Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) notabenenya dikonstruk sebagai panduan ibadah (dan muamalah) bagi umat Islam di seluruh dunia. KHGT sendiri sejatinya telah memiliki dukungan nash yang kuat sehingga tidak ada alasan untuk menolaknya betapapun tetap terbuka ruang dialog dan perbedaan pendapat. Dukungan nash atas KHGT ini dapat dilihat dari beberapa argumen (dalil) berikut:
Pertama, QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 10 dan QS. Saba’ [34] ayat 28, yaitu tentang universalisme ajaran Islam. Allah berfirman,
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ (سورة الأنبياء (21) : 107)
“Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat (pencerah) bagi dunia” (QS. Al-Anbiya’ [21] : 107).
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا كَاۤفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ (سورة سبأ (34) : 28)
“Tidaklah Kami mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali kepada seluruh manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS. Saba’ [34] : 28).
Dua ayat ini menegaskan tentang universalismen ajaran Islam, dimana wujud dan keberadaan agama Islam merupakan rahmat (pencerah) untuk seluruh manusia dan alam, terutama umat Islam dimanapun berada. Pertanyaannya adalah, bagaimana dan dimana rahmat itu terwujud manakala kerap terjadi perbedaan, dialektika, dan dinamika yang tak kunjung usai dalam masalah-masalah yang bersifat komunal-global, diantaranya masalah penentuan idul firti dan idul adha setiap tahunnya. Maka ayat ini sesungguhnya menjadi landasan filosofis yang kuat tentang pentingnya kesatuan dan persatuan, yang sekaligus menegaskan universalismen ajaran Islam. Ajaran Islam sejatinya mencakup seluruh umat manusia dari berbagai bangsa, teritorial, dan budaya, tidak hanya untuk bangsa, teritorial, dan budaya tertentu semata. Secara spesifik universalisme ajaran Islam tentu menghendaki bahkan meniscayakan tersedianya satu sistem penjadwalan waktu yang terpadu, kredibel, dan universal untuk seluruh manusia yang diwujudkan dalam bentuk kalender yang bersifat global-tunggal.
Kedua, QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 92 dan QS. Al-Mu’minun [23] ayat 52, yaitu tentang prinsip-prinsip kesatuan (unifikasi). Allah berfirman,
اِنَّ هٰذِهٖٓ اُمَّتُكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةًۖ وَّاَنَا۠ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْنِ (سورة الأنبياء (21) : 92)
“Sungguh (agama tauhid) ini adalah agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku” (QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 92).
وَاِنَّ هٰذِهٖٓ اُمَّتُكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّاَنَا۠ رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ (سورة المؤمن (23) : 52)
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu, agama yang satu, dan Akulah Tuhanmu. Maka, bertakwalah kepada-Ku” (QS. Al-Mu’minun [23] : 52).
Dua ayat ini sekali lagi menegaskan arti penting kesatuan dan atau persatuan dengan menempatkan Allah sebagai Tuhan yang patut dan harus disembah. Pertanyaannya lagi adalah, jika agama ini (Islam) sebagai agama dan atau peradaban yang satu, mengapa dalam selebrasi ibadah terutama dalam skop komunal-global (misalnya idul adha dan idul fitri) kerap terjadi perbedaan? Karena itu pula dalam konteks ini perbedaan-perbedaan yang kerap terjadi sepanjang tahun sejatinya bukan yang dimaksud alias bertentangan dengan dua ayat ini. Esensi ajaran Islam sejatinya adalah kesatuan, kebersamaan, dan keteraturan. Konsep kesatuan umat ini tentu menghendaki satu sistem tata waktu yang satu dan terpadu yang menyapa seluruh manusia di seluruh muka bumi, itulah dia kalender Islam yang bersifat global-tunggal.
Ketiga, QS. Al-‘Ashr [103] ayat 1-3, yaitu tentang arti penting amal salih dan menata waktu secara efektif dan terartur. Allah berfirman,
وَٱلْعَصْرِ . إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ. إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ (سورة العصر (103) : 1-3)
“Demi masa. Sesunggunya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal salih, saling nasehat menasehati dalam kebenran dan saling nasehat menasehati dalam kesabaran” (QS. Al-‘Ahsr [103] : 1-3).
Ayat ini menekankan keberuntungan akan diperoleh oleh siapa yang beriman dan beramal salih. Selain menekankan pentingnya amal salih dan saling koreksi (saling nasihat), tak kalah pentingnya ayat ini menekankan tentang arti penting waktu dan pengorganisasiannya, bahkan dalam ayat ini dapat dipahami bahwa seorang Muslim yang tidak mau dan tidak mampu menata waktunya dengan baik dan benar maka dia adalah orang yang rugi. Tidak tanggung-tanggung ayat ini diawali dengan sumpah atas nama waktu yaitu waktu Asar. Ayat ini menegaskan pula bahwa manajemen waktu itu mesti dalam rangka iman dan amal salih. Karena itu pula kalender Islam yang bersifat global-tunggal, yang menyapa semua umat dimana saja berada merupakan diantara implementasi dari iman dan amal salih tersebut.
Ketiga, QS. At-Taubah [09] ayat 36, tentang bilangan bulan dan bulan-bulan haram. Allah berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ (سورة التوبة (9) : 36)
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa” (QS. At-Taubah [09] : 36).
