Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
QS. Al-Baqarah [02] ayat 142-144 menjelaskan tentang kewajiban menghadap kiblat dan pemindahan arahnya dari “Bait al-Maqdis” ke “Baitullah”. Seperti diketahui Nabi Saw dan sahabat ketika berada di Makkah salat menghadap ke Bait al-Maqdis selama 16 bulan lebih hingga akhirnya datang wahyu untuk menghadap ke Ka’bah . Tatkala Nabi Saw dan sahabat hijrah dari kota Makkah ke Madinah, dimana ketika itu mayoritas penduduk Madinah adalah kaum Yahudi, Nabi Saw diperintahkan untuk menghadap ke Bait al-Maqdis tatkala salat. Tak ayal ini menjadikan kegembiraan luar biasa bagi orang-orang Yahudi Madinah ketika itu. Ibn Abbas meriwayatkan, setelah hijrahnya Nabi Saw dan sahabat dari Makkah ke Madinah, kaum Muslimin diperintahkan salat menghadap Bait al-Maqdis yang terletak di Quds (Palestina).
Para mufasir dan fukaha mengungkapkan ada dua pandangan mengenai perintah menghadap Bait al-Maqdis ini, yaitu apakah berdasarkan wahyu (al-Qur’an) ataukah berdasarkan ijtihad Nabi Saw? Al-Mawardi (w. 450 H) seperti dikutip An-Nawawi (w. 676 H) mengatakan ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa perintah itu berdasarkan ijtihad (sunah) Nabi Saw, bukan berdasarkan al-Qur’an. Pendapat ini sekaligus menunjukkan bahwa al-Qur’an hukumnya dapat dibatalkan (yunsakh) oleh as-Sunnah, dan ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafii (w. 204 H). Pendapat ini juga dikemukakan oleh Al-Qurṫubi (w. 671 H) dalam tafsirnya “Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān”. Pendapat kedua, menyatakan perintah itu berdasarkan al-Qur’an (wahyu) yaitu firman Allah “wamā ja’alnā al-qiblah allati kunta ‘alaihā…”.
Tatkala di Madinah, sebelum beralihnya arah kiblat, Nabi Saw selalu menengadahkan wajahnya ke langit menunggu dan berharap wahyu dari Allah kiranya arah kiblat dipindah ke Ka’bah di Makkah yang begitu ia cintai. Keinginan dan kecendrungan Nabi Saw ke Ka’bah ini pada akhirnya dikabulkan oleh Allah yaitu dengan turunnya QS. Al-Baqarah [02]: ayat 144. Ayat ini secara tegas merupakan jawaban dari keinginan dan kerinduan Nabi Saw terhadap Ka’bah yang dibangun oleh seniornya, Nabi Ibrahim. Seperti diriwayatkan Ibn Abbas lagi, Nabi Saw setiap selesai dari salatnya mengangkat kepalanya menghadap ke langit. Ibn Katsir menjelaskan, inilah sebab diturunkannya ayat tersebut. Dengan turunnya ayat ini Nabi Saw merasa gembira karena kerinduannya yang begitu mendalam akhirnya terwujud.
Quds (Palestina) secara astronomis berada pada posisi geografis 31° 47′ LU dan 35º 12’ BT. Sementara Makkah berada pada posisi geografis 21° 25′ LU dan 39º 49’ BT, dan Madinah berada pada posisi geografis 24º 28’ LU dan 39º 36’ BT. Secara astronomis, ketika seorang Muslim salat menghadap ke Bait al-Maqdis berarti ia salat menghadap arah utara dengan sedikit miring ke arah barat sekitar 4 derajat. Namun setelah beralihnya kiblat ke Makkah, seorang muslim tidak lagi salat menghadap arah utara namun persis menghadap arah selatan. Secara geografis-astronomis, garis bujur antara kota Makkah dan kota Madinah hampir berada pada garis yang sama (garis bujur Makkah 39º 49’ dan garis bujur Madinah 39º 36’) sehingga nyaris tidak ditemukan perpalingan signifikan keduanya. Artinya, arah magnetis yang ditunjukkan dengan kompas atau dengan alat modern lainnya tidak terdapat perbedaan arah yang hakiki. Data ini juga sekaligus mengindikasikan secara astronomis dan geografis bahwa kota-kota yang segaris bujur dengan kota Makkah pada hakikatnya menghadap arah selatan atau utara geografis sempurna. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw yang menyatakan “diantara timur dan barat disana arah kiblat” (HR. Baihaqi).

