Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Matlak, berasal dari bahasa Arab yaitu al-mathla’ atau al-mathāli’, secara etimologi bermakna tempat terbit benda langit, dalam hal ini hilal. Matlak merupakan istilah fikih dan sekaligus istilah astronomi yang mengalami perkembangan dalam fungsi dan implementasinya seiring waktu. Historisitas matlak sendiri berasal dari sebuah hadis yaitu diskusi antara Kuraib dan Ibn Abbas. Kuraib menjelaskan pada menjelang bulan Ramadan, Mu’awiyah dan penduduk Syam telah melihat hilal, namun Ibn Abbas dan penduduk Madinah belum melihat hilal. Ibn Abbas tidak menggunakan laporan penduduk Syam yang telah melihat hilal. Peristiwa ini dianggap sebagai latar belakang munculnya prinsip dan terminologi matlak, dari sini pula ulama membagi matlak menjadi dua yaitu matlak ikhtilāf dan matlak ittihād. Matlak ikhtilāf dapat disebut juga dengan matlak lokal, sedangkan matlak ittihād disebut matlak global.
Matlak lokal (ikhtilāf al-mathla’) adalah konsepsi fikih yang menyatakan awal bulan dinyatakan tiba di suatu tempat (kawasan) tertentu apabila hilal telah terlihat di suatu tempat itu. Adapun kaveran dan wilayah keberlakuannya bermacam-macam, ada yang berpendapat di kawasan sejauh hilal itu muncul saja, ada yang berpendapat di teritorial tertentu misalnya sebuah negara atau kawasan regional tertentu, ada pula yang berpendapat spesifik di suatu komunitas tertentu saja, dan lain-lain. Sementara itu matlak global (ittihād al-mathla’) merupakan kebalikan dari matlak lokal, yaitu konsepsi fikih dan astronomi yang menyatakan awal bulan dinyatakan tiba bagi semua umat Islam dimana saja (global) apabila hilal telah terlihat atau memungkinkan terlihat di suatu tempat tertentu di muka bumi, yang selanjutnya keterlihatan hilal itu diberlakukan (ditransfer) ke seluruh dunia tanpa terkecuali. Baik matlak lokal maupun matlak global keduanya berasal dan bersumber dari hadis-hadis Nabi Saw yang menjelaskan tentang rukyat, dimana kata ganti plural (jam’) dalam hadis-hadis Nabi Saw tersebut dipahami sebagai umum, menyeluruh, dan global. Sementara yang lainnya menerjemahkan objek kanti plural (jam’) itu terbatas pada tempat, teritorial, dan wilayah hukum tertentu.
Dalam sejarah umat Islam, praktik matlak lokal merupakan praktik paling intens dan dominan digunakan. Berbagai literatur fikih karya ulama silam dalam lintas mazhab secara jelas menginformasikan hal tersebut. Namun demikian patut dicatat pemikiran dan konsep matlak global sejatinya juga telah berkembang di kalangan fukaha, namun secara praktik-implementatif belum banyak digunakan. Belum digunakannya matlak global ini karena alasan teknis yaitu belum adanya sarana informasi dan komunikasi yang cepat dan efektif waktu itu sehingga informasi keterlihatan hilal di suatu tempat tidak dengan mudah dan cepat sampai ke tempat lain, terlebih kawasan yang sangat jauh. Namun kini seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan masyarakat Muslim dunia, konsepsi matlak global sudah mudah diimplementasikan dan menjadi keniscayaan, serta merupakan kebutuhan.
Selain di kalangan fukaha klasik, dalam perkembangannya pemikiran ittihād al-mathla’ juga berkembang di kalangan para ahli dan pemikir kalender Islam kontemporer. Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377 H/1958 M), Husain Fathi, Fauzi bin Abdillah al-Humaidi, dan TM Hasbi ash-Shiddieqy (w. 1975 M) adalah diantara tokoh kontemporer yang memiliki ide dan pemikiran tentang matlak global yang kini menjadi landasan kuat Kalender Islam Global atau KHGT. Alasan kesatuan (unifikasi) umat Islam di seluruh dunia dalam satu sistem penjadwalan waktu (kalender) menjadi alasan kuat para tokoh ini menyuarakan Kalender Islam yang bersifat internasional (global). Memang, saat pertama kali para tokoh ini menyuarakan kalender Islam internasional (global) belum mendapat respons yang positif, namun kini ide mereka menjadi sesuatu yang penting dan berharga. Terkini, ide Kalender Islam Global dan sekaligus matlak global muncul dari tokoh asal Maroko bernama Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq yang mana idenya menjadi salah satu inspirasi dalam perumusan Kongres Turki 1437 H/2016 M yang amat fenomenal itu.
Pemikiran Ahmad Muhammad Syakir dapat disimak dalam karyanya “Awa’il asy-Syuhur al-‘Arabiyyah” (Awal-Awal Bulan Arab), pemikiran Husain Fathi dalam karyanya “Kaifa Nuwahhid at-Taqwim al-Hijry fi al-‘Alam al-Islamy” (Bagaimana Menyatukan Penanggalan Hijriah di Dunia Islam), pemikiran Fauzi bin Abdillah al-Humaidi dalam karyanya “al-Qamar ath-Thali’”, dan pemikiran TM Hasbi ash-Shiddieqy dalam karyanya “Awal & Akhir Ramadhan Mengapa Harus Berbeda?”. Adapun pemikiran Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul “at-Taqwim al-Qamary al-Islamy al-Muwahhad” (Kalender Kamariah Islam Unifikatif), yang mana karya ini telah diterjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Syamsul Anwar dengan judul “Kalender Kamariah Islam Unifikatif Satu Hari Satu Tanggal di Seluruh Dunia”.
