Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Wujudul Hilal merupakan terminologi dan konsep penentuan awal bulan yang digunakan Muhammadiyah yang segera akan ditransformasikan menjadi imkan rukyat global. Muhammadiyah akan beralih kepada konsep Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) hasil putusan Muktamar Turki tahun 1437 H/2016 M yaitu dengan mengadopsi imkan rukyat 5-8 (ketinggian hilal 5 derajat dan sudut elongasi 8 derajat). Dengan mengadopsi putusan Turki ini bermakna Muhammadiyah beralih dari hisab dengan kriteria Wujudul Hilal kepada hisab dengan kriteria Imkan Rukyat, hanya saja skopnya global (internasional). Konsep Wujudul Hilal sendiri sudah eksis sangat lama dengan segenap apresiasi dan gempuran kritiknya dari berbagai pihak yang tentunya ini normal dan positif. Namun sekali lagi, Wujudul Hilal akan segera direkonstruksi menjadi imkan rukyat global sehingga kritik atas Wujudul Hilal, terlepas sekritis apa kritik itu, sesungguhnya saat ini sudah tidak kontekstual lagi, bahkan dapat dikatakan menghabiskan energi.
Perumusan konsep Wujudul Hilal sendiri di Muhammadiyah melalui proses yang panjang alias tidak datang tiba-tiba. Secara implementatif, Wujudul Hilal memuat tiga parameter yang penggunaannya secara kumulatif, artinya ketiganya harus terpenuhi alias tidak bisa ditafsiri secara parsial misalnya semata menyematkan Muhammadiyah menetapakan puasa dengan “ketinggian nol derajat”. Tiga parameter Wujudul Hilal itu adalah : (1) ijtimak atau konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, (2) matahari terbenam lebih dulu dari bulan (moonset setelah sunset), dan (3) saat matahari terbenam hilal sudah wujud di atas ufuk berapapun ketinggiannya.
Ijtimak atau konjungsi adalah proses segaris-bujurnya bumi, bulan, dan matahari yang menandakan bahwa satu sinodis perputaran bulan mengelilingi bumi telah sempurna selama satu bulan dengan durasi 29 hari, 12 jam 44, menit, dan 2,8 detik. Ijtimak merupakan standar dalam penentuan awal bulan, oleh karena ia menjadi batas pergantian satu bulan kamariah dengan bulan kamariah berikutnya (QS. Yasin ayat 39). Berikutnya dalam parameter ini ijtimak diharuskan terjadi sebelum gurub (sebelum terbenam matahari), tujuannya agar saat gurub posisi hilal sudah atau masih berada di atas ufuk atau berada dalam ketinggian tertentu. Parameter konjungsi ini juga digunakan dalam prinsip rukyat, hanya saja dalam rukyat mengharuskan terlihat atau memungkinkan terlihat, sementara dalam Wujudul Hilal tidak mengharuskan terlihat atau memungkinkan terlihat. Karena itu, baik Wujudul Hilal maupun Rukyat keduanya sama-sama menggunakan konsepsi ijtimak atau konjungsi.
Sementara itu parameter bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset setelah sunset) memuat pesan bahwa setelah gurub matahari (pasca konjungsi), maka posisi hilal sudah berada di atas ufuk atau berada dalam ketinggian tertentu, adakalanya posisinya 5 derajat sehingga memungkinkan terlihat, atau adakalanya 0 derajat sehingga tidak mungkin terlihat, dan seterusnya. Dalam ketinggian berapa derajatpun, asal matahari terbenam lebih dulu dari bulan, maka menurut teori Wujudul Hilal awal bulan dinyatakan telah tiba, yang berbeda jika sebaliknya yaitu ketika bulan terbenam lebih dulu dari matahari (posisi hilal di bawah ufuk). Dalam prinsip rukyat, pengamatan hilal juga hanya dapat dilakukan jika matahari terbenam lebih dulu dari bulan (pasca konjungsi), jika sebaliknya maka dipastikan hilal tidak memungkinkan terlihat, bahkan mustahil terlihat, dan bila ada yang mengaku melihat dan melaporkan melihat hilal dipastikan itu bukan hilal, sebab dalam kondisi ini hilal mustahil terlihat karena bulan terbenam lebih dulu dari matahari. Karena itu, sesuatu yang paradoks manakala rukyat dilakukan tatkala bulan terbenam lebih dulu dari matahari, jelas ini bertentangan dengan substansi hadis-hadis rukyat itu sendiri. Esensi rukyat itu dilakukan adalah karena hilal memang ada (wujud) dan berada di atas ufuk alias matahari terbenam lebih dulu dari bulan. Karena itu, prinsip bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset setelah sunset) pada dasarnya menjadi standar dalam Rukyat maupun Wujudul Hilal. Hanya saja sekali lagi Muhammadiyah tidak mengharuskan terlihat atau memungkinkan terlihat, sementara yang lainnya sebaliknya. Inilah pilihan dan ijtihad Muhammadiyah dengan segenap kekurangan dan kelebihannya, sesederhana itu.
Karena itu lagi, parameter ketiga Wujudul Hilal mensyaratkan hilal sudah wujud di atas ufuk. Betapapun pasca konjungsi (ijtimak) matahari terbenam lebih dulu dari bulan, namun mesti dipastikan saat terbenam matahari itu hilal sudah wujud atau berada di atas ufuk berapapun ketinggiannya, yang mana ini juga berlaku dalam rukyat. Kondisi hilal mudah dilihat, sulit dilihat, mungkin dilihat, bahkan tidak mungkin dilihat, semua bergantung pada wujudnya hilal di atas ufuk. Sekali lagi, Muhammadiyah memilih ketinggian berapa saja, sedangkan yang lainnya menetapkan dengan angka tertentu. Di sini letak tipis perbedaannya, dan pada dasarnya ini sangat sederhana, ini pilihan dan ijtihad.
Sekali lagi ini adalah argumen hisab Wujudul Hilal Muhammadiyah yang segera akan ‘ditinggalkan’ dan beralih kepada Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT). Kini Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdidnya gencar mensosialisasikan KHGT dan bersiap untuk menerapkannya. Alangkah lebih baik kritik itu diarahkan pada konsepsi KHGT yang akan diusung Muhammadiyah ini, yang artinya mengkritisi hasil putusan Muktamar Turki 1437 H/2016 M. Karena sekali lagi setiap produk ijtihad, terlebih ijtihad global, memerlukan uji dan akurasi dari berbagai perspektif untuk melihat kompatibilitasnya secara syariat, sains, dan sosial. Saya mengikuti kritik atas Wujudul Hilal yang ditulis seorang ulama muda (gus) di media sosial, beberapa kolega meminta saya untuk ikut berdiskusi, namun saya memilih sekedar mengikuti tanpa menanggapi, saya belum tertarik berdialektika karena sepertinya akan menyita waktu, selain karena ini tema lama. Kritik beliau bernas dan positif, betapapun terdapat celah pula untuk dikritisi. Tulisan ini semata deskripsi, bukan hak jawab apalagi counter, karena memang sudah tidak kontekstual. Saya menghormati beliau, beliau orang alim, semoga beliau sehat dan diberkahi selalu, Amin[].