Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Tidak dipungkiri, penentuan awal bulan hijriah di Indonesia sangat dinamis dan dialektis. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Pemerintah (Kemenag) merupakan tiga aktor utama yang kerap muncul ke permukaan, betapapun secara spesifik Muhammadiyah adalah yang kerap disorot, dikritik, dan bahkan distigma negatif karena dianggap selalu berbeda dengan Pemerintah dan ormas lainnya. Stigma negatif itu diantaranya intens datang dari salah seorang pakar anggota tim Kalender Hijriah Indonesia Kemenag (sekarang tim Hisab Rukyat) utusan BRIN (sebelumnya LAPAN). Pakar ini menyatakan bahwa Wujudul Hilal secara konsep sangat sederhana dan sudah usang yang mana ini bukan stigma baru namun stigma lama yang diulang kembali. Terkini, sang pakar ini memberi stigma baru yang juga cukup tendensius yang diarahkan secara langsung bukan kepada konsep Wujudul Hilal-nya namun kepada Muhammadiyah sebagai organiasi. Tokoh tersebut menyatakan Muhammadiyah sebagai organisasi yang mengedepankan ego dan mengabaikan ukhuwah islamiyah. Kritik tendensius itu dipublis di media sosial dengan judul “Ukhuwah Islamiyah kok Dikalahkan Ego Organisasi”.
Sejatinya, segenap kritik ilmiah yang diberikan dan ditujukan kepada anggitan Wujudul Hilal maupun secara langsung ditujukan kepada Muhammadiyah sebagai organisasi merupakan hal alamiah dan dipastikan itu semua menjadi masukan bagi Muhammadiyah. Dinamika dan dialektika yang terjadi dalam diskusi dan rapat-rapat internal Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menunjukkan tingginya dinamika dialog, debat, dan kritik, yang tentu tidak banyak diketahui pihak eksternal. Sesuai tabiatnya, Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki karakter progresif dan berkemajuan, yang dalam konteks penentuan awal bulan Muhammadiyah memiliki analisis historis mendalam dan pada saat yang sama memiliki sorotan maslahat jauh kedepan yang ditunjukkan dengan gagasannya tentang Kalender Islam Global, yang betapapun hingga kini belum membuahkan hasil. Namun setidaknya Muhammadiyah telah membuka cakrawala umat tentang arti pentingnya yang ditunjukkan dengan mulai maraknya pengkajian Kalender Islam Global oleh sejumlah peneliti, terutama di Perguruan Tinggi. Bahkan saat ini mulai muncul keinginan di tengah masyarakat akan wujudnya Kalender Islam Global dimana masyarakat mengharapkannya segera terwujud. Muhammadiyah juga sesungguhnya peka terhadap fenomena perbedaan penentuan awal bulan di tengah masyarakat dan sangat disadari ini merupakan keprihatinan dan sesuatu yang tidak ideal, namun dengan pertimbangan historis dan maslahat yang lebih kekal tadi Muhammadiyah masih menggunakan Wujudul Hilal dan bersiap beralih kepada Kalender Islam Global, yang harus berbeda dengan Pemerintah (Kemenag) yang ini dikritisi oleh banyak pihak.
Karena itu, mengkritisi sebuah konsep/metode Muhammadiyah dengan menyasar aspek diluar substansi merupakan sesuatu yang aneh dan diluar kepatutan. Bagaimanapun sebuah ijtihad dalam fikih Islam, terlepas dari keunggulan dan kekurangannya tentu harus dihormati, dan manakala tidak sesuai dan atau tidak memenuhi keinginan suatu pihak tentu tidak boleh dinilai secara tendensius, apatah lagi di stigma negatif. Cara-cara dan sikap semacam ini menunjukkan frustasi dan kegeraman karena keinginan yang tak kunjung terwujud, padahal dalam konteks ini yang patut adalah memaksimalkan ihtiar, bukan memaksakan hasil. Disini tampak perlunya pemahaman rasional-irfani, bukan semata pemahaman rasional-epistemologi, andai sentuhan dan pemahaman rasional-irfani ini dipahami secara baik niscaya tidak akan muncul diksi dan narasi sinis-provokatif, sebab dalam syariat cara menempati arti penting, bahkan sebuah adagium menyatakan “al-adab fauqa al-‘ilm” (adab itu di atas ilmu), artinya secanggih apapun ilmu (epistemologi) tidak boleh mengabaikan aspek nilai (irfani).
Dalam “Bahtsul Masail Maudlu’iyah” tahun 2019 M, Nahdlatul Ulama mengangkat dan merumuskan definisi Non-Muslim dan Kafir, yang mana pembahasan ini terbilang sensitif. Dalam sebuah group WhatsApp yang penulis ikuti, pernah ada yang ‘mengusik’ tidak secara substansi ijtihad kafir dan non-Muslim ini, maka yang terjadi adalah munculnya reaksi ‘keras’ dari beberapa kader dan tokoh Nahdlatul Ulama menjelaskan masalah tersebut, dan tampak tokoh-tokoh tersebut sedikit geram dan kesal karena isu kafir dan non muslim itu dinarasi secara sindiran dan terkesan sinis. Pesan dari reaksi para tokoh Nahdlatul Ulama ini adalah bahwa sebuah produk ijtihad, yang sekali lagi terlepas dari plus-minusnya harus dihormati, tidak boleh diolok-olok, dikritisi secara tidak objektif, terlebih di stigma secara negatif.
Secara sosiologis, perbedaan penentuan awal bulan di Indonesia sesungguhnya telah terjadi sejak zaman pra-kemerdekaan, yang pada awalnya memang menyebabkan umat bingung dan bertanya-tanya, namun seiring waktu umat kini mulai memahami dan dapat menyikapinya secara bijak. Justru, adakalanya narasi pesimis dan provokatif itu muncul dari para ahli di bidang ini, narasi yang dibangun biasanya selalu dan dengan dalih ‘umat bingung’, ‘umat bertanya-tanya’ dan seterusnya. Padahal sekali lagi kini umat sudah terbiasa dan merasa tidak ada masalah, riuh perbedaan itu hanya terjadi beberapa hari saja, setelahnya umat melaksanakan rutinitasnya seperti biasa.
Nahdlatul Ulama adalah ormas yang memegang rukyat dan konsisten dengan metode rukyatnya, sebaliknya Muhammadiyah adalah ormas yang memegang hisab dan konsisten dengan metode hisabnya. Dua ormas ini saling menghormati ijtihad masing-masing, betapapun dalam diskursus hisab-rukyat terdapat perdebatan hebat. Nahdlatul Ulama tidak mengkritisi Muhammadiyah secara tendensius, sebaliknya Muhammadiyah juga tidak mengkritisi rukyat Nahdlatul Ulama secara sinis. Dua ormas ini sadar bahwa ijtihad harus dihormati, perbedaan adalah niscaya. Hanya saja dalam konteks penentuan awal bulan hijriah saat ini Nahdlatul Ulama berada dalam kesempatan dan momentum yang menguntungkan, dimana sejauh ini Nahdlatul Ulama keputusannya kerap bersesuaian dengan Pemerintah (Kemenag) dengan konsep 3-6.4 nya, yang notabenenya lagi Menteri Agama dan jajaran yang mengurusi masalah hisab-rukyat di Kementerian ini dominan berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama, ini sesuatu yang tidak bisa ditutupi apalagi dipungkiri. Patut ditunggu, bagaimana nantinya jika jabatan politis Menteri Agama ini, plus pejabat-pejabat yang menangani masalah hisab rukyat nantinya dipegang oleh kalangan Muhammadiyah. Wallahu a’lam