Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Tulisan saya yang berjudul “Argumen Nash KHGT” (dimuat di : https://oif.umsu.ac.id/2024/07/argumen-nash-khgt/) ditanggapi dan dikritisi secara kritis dengan pendekatan logika-mantiki oleh Agus Salim (anggota Dewan Hisab dan Rukyat PP Persatuan Islam) dengan judul “Kontroversi Kalender Hijriah Global Tunggal : Meninjau Ulang Argumen Nash KHGT” (lihat : https://carituntas.wordpress.com/2024/07/17/meninjau-ulang-argumen-nash-khgt/). Kritik dan pendekatan mantik-logika ini menarik karena mengungkap dan mengupas segenap uraian (argumen) secara tekstualis-kebahasaan dan alur-nalar secara runut, sebagaimaan dalam ilmu logika (mantik). Karena itu saya menyampaikan terimakasih atas tanggapan, kritik dan catatan beliau tersebut. Hal menarik, beliau adalah salah seorang Anggota Dewan Hisab dan Rukyat PP Persatuan Islam. Seperti diketahui, Persatuan Islam menolak atau tidak menerima KHGT, hanya saja keputusan resmi-formal organisasi ini dan argumen penolakannya belum penulis dapatkan. Saya pribadi tertarik melihat argumen penolakan organisasi ini, sebab konsep/metode penentuan awal bulan organisasi ini sesunguhnya adalah hisab, tepatnya hisab imkan rukyat, bukan rukyat, betapapun dalam praktiknya dalam penetapan awal bulan kerap sama atau menyamakan dengan penetapan Pemerintah.
Adapun tanggapan saya atas kritik dan catatan beliau atas artikel saya sebagai berikut:
“…Meskipun KHGT memiliki dukungan nash yang kuat, masih ada ruang untuk dialog dan perbedaan pendapat. Ini sedikit bertentangan dengan klaim sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk menolak KHGT. Tanggapan: Pernyataan “tidak ada alasan untuk menolak KHGT” berangkat dari landasan pemikiran bahwa kehadiran kalender pemersatu merupakan kebutuhan umat Islam, tuntutan peradaban, dan sekaligus utang peradaban yang harus dibayarkan sehingga tidak ada alasan untuk menolak/menghambatnya. Sedangkan pernyataan “masih ada ruang untuk dialog dan perbedaan pendapat” berangkat dari konteks bahwa ini merupakan persoalan fikih dan pemikiran sehingga niscaya akan tetap ada perbedaan, perdebatan, dialog, dan seterusnya.
“Jika benar-benar tidak ada alasan untuk menolak KHGT karena dukungan nash yang kuat, maka tidak logis untuk mengatakan bahwa masih ada ruang untuk dialog dan perbedaan pendapat”. Tanggapan: Seperti dikemukakan di atas. Selain itu KHGT juga merupakan wacana dan diskursus fikih, maka tidak mungkin didefinitifkan dengan tidak ada ruang dialog dan perbedaan pendapat. Setiap pendapat fikih, dengan argumen apa saja dan sekuat apa saja, terbuka perbedaan dan aneka pendapat sebagaimana ditunjukkan para ulama selama berabad-abad dalam sepanjang sejarah.
“Argumen bahwa karena Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia dan alam, maka harus ada satu sistem penjadwalan waktu yang terpadu (KHGT) tidak sepenuhnya logis. Universalisme ajaran Islam tidak secara eksplisit mengharuskan adanya satu kalender global-tunggal”. Tanggapan: Menarik, pernyataanya “tidak sepenuhnya logis”, artinya masih ada indikasi logis di dalamnya. Selanjutnya universalisme ajaran Islam sejatinya dipahami dengan mencakup seluruh manusia dimana saja berada, memberi maslahat, memberi kemudahan dan kepastian, diantara implementasinya adalah KHGT. Seperti diketahui KHGT dimaksudkan untuk kemaslahatan, kemudahan, dan kepastian penjadwalan waktu umat Islam dalam ibadah dan muamalahnya. Justru, jika mengeksplisitkan ayat ini hanya pada penafsiran KHGT semata akan tidak tepat dan cenderung mendistorsi ayat (tafsir), sebab sebuah ayat harus diletakkan dalam konteks dasar dan universalnya. Karena itu yang dipandang kompatibel dari sejumlah tafsir/interpretasi ayat ini salah satunya adalah KHGT, tentu masih terbuka tafsir/interpretasi lain sesuai konteks, waktu,dan kasusnya.
