Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Awal Zulhijah 1445 H di seluruh dunia telah definitif, dimana ada dua hari (tanggal) berbeda. Arab Saudi menjatuhkan 1 Zulhijah 1444 H pada 7 Juni 2024 M berdasarkan laporan bahwa hilal terlihat, sementara di Indonesia (Muhammadiyah, Kemenag RI, Nahdlatul Ulama) menetapkan 8 Juni 2024 M. Muhammadiyah menetapkan berdasarkan Hisab Hakiki Wujudul Hilal yaitu dengan menggenapkan bilangan Zulkaidah 30 hari, sementara Kementerian Agama RI (Pemerintah) dan Nahdlatul Ulama menetapkan berdasarkan keterlihatan hilal, selain telah memenuhi ambang batas minimal (imkan rukyat) 3-6.4. Di Arab Saudi, saat pelaksanaan rukyat ketinggian hilal satu derajat lebih, dimana dengan kondisi dan posisi hilal yang sedemikian ini ada yang melaporkan melihat dan diterima oleh otoritas disana.
Seperti biasanya perbedaan antara Indonesia dan Arab Saudi kali ini cukup menimbulkan pertanyaan dan perdebatan, dimana ada sebagian umat Islam di dunia, bahkan jumlahnya cukup besar, yang meyakini bahwa dalam penetapan idul adha (termasuk penetapan hari arafah guna puasa sunah arafah) berdasarkan penetapan negara Arab Saudi, bukan berdasarkan tempat (negara) lain. Paham dan keyakinan semacam ini sejatinya telah lama berkembang dan merupakan fenomena berulang. Secara fikih fenomena ini terbilang teramat biasa, namun secara sosiologis fenomena ini problematik dan merupakan keprihatinan umat Islam secara global. Bagaimana mungkin dalam satu momen ibadah krusial semacam idul adha dan wukuf di arafah terjadi perbedaan dan perdebatan, padahal semua umat Islam sepakat bahwa Islam adalah agama yang satu (ummah wahidah), agama yang menajdi rahmat bagi dunia (rahmah li al-‘alamin), agama yang mengapresiasi waktu dan manajemennya, dan lain sebagainya.
Karena itu, tidak ada alasan lain bahwa fenomena perbedaan idul adha dan puasa arafah ini menjadi alasan kuat lagi mendesak akan hadirnya sebuah kalender Islam yang bersifat global-internasional, yaitu sebuah sistem penjadwalan waktu yang terpadu, terintegrasi, unifikatif, dan menyatukan seluruh aktivitas ibadah dan sipil-administratif umat Islam di seluruh dunia. Secara praktis alasan dan keinginan ini memang tampak ambisius dan terkesan sulit, namun apapun itu ihtiar kalender Islam yang bersifat internasional harus tetap diupayakan, apapun tantangan dan resistensinya, realita kebutuhan umat Islam dunia dan pesan esensial al-Qur’an tentang waktu menjadi dasar dan alasan kuatnya. Gagasan kalender yang bersifat global-internasional sendiri (diantaranya KHGT) pada akhirnya waktu yang akan membuktikannya. Gagasan ini optimis akan terwujud baik di generasi sekarang maupun di beberapa generasi yang akan datang karena merupakan kebutuhan esensial umat Islam secara global.
Karena itu pula ijtihad KHGT Muhammadiyah yang telah sejak lama digagas dan disosialisasikan menjadi dan merupakan opsi konkret carut-marut penjadwalan waktu dunia Islam hari ini, terutama dalam perbedaan hari arafah dan idul adha. KHGT Muhammadiyah yang notabenenya berakar dan berasal dari hasil putusan Kongres Turki 1437 H/2016 M sekali lagi menjadi opsi realistis umat Islam di seluruh dunia, terlepas dari segala kekurangan pada prinsip, syarat, dan parameternya.
Secara praktis, perbedaan puasa arafah dan idul adha merupakan fenomena yang bersifat komunal-internasional, dimana wukuf di arafah yang menjadi rukun utama dalam pelaksanaan ibadah haji, sementara di tempat (negara) lain terdapat anjuran kuat (sunnah mu’akkadah) untuk melaksanakan puasa sunah arafah yang pahalanya dapat menghapuskan dua tahun, tahun sebelumnya dan tahun akan datang. Faktanya saat ini ada dua praktik yang berkembang yaitu berdasarkan tanggal 9 Zulhijah di tempat (negara) mana seseorang berada, dan ada pula yang mendasarkan secara mutlak dan praktis berdasarkan peristiwa dan atau pelaksanaan wukuf di arafah, alias mengikut keputusan negara Arab Saudi. Dua pandangan ini memiliki alasan dan argumen masing-masing, dan saat yang sama masing-masing memiliki pengikut yang cukup banyak dan fanatik. Namun terlepas dari kelegalan dua arus pandangan ini, perbedaan itu jelas merupakan praktik dan pemandangan tidak ideal, terlebih pelaksanaan puasa sunah arafah dan wukuf di arafah ini merupakan peristiwa internasional. Sungguh merupakan pemandangan tidak ideal dan merupakan keprihatinan bagi umat Islam yang memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah yang notabenenya begitu menekankan arti penting waktu, manajemen dan pengorganisasiannya.