Dalam ayat ini dikemukakan bahwa bilangan bulan disisi Allah itu ada 12 bulan (Muharam, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, Zulhijah), yang diantaranya terdapat bulan-bulan haram (yaitu Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab) yang memiliki posisi dan kedudukan tinggi dalam Islam. Al-Qurthubi (w. 671 H/1272 M) dalam tafsirnya “al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an” menjelaskan bahwa semua hal yang berkaitan dengan ibadah tidak boleh dikaitkan dengan selain penanggalan bulan. Penentuan bulan haji, masuknya bulan Ramadan, dan lainnya harus berdasarkan bulan-bulan yang sudah ditentukan (bulan-bulan hijriah). Sebab selain kalender hijriah durasi satu bulannya bisa kurang atau lebih dari 30 hari. Ini berbeda dengan kalender hijriah, dalam satu bulan tidak lebih dari 30 hari dan tidak kurang dari 29 hari. Selanjutnya kata “ad-din al-qoyyim” dalam ayat ini berarti hitungan yang benar dan bilangan yang sempurna yang notabenenya merupakan kalender itu sendiri. Selanjutnya semua kegiatan ibadah mesti dikaitkan dengan bulan-bulan hijriah karena inilah hitungan yang paling sempurna. Bilangan bulan, hitungan yang benar, dan bilangan yang sempurna ini tidak lain adalah sebuah sistem penjadwalan waktu yang terpadu, yang dikenal dengan kalender, dalam hal ini kalender yang bersifat global-tunggal.
Keempat, QS. Al-Baqarah [02] ayat 189, yaitu terkait aspek sipil dan ibadah kalender Islam.Allah berfirman,
يَسـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ (سورة البقرة (2) : 189)
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji” (QS. Al-Baqarah [02] : 189)
Ayat ini menekankan bahwa hilal-hilal (al-ahillah) merupakan pertanda waktu bagi manusia yang dalam implementasinya sebagai tanda waktu untuk aktivitas muamalah (sipil-administratif) dan aktivitas ibadah. Aspek sipil-administratif (muamalah) ditandai dengan pernyataan “li annas” (untuk manusia), sedangkan untuk ibadah diwakili dengan kalimat “al-hajj” (haji) yang notabenenya merupakan puncak ibadah seorang Muslim. Ayat ini juga menegaskan bahwa sistem waktu ibadah dalam Islam, dalam hal ini puasa dan hari raya, ditetapkan berdasarkan peredaran Bulan mengelilingi Bumi, bukan sebaliknya.
Kelima, QS. Yasin [36] ayat 39, tentang fenomena global bernama konjungsi atau ijtimak. Allah berfirman,
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ (سورة يس (36) : 39)
“Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua” (QS. Yasin [36] : 39)
Ayat ini menegaskan satu fakta saintifik penting terkait kalender Islam yaitu fenomena konjungsi atau ijtimak, yang diistilahkan dalam ayat ini dengan fase ‘tandan tua’ (al-‘urjun al-qadim). Konjungsi sendiri merupakan rangkaian proses peredaran bulan mengelilingi bumi selama satu putaran (satu sinodis) yang menandakan berakhir dan bermulanya bulan kamariah dengan durasi 29 hari 12 jam 44 menit dan 2.8 detik. Dalam faktanya konjungsi merupakan fakta dan peristiwa global, ia terjadi sekali dan dalam waktu yang sama di muka Bumi. Dalam praktik dan implementasi global, konjungsi merupakan kunci dan landasan saintifik yang kuat terhadap perumusan KHGT. Konjungsi memastikan bahwa berakhir dan bermulanya sebuah bulan kamariah telah sempurna satu putaran (satu sinodis).
Keenam, hadis-hadis Nabi Saw dan matlak global.Diantara hadis-hadis tersebut sebagai berikut,
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ (رواه البخاري ومسلم)
“Janganlah kalian berpuasa sampai melihat hilal, dan janganlah kalian berhari-raya sampai melihat hilal, maka jika hilal terhalang atas kalian maka lakukanlah pengkadaran” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا – ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ – فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلاَثِينَ (رواه مسلم)
“Bulan itu begini, dan begini, dan begini, lalu Nabi Saw melipat jarinya pada kali yang ketiga, maka puasalah kalian karena melihat hilal dan berhari-rayalah karena melihat hilal, jika kalian terhalang awan maka kadarkanlah menjadi 30 hari” (HR. Muslim).
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ (رواه البخاري ومسلم)
“Apabila kalian melihat hilal (Ramadan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihat hilal (Syawal) maka berhari-rayalah, jika kalian tertutup awan maka kadarkanlah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Beberapa hadis ini, dan masih ada banyak lagi hadis-hadis lainnya, dipahami dan diposisikan bersifat umum, menyeluruh, alias berlaku global. Secara sederhana hadis-hadis ini dimaknai manakala hilal telah terlihat (atau telah memenuhi ambang batas tertentu, misalnya 5-8) maka ia menjadi panduan bagi seluruh umat Islam dimana saja di muka bumi, alias berlaku global. Adapun umat Islam yang tidak melihat hilal atau di tempatnya berada belum memenuhi ambang batas tertentu, mereka tetap dianggap masuk bulan baru dengan menerapkan prinsip kesatuan matlak atau matlak global (ittihad al-mathali’) dan juga prinsip transfer imkan rukyat (naql imkan ar-ru’yah). Secara konteks-substansi, hadis-hadis Nabi Saw ini bersifat global, umum, dan tidak membatasi pada lokasi dan atau umat tertentu saja, yang ditunjukkan dengan penggunaan kata ganti plural (dahmir jam’) dalam hadis-hadis tersebut. Selain itu, analisis dan pemahaman yang seperti ini juga didukung dengan pandangan ulama (fukaha) lintas mazhab yang mendukung dan menguatkan matlak global (ittihad al-mathali’). Wallahu a’lam[]
https://carituntas.wordpress.com/2024/07/17/meninjau-ulang-argumen-nash-khgt/
https://oif.umsu.ac.id/2024/07/tanggapan-atas-artikel-kontroversi-kalender-hijriah-global-tunggal-meninjau-ulang-argumen-nash-khgt/