Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Pasca Kongres Turki 1438 H/2016 M, ada banyak kajian kalender Islam global yang dilakukan berbagai pihak, baik pro maupun kontra, baik oleh lembaga, ormas, perguruan tinggi, maupun pribadi. Sejatinya, sebelum tahun 1438 H/2016 M, Muhammadiyah telah mengusung Kalender Islam Global yaitu saat Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Makassar tahun 1437 H/2015 M, artinya jauh sebelum itu Muhammadiyah telah mengkaji masalah ini. Selanjutnya momentum putusan Kongres Turki 1438 H/2016 M yang memutuskan konsep Kalender Islam yang bersifat global-tunggal menjadi momentum penting bagi Muhammadiyah sehingga mengadopsinya. Puncaknya lagi, saat Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Solo tahun 1444 H/2022 M, Kalender Islam Global kembali menjadi agenda utama, bahkan agenda ini masuk dalam program Risalah Islam Berkemajuan (RIB), yang artinya ‘proyek’ Kalender Islam Global menjadi agenda jangka panjang dan selamanya bagi Muhammadiyah alias sampai terwujud, Muhammadiyah menamakannya dengan KHGT (Kalender Hijriah Global Tunggal)
Dalam perkembangannya, salah satu yang menjadi pro-kontra dari dan dalam putusan Kongres Turki 1438 H/2016 M ini adalah terkait rumusan keterlihatan hilal atau imkan rukyat 5-8 pertama kali dimana saja. Tampaknya pernyataan dan penetapan ‘dimana saja’ ini menjadi keberatan utama yang menyebabkan peluang merukyat atau kemungkinan keterliahatan hilal (imkan rukyat) di Indonesia akan sulit bahkan tidak mungkin. Sementara praktik umat Islam hari ini, tanpa terkecuali di Indonesia, menginginkan bahkan mengharuskan keterlihatan hilal atau imkan rukyat itu mesti secara lokal alias bukan berdasarkan keterlihatan atau visibilitas hilal di tempat lain. Keberatan lain, akan terjadi hilal sudah terlihat atau imkan rukyat 5-8 di suatu tempat (yaitu di ujung barat, misalnya di Amerika) sementara di tempat lain (di ujung timur, misalnya di Indonesia) hilal masih di bawah ufuk alias hilal masih negatif. Keberatan lain lagi, praktik mencukupkan rukyat atau imkan rukyat 5-8 di suatu tempat pertama kali di muka bumi dianggap mengabaikan pengamal rukyat di tempat lain dan terkesan seolah hanya mengakomodir pengamal hisab. Mungkin saja masih ada keberatan-keberatan lain dibalik parameter Kongres Turki 1438 H/2016 M (atau konsep KHGT Muhammadiyah) ini.
Secara sosio-historis, keberatan-keberatan diatas terbilang wajar karena berbeda dan bertentangan dengan apa yang dipraktikkan selama ini, betapapun dalam khazanah fikih Islam aneka pandangan, praktik, dan pendapat itu telah ada dan berkembang. Namun untuk konteks dan tujuan besar, ijtihad progresif berkemajuan (yaitu KHGT Muhammadiyah-Turki 1438 H/2016 M) mesti dihadirkan dan digulirkan. Hal ini berangkat dari kebutuhan penertiban waktu ibadah dan aktivitas sipil umat Islam serta globalitas yang tak terhindarkan. Dunia dan kontestasinya yang mengglobal meniscayakan umat Islam mesti responsif dan adaptif, dimana adanya sistem penjadwalan waktu yang terpadu, terintegrasi, global, dan tunggal merupakan kebutuhan umat Islam di zaman modern yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Lantas, dalam konteks perumusan kalender Islam yang bersifat global dan berfungsi menyatukan ibadah umat Islam di seluruh dunia, parameter (kriteria) apa dan bagaimana yang paling ideal dan paling memenuhi aspek syariat dan sains? Pada dasarnya semua parameter (kriteria) pasti memiliki kekurangan, namun di tengah kekurangan itu tentu ada kelebihan (keunggulan) yang patut terus diupayakan demi maslahat yang lebih besar yaitu terwujudnya sistem penjadwalan waktu (kalender) umat Islam di seluruh dunia yang notabenenya merupakan identitas peradaban Islam. Prinsipnya adalah selama tidak bertentangan dengan syariat dan sains maka upaya-upaya itu patut terus diperjuangkan, sekali lagi demi maslahat yang lebih besar.
Adapun argumen hilal terlihat pertama kali dimana saja (alias di ujung barat) adalah berdasarkan hadis-hadis Nabi Saw, diantaranya “puasalah kalian karena melihat hilal, dan berhari-rayalah karena melihat hilal” (HR. Al-Bukhari). Hadis ini sebagaimana dipahami dan diterjemahkan oleh para ulama lintas mazhab menegaskan tatkala hilal terlihat dan telah tetap (tsabat) pertama kali di suatu tempat maka selanjutnya diberlakukan untuk umat Islam di seluruh muka bumi tanpa terkecuali. Sama sekali tidak ada narasi dari para ulama bahwa keterlihatan hilal itu harus merata dan terdistribusi ke seluruh muka bumi alias terlihat (atau memenuhi imkan rukyat) di tempat-tempat lain, misalnya di ujung timur atau kawasan tertentu lainnya.