Karena itu sekali lagi penyatuan hari arafah dan idul adha menjadi faktor kuat lagi mendesak kehadiran KHGT. Penyatuan hari arafah dan idul adha memiliki urgensi lebih besar dari momen ibadah lainnya karena demikian besarnya atensi masyarakat Muslim dunia terhadapnya, tidak lain karena peristiwa haji dan wukuf di arafah itu.
Dalam konteks penerapan KHGT (Kongres Turki 1437 H/2016 M), peran dan posisi negara Arab Saudi sangatlah krusial, tidak lain karena peristiwa wukuf dan ritual ibadah haji berada di kota Makkah yang notabenenya dalam teritorial negara Arab Saudi. Seperti diketahui, dalam implementasinya keputusan Arab Saudi menetapkan awal Zulhijah 1445 H jatuh pada 7 Juni 2024 M (sehingga 9 Zulhijah jatuh 15 Juni dan 10 Zulhijah jatuh 16 Juni) secara implementasi KHGT-Turki 1437 H/2016 M sejatinya telah sesuai, hanya saja seperti diketahui dalam penetapan awal Zulhijah 1444 H ini Arab Saudi menetapkan bukan merujuk atau berdasarkan KHGT-Turki 1437 H/2016 M namun dengan rukyat lokal. Kenyataan hingga kini negara Arab Saudi belum menerapkan KHGT-Turki 1437 H/2016 M. Maka ini merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam penerapan kalender yang bersifat internasional, terlebih negara Arab Saudi kerap menjadi panduan bagi sejumlah negara, terutama negara-negara kawasan teluk, dalam menjatuhkan idul fitri dan idul adha.
Dengan menggunakan prinsip, syarat, dan parameter Kalender Islam Global apa saja dan yang mana saja (apakah KHGT-Turki 1437 H/2016 M atau Rekomendasi Jakarta 1438 H/2017 M, atau lainnya), semuanya harus mampu meyakinkan negara Arab Saudi untuk menerimanya. Jika negara ini belum menerima dan atau menerapkan maka KHGT akan terhambat, tidak lain karena alasan momen wukuf arafah dan idul adha di negara ini. Tampaknya, dengan prinsip dan pemahaman yang berkembang di Arab Saudi saat ini masih diperlukan beberapa generasi lagi untuk dapat menerapkan kalender Islam yang bersifa global-internasional, namun ihtiar harus tetap diupayakan.
Karena itu, dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut: pertama, dipastikan bahwa untuk Zulhijah 1445 H tahun ini terjadi perbedaan antara Indonesia dan Arab Saudi. Arab Saudi menetapkan awal Zulhijah jatuh pada 7 Juni 2024 M (idul adha jatuh 16 Juni 2024 M) sedangkan Indonesia menetapkan 8 Juni 2024 M (idul adha jatuh 17 Juni 2024 M). Kedua, di Indonesia, antara Muhammadiyah, Pemerintah, dan Nahdlatul Ulama sepakat menetapkan awal Zulhijah 1444 H jatuh pada hari dan tanggal yang sama yaitu 7 Juni 2024 M (9 Zulhijah jatuh 16 Juni dan idul adha 17 Juni). Ketiga, perbedaan idul adha antara Indonesia dan Arab Saudi kali ini kembali menyebabkan perbedaan pelaksanaan puasa arafah di Indonesia yang tidak sama dengan hari pelaksanaan wukuf di arafah. Secara fikih perbedaan ini biasa dan tidak bermasalah, namun secara sosilogis hal ini merupakan keprihatinan dan menegaskan arti penting dan mendesaknya kehadiran KHGT di dunia Islam internasional. Wallahu a’lam[]
Rukyat di Arab Saudi utk awal Dzulhijjah 1445 terpengaruh kalender Ummul Quro. Kalau rukyatnya dilakukan dg benar, tdk mungkin hilal kurang dari 1 derajat tingginya bisa teramati. Kalau itu terjadi, KHGT akan berbeda dg keputusan rukyat di Arab Saudi. Arab Saudi yg berbasis rukyat tdk bisa dipaksa ikut KHGT.