Ajraini Nazli
Tim OIF UMSU
Bayangkan kita sedang berada di suatu kereta. Pandangan kita sangat terbatas terhadap apa-apa saja yang ada di luar kereta. Kita hanya dapat melihat beberapa pepohonan di samping kiri dan kanan kereta sehingga kita relatif mengukur kecepatan kereta berdasarkan pergerakan benda-benda di kanan dan kiri kereta. Seperti itulah kira-kira analogi bagaimana kita memahami alam semesta. Kereta ibarat Bumi tempat kita tinggal. Karena banyak keterbatasan, kita hanya mampu melihat objek-objek langit yang cahayanya mencapai Bumi. Dari informasi tersebut, kita menduga bagaimana alam semesta kita bekerja.
Setiap saat kita melihat ada begitu banyak bintang dan galaksi di langit, maka kita akan menyimpulkan alam semesta dipenuhi olehnya. Kita juga memiliki pengetahuan bahwa setiap dua benda bermassa memiliki gaya gravitasi yang membuat benda tersebut tarik-menarik. Hal ini menyebabkan dua benda tersebut mendekat satu sama lain.
Jika dugaan kita bahwa alam semesta dipenuhi galaksi benar, maka bisa dibayangkan sebesar apa gaya gravitasi yang bekerja pada alam semesta. Alih-alilh konstan, efek gravitasi yang begitu besar menyebabkan alam semesta menyusut. Untuk membayangkannya dengan mudah, perhatikan bagaimana bola yang kita lempar ke atas. Karena gaya gravitasi Bumi, bola tersebut pada satu waktu berhenti di ketinggian maksimum yang bisa dicapainya lalu kembali ke tanah. Bola tersebut tidak pernah lepas dari gaya gravitasi yang efeknya sangat besar.
Dugaan tersebut mendorong para astronom mencari bukti penyusutan alam semesta. Pada tahun 1990-an, didukung dengan teknologi berupa teleskop terbesar di dunia saat itu, dua tim peneliti bekerja mengamati ledakan bintang yang disebut sebagai Supernova tipe Ia.
Ledakan ini berasal dari bintang katai putih dan bintang pasangan yang mengitari satu sama lain. Bintang katai putih menerima transfer massa dari bintang pasangannya. Namun semuanya pasti ada batas termasuk batas massa yang bisa ditampung oleh bintang katai putih. Ambang batas massa bintang katai putih adalah 1,4 kali massa Matahari. Ketika batas tersebut tercapai, bintang akan meledak. Ledakan itu yang diteliti oleh para astronom tersebut.
Sesuai dugaan awal, jika alam semesta menyusut artinya jarak Supernova Ia akan semakin dekat. Alhasil, Supernova Ia akan tampak lebih terang. Namun, nyatanya, dari hasil pengamatan ditemukan bahwa Supernova Ia tersebut tampak lebih redup. Penemuan ini mengejutkan para astronom di seluruh dunia. Dicarilah berbagai hal yang mampu menjelaskan hasil pengamatan tersebut termasuk mencari tahu faktor apa saja yang membuat objek tersebut tampak lebih redup. Salah satunya karena debu antar galaksi yang menyebabkan cahaya yang dipancarkan Supernova Ia diserap sepanjang perjalanan menuju Bumi. Namun, penjelasan tersebut tidak cukup.
Alternatif jawaban lain yang pada akhirnya mampu menjelaskan hasil penelitian tersebut adalah alam semesta mengembang dipercepat. Bukan menyusut. Sampai disini, mungkin terdengar aneh karena bagaimana bisa alam semesta mengembang dipercepat padahal ada begitu besar pengaruh gaya gravitasi.
Alam semesta yang mengembang dipercepat membuat jarak antar satu objek dengan objek lain menjauh dari waktu ke waktu. Perumpamaannya dapat digambarkan melalui animasi di bawah ini (gambar 1).
Gambar 1. Perumpamaan alam semesta yang mengembang (credit: Rob Knop)
Jika alam semesta mengembang lebih cepat dibandingkan miliar tahun yang lalu, maka jarak kita ke Supernova Ia akan semakin jauh. Tidak seperti dugaan awal dimana jaraknya mendekat. Jarak yang semakin jauh membuat cahaya Supernova Ia tampak lebih redup. Hal ini menjawab hasil pengamatan yang diperoleh oleh para astronom. Namun, bagaimana alam semesta bisa mengembang dipercepat?
Salah satu tulisan di situs NASA memberikan perumpamaan yang sangat baik. Jika kita ingin mempercepat mobil, maka kita harus menyuplai tenaga dengan menginjak gas. Hal yang sama berlaku pada kasus pengembangan alam semesta. Untuk mempercepat pengembangan alam semesta, diperlukan suplai energi. Meski begitu, para astronom tidak tahu energi seperti apa yang mampu membuat alam semesta mengembang dipercepat. Karena masih belum diketahui dengan baik, para peneliti menyebut energi tersebut dengan sebutan dark energy (energi gelap).
Satu hal yang pasti, dark energy adalah energi yang menyebabkan alam semesta mengembang dipercepat. Selain itu, para astronom belum bisa mengetahui dengan pasti apapun tentang dark energy.
Dark energy adalah properti yang dominan di alam semesta sehingga mampu mempengaruhi bagaimana alam semesta bekerja dalam skala besar. Bahkan masih dominan jika dibandingkan dengan total efek yang mampu diberikan oleh gaya gravitasi. Hal ini karena, jika seluruh komposisi di alam semesta dijumlahkan, dark energy mengisi 68% dari total komponen yang ada di alam semesta. Sehingga, dark energy mampu “mengalahkan” efek tarikan dari gaya gravitasi.
Gambar 2. Persentase jumlah dark energy di alam semesta (credit: ESA)
Dark energy bekerja seperti anti-gravitasi artinya dark energy memberikan tekanan negatif yang mampu mengembangkan alam semesta di saat gaya gravitasi berusaha menarik objek-objek.
Meski dark energy membuat objek-objek seperti galaksi saling menjauh, pada skala yang lebih lokal, gaya gravitasi masih lebih besar efeknya. Seperti yang kita tahu bahwa gaya gravitasi berkorelasi dengan jarak. Semakin dekat jarak antar objek, efek gravitasi semakin besar. Oleh karena itu, di skala yang lokal, proses tarik-menarik antar galaksi masih dominan. Hal tersebut menyebabkan galaksi tersebut mendekat satu sama lain. Itulah mengapa dapat terjadi tubrukan antara satu galaksi dengan galaksi lain. Salah satu contohnya adalah Andromeda dan Galaksi Bima Sakti. Saat ini, Andromeda bergerak menuju Bima Sakti dengan kecepatan 113 km per detik. Dengan kecepatan tersebut, diperkirakan Andromeda dan Bima Sakti akan tabrakan 5 miliar tahun dari sekarang.
Sehingga bisa disimpulkan, bahwa pada alam semesta skala besar efek pengembangan dari dark energy mendominasi. Namun, pada skala lokal, efek gravitasi yang bermain peran.