Diarahkannya kiblat ke kota Makkah yang tepat mengarah ke selatan atau utara sempurna ini merupakan hidayah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dalam Q. 02: 142 ditegaskan bahwa Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Ibn Katsir menjelaskan pengertian “jalan yang lurus” (shirath mustaqim) sebagai “thariq wadhih” (jalan yang jelas) yang tiada membengkok (i’wijāj), yang mana secara astronomis-geografis seperti telah dikemukakan kota Makkah berada pada satu garis lurus utara-selatan.
Hikmah lain yang bisa dipetik dari pengalihan arah kiblat ini diantaranya adalah lebih memudahkan untuk menentukan arah kiblat di tempat lain dengan menggunakan fenomena matahari. Matahari dalam interval setahun akan melalui garis deklinasi utara pada tanggal 21 Juni dimana matahari akan berada pada 23,5º LU, enam bulan kemudian, pada tanggal 21 Desember matahari akan berada pada posisi 23,5º LS. Hal ini terjadi akibat gerak tahunan matahari yang dikombinasikan dengan gerak terbit-terbenamnya akibat rotasi bumi, maka Matahari akan menyinari daerah-daerah yang memiliki lintang antara 23,5º LU dan 23,5º LS. Pada daerah-daerah di permukaan bumi yang memiliki lintang dalam rentang tersebut, matahari dua kali setahun akan berada kurang lebih tepat di atas Ka’bah . Karena Makkah berada 21º 25′ LU yang berarti berada dalam daerah yang disebutkan diatas, maka dua kali dalam setahun, Matahari akan tepat berada diatas kota Makkah. Andai saja kiblat tetap berada di Bait al-Maqdis (Masjid al-Aqsha) di Palestina, kita akan kesulitan (bahkan tidak mungkin) menentukan arah kiblat dengan fenomena matahari ini, karena Quds (Palestina) berada pada 31°46′ LU, yaitu berada diatas 21º 25′ LU.
Hikmah lain, Ka’bah memiliki power yang besar karena dijadikan sebagai kiblat umat Islam diseluruh dunia dalam salat. Setiap kali seorang muslim menunaikan salat ia berpedoman dengan gerak harian matahari. Logikanya, ketika kita berada di wilayah barat, di kota Medan misalnya, dan kita sedang melaksanakan salat Zuhur, maka dalam waktu yang lain, selang beberapa jam, di wilayah sebelah timurnya baru akan melaksanakan salat Zuhur, dan ketika itu kita yang berada diwilayah barat akan melaksanakan salat Asar, dan begitu seterusnya. Karena matahari sesuai peredaran semunya bergerak ke arah barat. Filosofinya, semua umat Islam dipenjuru dunia ini senantiasa dalam salat dan zikir, dan praktis semua energi ibadah tersebut mengarah ke titik yang sama yaitu Ka’bah .
Hikmah lain lagi, dari sudut pandang ilmu Geologi, kota Makkah dan hampir semua kawasan Hijaz berdiri di atas bagian kerak bumi yang sudah sangat tua dan stabil, dan dikenal sebagai ‘Arabian Nubian Shield’. Di kondisi seperti ini sangat jarang terjadi gempa, berbeda halnya dengan kota Jerusalem dan sekitarnya di Palestina yang berdiri diatas lintasan patahan besar Laut Mati, yang membentang dari Teluk Aqaba di barat daya hingga pegunungan Taurus dan Van di Turki. Patahan besar ini berdasarkan penelitian modern masih aktif dan berulang kali menjadi cikal bakal terjadinya gempa yang merusak. Dari analisa ini menunjukkan peluang terjadinya gempa di kota Jerusalem lebih mungkin terjadi dibanding kota Makkah. Wallāhu a’lam[]