Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Parameter atau kriteria dalam Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) adalah unsur penting yang ia satu paket dengan prinsip dan syarat. Parameter atau kriteria sifatnya fleksibel alias dapat diubah sesuai hasil pengkajian dan kesepakatan para pengusung atau penggunanya. Adapun draf putusan parameter KHGT atau putusan Muktamar Turki 1437 H/2016 M ini sendiri tertera dalam dokumen berjudul “al-Milaff al-Muḥtawī Ma‘āyīr Masyrū‘ai at-Taqwīm al-Uḥādī wa aṡ-Ṡunā’ī al-Manwī Taqdīmuhu ilā al-Mu’tamar Ma‘a an-Namāżij at-Taṭbīqiyyah” yang merupakan kertas kerja yang disiapkan oleh Panitia Ilmiah (Pengarah) Muktamar dan dipresentasikan saat Kongres Turki tahun 1437 H/2016 M.
Adapun parameter dalam KHGT, yang notabenenya berasal dari hasil keputusan Muktamar Turki tahun 1437 H/2016 M tersebut adalah sebagai berikut: parameter pertama, bahwa seluruh kawasan permukaan bumi (dunia) dianggap dan dinyatakan sebagai satu kesatuan, dimana awal bulan kamariah (tanggal satu) dimulai secara serentak di seluruh kawasan bumi. Parameter ini merupakan parameter fundamental dan sekaligus menjadi ciri dalam KHGT. Adapun argumen parameter ini tidak lain melalui konsep dan konteks kesatuan atau unifikasi sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an (lihat : QS. Al-Anbiya’ [21] : 92) dan (QS. Al-Mu’min [23]: 52), dan universalisme ajarah Islam (lihat : QS. Al-Anbiya’ [21]: 107). Selain itu juga didukung dengan prinsip atau aspek sipil dan ibadah (lihat : QS. Al-Baqarah [02] ayat 189). Ayat-ayat ini secara gamblang menegaskan sifat global-unifikatifnya.
Secara konseptual, parameter pertama ini tampak merujuk pada konsep kalender yang diusung oleh Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq dari Maroko. Konsep kalender Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq tertera dalam karyanya yang berjudul “at-Taqwim al-Qamary al-Islamy al-Muwahhad” (Kalender Kamariah Islam Terpadu). Seperti diketahui, Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq adalah tokoh yang secara tegas merumuskan konsep satu hari satu tanggal di seluruh dunia, tokoh ini juga adalah yang mempopulerkan konsep hari universal (yaum syumuly).
Parameter kedua, bahwa bulan baru dinyatakan dimulai apabila di bagian belahan bumi manapun, saat sebelum jam 00.00 GMT, telah terpenuhi kriteria sudut elongasi 8 derajat atau lebih dan ketinggian hilal di atas ufuk saat matahari terbenam minimal 5 derajat (atau dikenal dengan parameter 5-8). Adapun alasan menetapkan sebelum jam 00.00 GMT ini merujuk kepada parameter dalam Kalender Ummul Qura fase kedua (1393 H/1973 M sampai 1419 H/1998 M) yang menyatakan apabila konjungsi bulan-matahari terjadi sebelum pukul 00:00 (tengah malam) menurut waktu universal (GMT), maka malam itu dan keesokan harinya adalah bulan baru.
Sementara itu, keterlihatan dan atau keterpenuhan ambang batas 5-8 itu terjadi dimana saja saat pertama kali, bukan di suatu tempat tertentu, dan tidak pula mengharuskan terlihat di seluruh permukaan bumi (negara), ini merujuk pada putusan Muktamar Istanbul 1978 M (butir ke-4) yang menjelaskan bahwa untuk menetapkan masuknya awal bulan bukan berdasarkan rukyat di satu tempat tertentu namun dimana saja (min makanin ma min sath al-ardh). Seperti diketahui, Muktamar Istanbul 1398 H/1978 M ini sangat fenomenal dengan dihadiri utusan-utusan dari berbagai negara dunia, dimana Indonesia juga mengirimkan delegasi. Secara faktual, anggitan 5-8 ini secara visibilitas terbilang cukup logis, dimana hilal dalam kondisi dan posisi sedemikian ini dimungkinkan akan dapat terlihat.