“Argumen bahwa karena Islam menekankan kesatuan dan Allah adalah Tuhan yang harus disembah, maka harus ada satu sistem kalender global-tunggal (KHGT) tidak sepenuhnya logis. Prinsip kesatuan dalam agama tidak secara otomatis mengharuskan adanya satu kalender global-tunggal”. Tanggapan: Sama seperti sebelumnya, diantara implementasi kesatuan dalam Islam, dalam konteks ini dan saat ini adalah KHGT, ini hanya salah satu tafsir ayat itu dalam konteks hari ini. Tentu terbuka implementasi (tafsir) lain, bahkan opsi lain, dan sama sekali tidak boleh mengotomatisasi penafsiran pada satu hal tertentu.
“Menyatakan bahwa perbedaan dalam penentuan hari raya bertentangan dengan ajaran kesatuan dalam Islam merupakan bentuk false dilemma, seolah-olah hanya ada dua pilihan: kesatuan dengan satu kalender atau perpecahan dengan banyak kalender, padahal bisa ada solusi lain yang juga sejalan dengan prinsip kesatuan”. Tanggapan: Dalam konteks penentuan awal bulan, terma yang digunakan umumnnya adalah “perbedaan” (ikhtilaf) yang berkonotasi adanya dialektika fikih, bukan “perpecahan” (tafarruq) yang berkonotasi negatif. Dalam diskursus kalender, yang ada adalah perbedaan metode dan kriteria dalam sebuah kalender, bukan karena “banyak kalender”. Dalam Islam kalender hanya satu yaitu Kalender Islam (kalender hijriah atau kalender kamariah) yang berbasis bulan. Saya tidak dapat memahami apa yang dimaksud “satu kalender” dan “banyak kalender” sebab dalam diskursus penentuan awal bulan yang satu paket dengan pembahasan persatuan hanya pada perbedaan-perdebatan metode dan kriteria dalam satu kalender yaitu kalender Islam yang berbasis peredaran bulan mengelilingi bumi. Pernyataan “padahal bisa ada solusi lain yang juga sejalan dengan prinsip kesatuan”, menarik, namun sayang tidak dikemukakan apa solusi lain itu. Perbedaan dan perdebatan penentuan awal bulan, baik secara lokal atau global sudah lama berlangsung, berabad-abad, karena itu menarik ditunggu apa “solusi lain” yang dimaksud.
“Paragraf ini mengandung potensi logika falasi non sequitur karena menghubungkan prinsip kesatuan dalam Islam dengan kebutuhan akan satu sistem kalender global-tunggal tanpa bukti yang jelas bahwa prinsip kesatuan tersebut mengharuskan hal tersebut”. Tanggapan: Dalam perspektif tafsir, dan sesuai konteks dan kebutuhan saat ini, tentu dapat dipahami bahwa prinsip kesatuan implementasinya diantaranya dapat diterjemahkan dengan sistem kalender global-tunggal. Sekali lagi ini tafsir/interpretasi ayat yang tentu terbuka penafsiran lainnya. Dalam konteks kalender dan penentuan awal bulan, ditengah kerap terjadi perbedaan setiap tahunnya, jika bukan kalender yang bersifat global-tunggal, maka solusi apa yang ditawarkan? Apapun solusi dan tawaran kesatuan itu, baik penyatuan lokal maupun global, ayat ini menjadi landasan dasar-filosofisnya.