Dalam konteks penerapan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT), konsep dan pemahaman matlak global adalah satu keharusan dan keniscayaan alias otomatis. Konsepsi kalender global putusan Turki 1437 H/2016 M misalnya menyatakan awal bulan di seluruh dunia dinyatakan tiba apabila telah memenuhi visibilitas 5-8 dimana saja yang berikutnya diterapkan dengan mentransfer keterlihatan hilal atau kemungkinan keterlihatannya ke seluruh dunia dengan tetap mengindahkan kaidah syariat dan sains. Prinsip transfer rukyat atau imkan rukyat ini merupakan keharusan dan secara fikih terlegitimasi dengan konsep matlak global yang telah digariskan fukaha yang bersumber dari hadis-hadis rukyat.
Karena itu, setiap konsep Kalender Islam Global dengan kriteria apa saja meniscayakan dan atau secara otomatis menerapkan konsepsi matlak global, jika tidak maka kalender Islam yang bersifat global tidak akan pernah terwujud dan hanya menjadi teori belaka. Oleh karena konsepsi dan implmentasi matlak global ini niscaya dan otomatis maka dalam pendefinitifan dan penggunaannya tidak memerlukan otoritas. Otoritas dalam pengertian kebijakan dan regulasi dari suatu lembaga tertentu secara formal hanya memperlambat bahkan menghambat penerapan kalender Islam yang bersifat global karena adanya potensi dinamika dan tarik-menarik kepentingan di dalamnya. Bagaimanapun, sebuah konsepsi global harus dipahami dan diletakkan dalam konteks global tanpa campur tangan administratif-birokratif manusia di dalamnya. Bahwa mobilisasi penerapan dan penerimaan sebuah kalender Islam yang bersifat global-tunggal dengan matlak globalnya memerlukan dukungan lembaga (otoritas) tertentu, misalnya OKI (Organisasi Kerjasama Islam), tentu sah-sah saja dan merupakan hal yang sangat baik, namun patut dicatat lembaga (otoritas) itu tidak bersifat mengatur dan meregulasi.
Karena itu dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut: Pertama, matlak global adalah cara pandang holistik para fukaha silam dalam menerjemahkan hadis-hadis rukyat. Kedua, matlak global di zaman silam belum populer karena belum tersedianya sarana komunikasi dan teknologi yang dapat menyampaikan sebuah informasi keterlihatan hilal dari satu tempat ke tempat lain secara cepat dan akurat, terlebih wilayah yang teramat jauh secara teritorial geografis. Ketiga, konsepsi matlak global merupakan keniscayaan dalam kalender Islam yang bersifat global, termasuk KHGT, karena itu penerimaan atasnya merupakan keniscayaan pula yang jika tidak maka kalender Islam yang bersifat global tidak akan pernah terwujud. Keempat, dalam kenyataannya konsepsi matlak global tidak memerlukan otoritas dalam penerapannya. Jika otoritas ‘dipaksakan’ maka secara otomatis meletakkan Kalender Islam Global dalam campur tangan (regulasi) manusia, yang ini bukan yang dimaksud dalam Kalender Islam Global. Wallahu a’lam[]
Sekali lagi, KHGT mengabaikan kepentingan pengamal rukyat.
– Bagi *pengamal hisab*, mathla’ global tdk masalah, karena tdk dikaitkan dg bukti keterlihatan hilal. Bagi mereka otoritas juga tdk diperlukan, karena sepenuhnya berbasis hisab.
– Namun bagi *pengamal rukyat* yg mensyaratkan keterlihatan hilal, mathla’ lokal atau regional lebih cocok. Hasil rukyat mesti di-itsbat-kan oleh suatu otoritas.
Itulah bedanya KHGT dg kriteria MABIMS.
– KHGT *hanya mengakomodasi pengamal hisab*. Jadi KHGT bersifat eksklusif.
– Kriteria MABIMS *mengakomodasi pengamal hisab dan pengamal rukyat*. Kriteria MABIMS bersifat inklusif mempersatukan.
Pengamal rukyat itu mendasarkan pd kesaksian rukyat, bukan imkan rukyat. Bisa dibuktikan, apakah ada negara pengamal rukyat yg menerapkan KHGT, mengabaikan rukyat lokal mereka?
Kesekian kali, KHGT tdk mengabaikan pengamal rukyat.
– Dasar matlak global (dlm sejarah dan fikih) adalah rukyat dan dibuktikan dgn keterlihatan hilal (kini dgn imkan rukyat), bukan hisab semata. Penjelasan ulama (fukaha) soal ini sdh sangat gamblang.
– Dlm hal ibadah bukan soal cocok tdk cocok, tapi mana yg sesuai syariat (dan sains) dan lebih maslahat.
– Ya, KHGT dan MABIMS memang beda.