Karena itu pula dalam Muktamar Turki 1437 H/2016 M anggitan 5-8 ini tidak banyak dibahas, dalam catatan maupun dokumen yang ada, diantarannya buku “Mu’tamar Tauhid at-Taqwim al-Hijry ad-Dauly” (Muktamar Penyatuan Penanggalan Hijriah Internasional) [28-30 Mei 2016 M/21-23 Syakban 1437 H] yang merekapitulasi peristiwa Muktamar, sama sekali tidak menjelaskan mengapa memilih dan menetapkan 5-8. Sehingga sekali lagi dapat dikatakan anggitan 5-8 ini merupakan adaptasi dan akomodasi utuh putusan Muktamar Istanbul 1398 H/1978 M. Seperti diketahui pula bahwa dalam Muktamar Turki 1437 H/2016 M panitia dan peserta lebih fokus kepada memilih dan mendiskusikan Kalender Islam yang akan disepakati itu yang bersifat global-tunggal (uhady) atau zonal (tsuna’iy), dan seperti diketahui mayoritas peserta memilih dan menginginkan yang bersifat global-tunggal.
Parameter ketiga, merupakan pengecualian, yaitu berupa koreksi atas praktik dan penerapan 5-8, yaitu manakala kriteria tersebut terpenuhi setelah lewat tengah malam, maka dalam kondisi ini bulan baru akan dinyatakan tiba dengan ketentuan apabila imkan rukyat 5-8 telah terjadi di suatu tempat dimanapun dan ijtimak di New Zealand terjadi sebelum fajar, berikutnya imkan rukyat tersebut terjadi di wilayah daratan Benua Amerika. Adapun alasan mengapa ditetapkannya ijtimak di New Zealand adalah karena negara ini dianggap sebagai paling timur dunia, sedangkan benua Amerika sebagai kawasan paling barat dunia.
Demikian tiga parameter dalam KHGT yang seluruhnya saling berkaitan. Bila diperhatikan, parameter KHGT yang notabenenya merupakan adopsi dari hasil keputusan Muktamar Turki tahun 1437 H/2016 M memiliki latar dan akar historis yang kuat. Dari uraian di atas tampak bahwa KHGT (atau putusan Muktamar Turki 1437 H/2016 M) memuat tiga sumber hostoris. Pertama, berasal dari konsep Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq melalui konsep kesatuan hari atau prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Kedua, berasal dari konsep kalender Ummul Qura fase kedua yaitu terkait ijtimak sebelum jam 00:00 atau sebelum tengah malam. Ketiga, dari hasil putusan Muktamar Istanbul tahun 1398 H/1978 M yang merumuskan imkan rukyat 5-8 (ketinggian hilal 5 derajat dan sudut elongasi 8 derajat) serta rukyat dimana saja. Karena itu sekali lagi putusan Muktamar Turki 1437 H/2016 M ini sesungguhnya memiliki akar historis yang kuat, bukan ujug-ujug, namun dengan proses yang cukup panjang, yang dalam proses itu Indonesia sesungguhnya tercatat dan punya andil yaitu saat mengirimkan delegasi ke Muktamar Istanbul 1398 H/1978 M. Bahkan dalam putusan Muktamar Istanbul 1398 H/1978 M tersebut (pada butir ke-6) disebutkan bahwa Indonesia sebagai salah satu kawasan (negara) yang tergabung dalam Tim Kalender (lajnah at-taqwim) yang bertugas untuk merealisasikan putusan muktamar tersebut bersama negara-negara lainnya yaitu Bangladesh, Turki, Tunisia, Aljazair, Arab Saudi, Irak, Qatar, Kuwait, dan Mesir.
Namun tidak dipungkiri, parameter KHGT ini bersifat fleksibel alias masih dapat diubah sesuai kesepakatan dan hasil pengkajian. Harus diakui pula bahwa tiga parameter ini memiliki sejumlah kekurangan yang patut untuk disempurnakan. Karena itu kritik konstruktif dan solutif dari berbagai pihak untuk parameter ini diperlukan guna mengakurasikan sistem dan kalender (KHGT) yang akan diterapkan. Selain itu, riset berkelanjutan tentang hilal di dunia Islam patut digalakkan sebagai sumber data sekaligus informasi bagi sesama pengkaji hilal. Bagaimanapun, anggitan 5-8 yang diputuskan secara aklamasi dengan mengadopsi dari putusan Muktamar Istanbul 1398 H/1978 M patut diuji secara empirik, yang jika belum sesuai atau tidak tepat maka seyogianya diganti dengan hasil rukyat terkini. Wallahu a’lam[]
Semakin mendalam, semoga menjadi bagian dari ikhtiyar dan ijtihad menuju ukhuwah islamiyah alamiyah…
Aamiin