“Dahulu, umat Islam memulai berpuasa, merayakan Idul Fitri dan Idul Adha berdasarkan pengamatan hilal secara lokal. Dalam hal ini, mereka tidak pernah ‘bersatu’, artinya memulai dan mengakhiri Ramadan pada satu hari yang sama. Hal ini tidak pernah menimbulkan masalah“. Tanggapan: Ini ahistoris. Dahulu (di zaman Nabi Saw dan sahabat, juga di zaman para khalifah), penetapan awal bulan selalu sama dan satu penetapan, dan selalu bersatu. Barulah, perbedaan (dengan penetapan masing-masing) tak terelakkan manakala teritorial Islam makin meluas dimana saat yang sama informasi keterlihatan hilal di satu tempat tidak dapat terdistribusi secara cepat ke tempat-tempat lain, dalam kondisi ini penetapan masing-masing (secara lokal) menjadi jalan keluar, dari sini pula lahir konsep matlak (lokal dan global). Artinya, praktik awal pada dasarnya bersifat global (ittihad al-mathali’) alias selama ada keterlihatan hilal dimana saja akan menjadi panduan, namun karena faktor informasi, komunikasi, dan transportaasi yang tidak tersedia waktu itu menyebabkan praktik global itu tidak bisa dilakukan, yang mungkin hanyalah praktik lokal (ikhtilaf al-mathali’). Bagian ini (ittihad dan ikhtilaf matlak) akan saya eksplorasi lebih jauh lagi, insyaallah.
“Hal ini tidak pernah menimbulkan masalah”. Tanggapan: Hadis Kuraib yang melahirkan konsep matlak membuktikan telah ada dan terjadi masalah, yaitu perbedaan penyimpulan hasil rukyat antara Madinah dan Syam, dan perbedaan masuk awal bulan dalam satu wilayah kekuasaan (kekhalifahan). Dalam perkembangannya ada beragam penjelasan ulama tentang peristiwa ini, yang menunjukkan adanya masalah/dinamika/dialektika dalam penetapan awal bulan ketika itu, yang terus berlangsung hingga hari ini.
“Penafsiran bahwa “li annas” dan “al-hajj” menunjukkan aspek sipil dan ibadah bisa dianggap ambigu karena tidak semua orang mungkin setuju dengan interpretasi tersebut. Kekaburan dalam interpretasi bisa menyebabkan kesimpulan yang salah”. Tanggapan: Jika dilihat secara letterlijk mungkin demikian, namun dalam perspektif lebih general, indikasi sipil dan ibadah pada kata linnas dan al-hajj akan menjadi kontekstual, atau paling tidak memiliki indikasi kearah itu. Sebab ayat ini bicara tentang hilal (al-ahillah) sebagai penanda waktu yang dalam hal ini dipahami sebagai kalender, yaitu kalender berbasis hilal (bulan). Konteks general ayat ini, dengan indikasi linnas yang bersifat umum dan al-hajj sebagai mewakili ibadah yang bersifat komunal-global, sekali lagi menjadi bukti bahwa ayat ini dapat dipahami dalam konteks global. Menyimpulkan analisis sedemikian ini sebagai “kesimpulan yang salah” agaknya teramat kurang tepat, bahwa setuju atau tidak, itu hal lain lagi.
“Menyatakan bahwa karena bulan sabit digunakan untuk menandai waktu ibadah, maka harus ada satu kalender global-tunggal adalah bentuk false equivalence. Menghubungkan penggunaan bulan sabit dengan keharusan satu sistem kalender tidak sepenuhnya setara”. Tanggapan: Bulan sabit senyatanya merupakan penanda waktu ibadah (untuk puasa, hari-raya, dan ibadah-ibadah lainnya). Bulan sabit (hilal) sendiri merupakan standar/acuan penyusunan kalender Islam yaitu kalender yang berbasiskan peredaran bulan mengelilingi bumi. Salah satu bentuk/corak kalender adalah global-tunggal yang standar/acuannya tidak lain adalah bulan sabit (hilal). Maka bulan sabit (hilal) merupakan keharusan dalam kalender Islam, baik lokal atau global, dan oleh karena kalender Islam lekat dan identik dengan hilal maka tidak urgen mempertanyakan keduanya setara atau tidak.
