yang menyatakan,
إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا (رواه البخاري)
“Apabila kamu melihat hilal maka berpuasa, dan apabila kamu melihatnya maka berhari-raya lah” (HR. Al-Bukhari).
Pernyataan Nabi Saw menegaskan bahwa tatkala hilal telah terlihat maka awal bulan harus dinyatakan tiba, dimana keterlihatan yang dimaksud dalam hadis ini bersifat umum alias dimana saja. Ini artinya tidak boleh umat Muslim di suatu tempat yang telah melihat hilal (atau hilal telah memenuhi imkan rukyat 5-8) untuk menunggu atau menunda di hari berikutnya hanya karena di tempat lain hilal belum terlihat atau belum memenuhi imkan rukyat 5-8. Dalam hal ini berlaku prinsip matlak global yaitu wilayah yang belum melihat hilal, belum imkan rukyat, bahkan posisi hilal masih di bawah ufuk, mengikuti dan merujuk wilayah lain yang sudah melihat hilal atau telah memenuhi imkan rukyat 5-8.
Demikian enam syarat dalam KHGT, dimana antara satu dengan lainnya saling terkait. Syarat-syarat ini sekali lagi tampak berbeda dan asing dari syarat-syarat penentuan awal bulan atau penyusunan kalender Islam sebagaimana berkembang selama ini, terutama di Indonesia yang menganut prinsip lokal dan konsep lokal. Karena itu secara pasti syarat-syarat ini sangat berpotensi mendapat penolakan dan pesimisme, sebagaimana penolakan dan pesimisme pada prinsip-prinsip KHGT sebelumnya. Wallahu a’lam[]