Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Imkan Rukyat adalah metode penentuan awal bulan dengan prinsip awal bulan dinyatakan masuk apabila hilal telah berada pada ketinggian (dan elongasi) tertentu yang mana dalam keadaan itu diduga (dimungkinkan) hilal dapat terlihat, sehingga dinamakan Imkan Rukyat. Secara historis, metode Imkan Rukyat berkembang di kalangan ulama (fukaha) dan astronom Muslim. Adapun ambang batas keterlihatan hilal yang berkembang di masa silam sangat variatif dan fleksibel, yang dalam penjelasan para astronom Muslim bergantung lokasi, posisi geografis, keadaan alam, cuaca, musim, dan lain-lain. Standar imkan rukyat yang berkembang antara 6-10 derajat (Arwin, 2018) atau 3.6-12.7 derajat (Al-Sha’b, 1437 H).
Pada dasarnya tidak ada dalil spesifik yang menyatakan bahwa dalam menetapkan awal bulan dengan Imkan Rukyat dalam pengertian berdasarkan ketinggian hilal di posisi (angka) tertentu. Imkan rukyat adalah kontekstualisasi dan perluasan atas hadis-hadis rukyat yang betapapun dengan tetap mempraktikkan rukyat namun dengan terlebih dulu menetapkan dan menyepakati ambang batasnya, yang ini tidak ada dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw dan para sahabat.
Secara substantif, antara rukyat dan imkan rukyat sesungghnya berbeda, yang karena itu kualitas argumen (dalil) keduanya juga berbeda betapapun dari sumber yang sama. Hadis-hadis rukyat yang meniscayakan melihat hilal secara visual sebagaimana praktik para sahabat atas instruksi Nabi Saw menegaskan manakala hilal tidak terlihat maka bilangan bulan secara otomatis digenapkan 30 hari. Dalam praktiknya tidak pernah ada ambang batas tertentu, yang menjadi acuan masuk atau istikmalnya awal bulan bergantung hasil rukyat saat tanggal 29. Hal ini berbeda dengan Imkan Rukyat yang betapapun rukyat baru akan dilaksanakan namun keputusannya telah diketahui sejak sebelum praktik rukyat itu dilakukan. Ini tentu berbeda dengan substansi hadis-hadis rukyat.
Karena itu secara konseptual dengan menetapkan angka (ambang batas) tertentu secara otomatis konsep Imkan Rukyat ini sesungguhnya menjadi definitif alias pasti, telah diketahui hasilnya, dan sebenarnya dapat ditetapkan sejak jauh hari. Namun oleh karena praktik rukyat mesti dilakukan, betapapun sekali lagi keputusannya telah diketahui, maka penetapan itu ditunda dan baru diputuskan saat dan atau setelah pelaksanaan rukyat, tradisi ini lazim dilakukan di sejumlah kalangan umat Islam di Indonesia, diakomodir dan difasilitasi secara maksimal oleh negara (Kementerian Agama RI). Sekali lagi ini berbeda dengan rukyat di zaman Nabi Saw yang tidak diketahui hasilnya kecuali setelah pelaksanaan rukyat itu sendiri.
Logika Imkan Rukyat adalah, betapapun praktik rukyat tetap dilakukan, manakala hilal tidak memenuhi ambang batas yang telah ditetapkan maka awal bulan tetap dinyatakan belum tiba, apabila ada yang melaporkan melihat hilal maka kesaksian itu mesti ditolak, jika diterima maka ini bertentangan dengan konsep dasar Imkan Rukyat itu sendiri. Sebaliknya, manakala hilal telah memenuhi ambang batas yang telah ditetapkan, maka awal bulan mesti dinyatakan tiba, andai tidak ada yang melaporkan melihat hilal maka awal bulan harus tetap dinyatakan tiba, dan apabila tidak dinyatakan tiba maka sekali lagi ini paradoks dengan konsep dasar Imkan Rukyat lagi.
Dengan definitifnya Imkan Rukyat ini maka konteks dan konsep istikmal sebagaiman dimaksud dalam hadis-hadis rukyat pada dasarnya sudah tidak kompatibel lagi oleh karena telah ada dan diketahui hasilnya yaitu dengan telah tersedianya ambang batas Imkan Rukyat tersebut.
Dalam rukyat, unsur dan praktik melihat secara visual dan faktual di lapangan menjadi kemestian, apapun hasilnya. Sementara dalam Imkan Rukyat, betapapun melihat secara langsung diharuskan namun hasilnya pada dasarnya telah diketahui. Karena itu pula dalam konteks ini aktivitas merukyat dalam konsep Imkan Rukyat, terlepas untuk alasan menjalankan sunah Nabi Saw atau lainnya, pada dasarnya adalah suatu pekerjaan yang hasilnya sudah diketahui (tahshil al-hashil),untuk tidak mengatakan sia-sia, yang tidak demikian halnya dengan rukyat an sich. Karena itu sekali lagi rukyat berbeda dengan imkan rukyat, dalam rukyat belum ada kepastian jatuhnya tanggal satu kecuali setelah rukyat dilakukan, sedangkan dalam Imkan Rukyat sudah ada kepastian masuknya tanggal satu walaupun mesti ‘dilegitimasi’ dengan praktik pengamatan di lapangan.
Dengan logika ini pula maka Imkan Rukyat dinyatakan sebagai metode hisab, bukan metode rukyat, yang setara dengan varian dan kriteria hisab lainnya. Ijtimak, moonset after sunset, hilal di atas ufuk dengan ketinggian tertentu, pada dasarnya menjadi dasar dan parameter yang harus ada dalam Imkan Rukyat. Karena itu pula dalam hierarki dan klasifikasinya Imkan Rukyat masuk dalam salah satu kriteria hisab penentuan awal bulan yang berkembang saat ini terutama di Indonesia, dengan segenap kelebihan dan kekurangannya, sebagaimana kelebihan dan kekurangan dalam Wujudul Hilal. Wallahu a’lam[]