“Meski ayat tersebut menggambarkan peredaran Bulan, menyimpulkan bahwa ini mendukung KHGT adalah lompatan logika. Penjelasan tentang konjungsi tidak secara otomatis berarti harus ada satu kalender global-tunggal”. Tanggapan: Dalam faktanya konjungsi merupakan fenomena global, peristiwanya terjadi dalam sekali waktu, betapapun waktu (jam) nya berbeda-beda di berbagai tempat (negara). Konjungsi sendiri secara saintifik menandakan telah sempurnanya peredaran bulan mengelilingi bumi dalam satu putaran (satu sinodis) yang menjadi syarat perumusan kalender dan atau penentuan awal bulan, termasuk dalam KHGT. Konjungsi sendiri menjadi salah satu syarat dan parameter dalam KHGT, yang secara praktik memungkinkan dan dapat diberlakukan di semua tempat (negara) secara adil dan merata, yang ini merupakan ciri/karakter dalam KHGT. Karena faktanya yang demikian ini maka konjungsi dapat dinyatakan mendukung atau menjadi salah satu argumen penting KHGT.
“Menggunakan fakta ilmiah tentang konjungsi untuk mendukung KHGT tanpa menjelaskan bagaimana ini secara eksklusif mendukung KHGT adalah bentuk appeal to science. Fakta bahwa konjungsi adalah fenomena global tidak secara otomatis mengharuskan implementasi kalender global-tunggal”. Tanggapan: Seperti penjelasan diatas, juga dapat dibaca penjelasan berikut ini : https://oif.umsu.ac.id/2024/03/hilal-di-bawah-ufuk-dalam-khgt/
“Menggunakan istilah ‘tandan tua’ (al-‘urjun al-qadim) untuk menggambarkan konjungsi bulan bisa membingungkan, karena istilah ini tidak secara langsung diterjemahkan sebagai konjungsi dalam konteks modern”. Tanggapan: ‘Tandan tua’ adalah terjemah yang lazim digunakan untuk “al-‘urjun al-qadim”. Konteks ayat tersebut, plus konteks ayat sebelum-sesudahnya secara jelas menggambarkan fakta konjungsi dimaksud.
Adapun poin keenam dalam tulisan saya yaitu terkait hadis-hadis Nabi Saw dan matlak global, maka tanggapan saya sebagai berikut: Pertama, bagian ini sengaja penulis uraikan secara sekilas dan singkat oleh karena di dua tulisan sebelumnya sudah diuraikan (baca: https://oif.umsu.ac.id/2024/06/matlak-lokal-matlak-global-dan-khgt/ , dan https://oif.umsu.ac.id/2024/03/matlak-menurut-fukaha/. Kedua, khusus bagian ini (matlak global dan diskursus ulama tentangnya), sedang dikonstruk menjadi sebuah karya dan hingga saat ini masih dalam proses penulisan dan penelaahan literatur, semoga segera rampung. Namun terkait hadis-hadis rukyatul hilal dan matlak global secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut: pandangan dan kecendrungan fukaha lintas mazhab atas hadis-hadis rukyatul hilal adalah ittihad al-mathali’ (matlak global), bukan ikhtilaf al-mathali’ (matlak lokal). Bahkan pendapat matlak global ini merupakan pendapat jumhur ulama yaitu Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Adapun kalangan Syafi’iyah cenderung berpandangan matlak lokal, betapapun ada sejumlah kalangan (ashab) dalam mazhab ini yang mengapresiasi pandangan matlak global. Selain kalangan fukaha klasik, matlak global juga merupakan pandangan ulama kontemporer seperti Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Syaikh Al-‘utsaimin, Syaikh Al-Albani, dan Syaikh Abdullah bin Baz.
Demikian tanggapan saya. Berikutnya, dari uraian dan analisis di atas dikemukakan beberapa hal berikut: pertama, poin-poin (argumen-argumen) dalam artikel yang saya tulis sesungguhnya saling melengkapi dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Menyimpulkan dan mengasosiasikan serta-merta kepada KHGT secara terpisah-pisah tentu tidak kontekstual dan bahkan adakalanya tidak tepat. Selain itu tentu masih ada banyak lagi dalil-dalil (argumen-argumen) lainnya yang mengarah dan mengindikasi kepada KHGT, namun karena satu dan lain hal (terutama soal waktu dan kekutan membaca data dan menelaah literatur) maka argumen dicukupkan sebagaimana telah ditulis. Karena itu sekali lagi penyimpulan secara terpisah-pisah menyebabkan tampak kesimpulannya secara keseluruhan kurang tepat. Dalam konteks analisis logika-mantik sebagaimana dikemukakan, logika-nalar dan alur yang dipaparkan sejatinya benar, namun secara dan dalam substansi (fikih dan pemikiran kalender Islam, dan spesifik KHGT) dalam batas dan konteks tertentu adakalanya kurang tepat. Ini pandangan subyektif penulis, tentu terbuka untuk dikritisi kembali.