Lalu mengapa dalam praktiknya selalu di ujung barat? Adalah karena sesuai tabiatnya hilal akan muncul pertama kali di kawasan barat bumi dan posisinya (tinggi dan elongasi) lebih tinggi dibanding di wilayah lain, yang terus bergerak ke arah timur dari menit ke menit, jam ke jam, dan seterusnya. Karena itu pula, salah satu klausul dalam parameter keputusan Kongres Turki 1438 H/2016 M mensyaratkan ijtimak telah terjadi sebelum tengah malam di GMT (Greenwich Mean Time) dan atau sebelum fajar di Selandia Baru. Klausul ini tidak lain hendak menegaskan bahwa tidak mungkin keterlihatan hilal atau imkan rukyat itu terjadi dalam satu waktu di seluruh muka bumi, karena itu ijtimak menjadi standar syariat dan sainsnya. Ijtimak menandakan telah sempurna satu sinodis peredaran bulan mengelilingi bumi yang memastikan bahwa bilangan bulan tidak kurang dari 29 hari dan tidak lebih dari 30 hari, sesuai pernyataan Nabi Saw tentang umur bulan.
Memang, sekali lagi kendala dan yang menjadi keberatan adalah manakala hilal telah memenuhi 5-8 di ujung barat maka dapat terjadi di ujung timur (misalnya di Indonesia) hilal masih negatif, tentu peluang melaksanakan rukyat dalam kondisi ini sama sekali tidak ada, bahkan tidak diperlukan. Sementara praktik selama ini, aktivitas rukyat merupakan praktik rutin dan sakral yang harus dilaksanakan sebagian umat Islam di Indonesia. Bahkan negara melalui Kementerian Agama telah pula membuat regulasi formal dan mekanisme pelaksanaan rukyatul hilal setiap tahunnya yang menjadi salah satu dasar dalam memutuskan masuknya awal bulan hijriah melalui forum sidang isbat. Bahkan di Kementerian Agama terdapat Subdirektorat Hisab Rukyat dan Syariah yang menangani masalah penentuan awal bulan, yang bertanggungjawab kepada Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, kepada Menteri Agama Republik Indonesia, dan kepada Presiden RI. Dalam Subdirektorat Hisab Rukyat dan Syariah terdapat pejabat, aparatur sipil negara (ASN), pegawai, dan staf yang telah definitif, yang telah memiliki tugas pokok dan fungsi dalam regulasi, administrasi, dan operasional lapangan pelaksanaan rukyatul hilal setiap tahun, bahkan setiap bulan. Tentu ini sesuatu yang harus dipikirkan secara baik dan cermat karena menyangkut administratif, kepentingan, kebijakan, motif, tradisi, bahkan nasib.
Ada pandangan, bagaimana jika keterlihatan hilal atau imkan rukyat itu ditetapkan di kawasan timur dunia, misalnya kawasan barat Asia Tenggara, dengan tujuan agar pengamal rukyat terakomodir. Sekilas cara pandang ini tampak mudah dan sederhana, namun ada konsekuensi syariat dan sains yang dilanggar. Dapat terjadi tatkala hilal telah terlihat atau telah memenuhi ambang batas tertentu di ujung barat (misalnya di Amerika) sementara di ujung timur (misalnya di Indonesia) hilal masih lebih rendah bahkan masih negatif. Dalam kondisi ini jika kawasan ujung barat harus menunggu dan menunda masuk awal bulan hanya karena agar di ujung timur hilal juga terlihat atau memenuhi imkan rukyat, maka ini bertentangan dengan hadis-hadis Nabi Saw yang secara tegas menyatakan jika hilal terlihat di suatu tempat maka segera saat itu juga untuk berpuasa atau berhari-raya tanpa menunda, yang dalam penjabaran ulama keterlihatan atau kemungkinan keterlihatan itu diberlakukan ke seluruh umat Islam dimana saja, yang dikenal dengan prinsip matlak global (ittihad al-mathali’). Dengan argumen hilal di ujung barat (dengan parameter 5-8 pertama kali) sekali lagi memastikan bahwa hilal dapat terlihat (atau memenuhi imkan rukyat 5-8) betapapun hanya di satu tempat tertentu, lalu dapat dipastikan telah terjadi ijtimak di seluruh muka bumi guna memersiskan satu putaran sinodis bulan mengelilingi bumi (QS. Yasin [36] ayat 39), berikutnya dapat dipastikan bahwa bilangan bulan tidak kurang dari 29 hari dan tidak lebih 30 hari. Ini lebih berterima dari harus menunda suatu kawasan yang mengakibatkan suatu kawasan itu terpaksa mengundurkan masuk awal bulan (padahal hilal sudah terlihat atau memenuhi imkan rukyat).
Selain itu, menetapkan parameter keterlihatan atau kemungkinan terlihatnya hilal di suatu kawasan tertentu (misalnya kawasan barat Asia Tenggara) secara otomatis membatalkan sifat global kalender itu sendiri. Konsep global harus diposisikan global dan dalam perspektif global, tidak boleh diletakkan dalam perspektif lokal. Selain itu penetapan kawasan tertentu (misalnya kawasan barat Asia Tenggara tadi) problematis karena masih ada kawasan (negara) lain di sebelah timurnya, mengapa harus kawasan barat Asia Tenggara? Logika dan analogi kawasan timur mengikut kawasan barat sesungguhnya serupa dengan konteks wilayatul hukmi di suatu negara, dimana tatkala hilal telah terlihat atau telah memenuhi ambang batas tertentu maka ia diberlakukan ke kawasan lain suatu negara itu tanpa terkecuali, yang penting seluruhnya telah terjadi ijtimak, yang diperkuat lagi dengan prinsip matlak global. Wallahu a’lam[]