Kedua, oleh karena argumen yang dikemukakan lebih pada dalil-dalil al-Qur’an, maka perspektif tafsir/interpretasi menjadi keniscayaan, dan dalam tabiatnya sebuah tafsir atas ayat-ayat tertentu, terutama ayat-ayat non-muhkamat, selamanya tidak bisa didefinitifkan pada satu kesimpulan tafsir tertentu, betapapun satu penafsiran itu dapat dijadikan dukungan dan atau menjadi argumen kuat (hujah), diantaranya argumen KHGT.
Ketiga, seperti diketahui ayat-ayat al-Qur’an pada dasarnya tidak memberi deskripsi detail atas suatu fenomena, dalam hal ini al-Qur’an hanya memberi gambaran besar yang akan menjadi panduan bagi manusia. Dalam hal ini kemampuan manusia (penafsir) menerjemahkan ayat-ayat tersebut dengan konteks kasus yang dihadapi menjadi penentu. Keakuratan data dan fakta serta kemampuan membaca realitas secara obyektif pada akhirnya menjadi kunci, bukan semata analisis logika tentangnya.
Keempat, patut dicatat, uraian dan analisis dalam segenap poin-poin dalam artikel yang saya tulis itu relatif singkat dan dengan pembahasan sederhana, oleh karena sejak awal ditulis guna disebar di media sosial sebagaimana saya lakukan selama ini, sebagai pencerahan dan diskusi, yang dalam hal ini ditulis secara singkat dan ringkas. Artinya ada banyak informasi dan argumen terutama khazanah para mufasir dan fukaha yang tidak/belum dikemukakan. Wallahu a’lam
‘Ala kulli hal, terimakasih atas catatan/kritik dari beliau (Ustadz Agus Salim), sejujurnya ini kritikan dan masukan amat beradab dan berharga. Masukan berharga dan penting dari beliau yang paling saya catat adalah pentingnya merumuskan setiap ide/gagasan secara runut, logis, dan terhubung. Sekali lagi saya mendapat pencerahan dari tulisan (kritik/catatan) beliau, sejujurnya saya tercerahkan. Salam hormat dan ta’zhim untuk beliau.[]
Saya ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Bapak Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar atas tanggapan dan apresiasi yang diberikan terhadap makalah saya yang berjudul “Kontroversi Kalender Hijriah Global Tunggal: Meninjau Ulang Argumen Nash KHGT”. Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri bagi saya dapat terlibat dalam diskusi yang konstruktif mengenai isu penting ini dengan seorang akademisi terkemuka seperti Bapak. Kritik dan dialog intelektual seperti ini sangat penting dalam upaya kita bersama, khususnya saya, untuk mencapai pemahaman yang lebih baik dan solusi yang lebih tepat bagi umat Islam.
Saya menghargai pengakuan Bapak atas pendekatan yang saya gunakan dalam analisis saya. Pendekatan ini memang bertujuan untuk mengungkap dan mengupas argumen secara runut dan sistematis, sehingga kita dapat melihat kekuatan dan kelemahannya dengan lebih jelas. Saya juga sangat mengapresiasi informasi mengenai posisi Persatuan Islam terkait KHGT, yang tentunya menambah dimensi penting dalam diskusi ini.
Sebagai tanggapan awal, saya ingin menguraikan beberapa poin penting serta mengidentifikasi beberapa aspek yang memerlukan klarifikasi lebih lanjut:
1. Apresiasi atas Kritik dan Pendekatan: Saya sangat berterima kasih atas apresiasi Bapak terhadap pendekatan yang saya gunakan. Bisa dikatakan sebagai narasi untuk membuka diskusi, pendekatan ini diambil untuk (mencoba) memastikan bahwa setiap argumen diuji dengan standar logika yang ketat, sehingga kita dapat menghindari kesalahan nalar dan memastikan bahwa kesimpulan yang dihasilkan benar-benar valid.
2. Kedudukan Persatuan Islam dalam Isu KHGT: Bapak mencatat bahwa Persatuan Islam menolak atau tidak menerima KHGT. Ini merupakan informasi penting yang menambah konteks dalam diskusi kita. Saya setuju bahwa penting untuk memahami argumen resmi dari Persatuan Islam mengenai penolakan KHGT. Hal ini akan memberikan kita wawasan yang lebih komprehensif mengenai berbagai pandangan dalam komunitas Muslim.
3. Metode Penentuan Awal Bulan oleh Persatuan Islam: Bapak menyebutkan bahwa metode yang digunakan oleh Persatuan Islam adalah hisab imkan rukyat, bukan rukyat. Namun, kekeliruan mungkin terjadi jika ada anggapan bahwa metode hisab imkan rukyat sepenuhnya konsisten dengan praktik KHGT tanpa memerhatikan perbedaan mendasar antara keduanya. Selain itu, dalam makalah saya, saya tidak hanya mengandalkan pandangan Persatuan Islam, tetapi juga menelaah argumen nash yang diajukan dalam konteks logika dan koherensi teologis. Oleh karena itu, meskipun pandangan resmi Persatuan Islam relevan, fokus utama saya adalah pada evaluasi logis dari argumen Bapak.
4. Kesamaan Praktik dengan Pemerintah: Bapak menyatakan bahwa dalam praktiknya, penetapan awal bulan oleh Persatuan Islam kerap sama atau menyamakan dengan penetapan Pemerintah. Di sini terdapat potensi kekeliruan jika diasumsikan bahwa kesamaan hasil secara otomatis berarti kesamaan metode dan prinsip. Penting untuk mengklarifikasi bahwa kesamaan hasil dapat terjadi meskipun terdapat perbedaan mendasar dalam metode yang digunakan.
Adapun tanggapan saya atas catatan Bapak terhadap beberapa bagian dalam makalah saya akan dibuat dalam beberapa waktu ke depan, in sya Allah. Saya juga akan berusaha meninjau kembali beberapa makalah yang Bapak sisipkan dalam tulisan di atas, seperti https://oif.umsu.ac.id/2024/03/hilal-di-bawah-ufuk-dalam-khgt/, https://oif.umsu.ac.id/2024/06/matlak-lokal-matlak-global-dan-khgt/, dan https://oif.umsu.ac.id/2024/03/matlak-menurut-fukaha/. Jika Bapak berkenan, saya menawarkan untuk meninjau beberapa makalah saya berikut ini: https://carituntas.wordpress.com/?s=evaluasi+kritis+argumen+prof.+tono+saksono, karena beberapa argumen terkait KHGT -yang mungkin belum dimasukkan ke dalam artikel Bapak (https://oif.umsu.ac.id/2024/07/argumen-nash-khgt/) sudah saya coba untuk dikritsi.
Tidak lupa, berkenaan dengan isu matlak global dan diskursus ulama tentangnya yang sedang Bapak konstruk menjadi sebuah karya dan dalam proses penulisan dan penelaahan literatur, saya juga turut berdoa semoga Allah mudahkan segala sesuatunya. Aamiin.
Sekali lagi, saya berterima kasih atas tanggapan dan kesempatan untuk berdialog ini. Saya berharap diskusi ini dapat terus berlanjut dengan semangat yang konstruktif dan terbuka, demi mencapai pemahaman yang lebih baik dan solusi yang lebih baik bagi penentuan waktu ibadah umat Islam.
Mencerahkan dgn argumentasi yg tepat
Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas tanggapan yang sangat berharga dari Bapak. Semoga komunikasi yang telah terjalin ini dapat terus berkembang menjadi diskusi yang lebih konstruktif dan menginspirasi, memperkaya pemahaman kita bersama.
Melalui pesan ini, izinkan saya menyampaikan salam ta’zhim dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Kiranya Bapak selalu diberikan kesehatan dan kekuatan untuk terus berkarya dan berbagi ilmu yang berharga.
https://carituntas.wordpress.com/2024/07/25/menjawab-tanggapan-bapak-arwin/