Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU & Kepala OIF UMSU
Secara garis besar, ada tiga faktor transmisi ilmu falak dari timur tengah, persisnya dari Haramain (Makkah-Madina) ke Nusantara. Tiga faktor ini saling berhubungan dan saling terkait satu sama lain, yaitu : (1) tradisi dan ritual haji masyarakat dan pelajar Nusantara, (2) tradisi rihlah ilmiah atau menuntut ilmu di Haramain dan peran mereka di Nusantara, dan (3) masuknya Islam ke Nusantara.
Faktor pertama, yaitu tradisi dan ritual haji oleh masyarakat Nusantara. Ini merupakan faktor penting transmisi dan berkembangnya ilmu falak di Nusantara. Berangkat haji merupakan harapan dan cita-cita masyarakat Muslim Nusantara dalam setiap masa. Di Nusantara, tradisi haji telah dimulai sejak berabad-abad silam. Seperti diketahui sejak lama telah berjalan tradisi dan rutinitas dari masyarakat Muslim Nusantara untuk menunaikan ibadah haji betapapun adakalanya terdapat tantangan dan rintangan dalam proses dan perjalanannya seperti izin dari pemerintah (Belanda), masalah akomodasi (perbekalan), gangguan dalam perjalanan, dan lain-lain. Tak ayal motivasi menunaikan rukun Islam kelima ini menjadi faktor paling kuat bertransmisinya paham dan praktik keagamaan di tengah masyarakat Nusantara dan saat yang sama menyebabkan lahirnya praktik-praktik terkait ilmu falak seperti penentuan waktu-waktu salat dan arah kiblat dalam perjalanan.
Dalam praktiknya tatkala berada di Haramain para jamaah haji dan pelajar Nusantara tidak hanya melakukan rutinitas haji belaka namun juga melakukan aktivitas dan transfer keilmuan yaitu dengan belajar dan atau mengikuti halakah-halakah keilmuan yang disampaikan guru-guru (masyayikh) di Haramain terutama di Masjidil Haram. Seperti diketahui, jamaah Muslim Nusantara betapapun bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab mereka tetap dapat mengikuti halakah-halakah yang disampaikan ulama Nusantara yang menggunakan bahasa Indonesia-Nusantara (Melayu), diantaranya adalah halakah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1334 H/1915 M) dan Syaikh Muhammad Mukhtar ‘Arharid (w. 1349 H/1930 M).
Dalam praktiknya lagi, tatkala para jamaah haji ini kembali ke Nusantara berikutnya mereka mentransmisikan praktik dan paham keagamaan yang mereka dapat dari Haramain tanpa terkecuali praktik-praktik dan atau pemahaman terkait ilmu falak itu di tengah masyarakat. Praktik-praktik ini pada dasarnya menjadi faktor penting transmisi berkembangnya ilmu falak di Nusantara.
Faktor kedua, yaitu tradisi rihlah ilmiah atau menuntut ilmu di Haramain. Faktor ini merupakan indikator penting berkembang dan bertransmisinya ilmu falak di Nusantara. Selain motivasi haji, motif mendalami ilmu-ilmu agama di Haramain ternyata juga menjadi tujuan utama para pelajar dan jamaah dari Nusantara. Posisi Haramain sebagai pusat ibadah dan pusat intelektual secara sekaligus menjadikan tradisi rihlah ilmiah dan menuntut ilmu ini sangat berkembang. Berkunjung ke Haramain guna menuntut ilmu sekaligus menunaikan ibadah haji merupakan tradisi populer dan berkembang pada masa dahulu.
Dari sini tampak bahwa perkembangan ilmu falak di Nusantara merupakan buah dari perjalanan haji dan rihlah ilmiah sejumlah tokoh Nusantara ke pusat keilmuan dunia waktu itu yaitu Haramain. Tradisi menuntut ilmu para pelajar dan tokoh ini melahirkan apa yang dinamakan ‘rihlah ilmiah’ dan pada saat bersamaan membentuk jaringan keilmuan ulama Nusantara, tanpa terkecuali jaringan ulama falak.
Dalam sejarah sosial-intelektual peradaban Islam, tradisi menuntut ilmu ke Haramain yang disebut sebagai tradisi ‘rihlah ilmiah’ ini secara umum dimaksudkan sebagai setiap perjalanan guna menuntut ilmu, mencari tempat belajar yang baik, mencari guru yang lebih otoritatif, atau juga perjalanan seorang ilmuwan ke berbagai tempat, apakah dia secara formal melakukan aktivitas akademis atau tidak. Dengan definisi ini, istilah ‘rihlah ilmiah’ dapat mencakup sebuah perjalanan yang memang direncanakan untuk tujuan ilmiah (belajar) atau perjalanan biasa terkait kegiatan lainnya.
Dalam konteks ini, selain mendalami ilmu-ilmu agama, para pelajar Nusantara juga banyak yang menekuni kajian ilmu falak. Ini terbukti dengan beredarnya tokoh-tokoh (ulama) alumni Haramain yang mengusai dan memiliki telaah di bidang ilmu falak dimana mereka menulis karya di bidang ini, beberapa mereka diantaranya:
- Muhammad Arsyad Banjar (w. 1227 H/1812 M)
- Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1334/1915)
- Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid (w. 1349 H/1930 M)
- Muhammad Ma’shum bin Ali Jombang (w. 1351 H/1933 M)
- Hasan Ma’shum (w. 1355 H/1937 M)
- Muhammad Faqih (w. 1353 H/1937 M)
- Hasan bin Yahya Jambi (w. 1940 M)
- Muhammad Jamil Jambek (w. 1366 H/1947 M)
- Muhammad Manshur bin Abdul Hamid Betawi (w. 1388 H/1968 M)
- Muhammad Yasin (w. 1410 H/1990 M)
- Zubair Umar (w. 1411 H/1990 M).
Maka, faktor kedua ini terhitung sangat penting dan menetukan bertransmisinya telaah dan praktik ilmu falak di Nusantara dengan segenap adaptasi dan modifikasinya sesuai kearifan lokal masing-masing di tempat mana para tokoh ini berkiprah.
Faktor ketiga, yaitu masuknya Islam ke Nusantara. Perkembangan ilmu falak di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari proses masuknya Islam ke Nusantara. Ada banyak teori tentang masuknya Islam ke Nusantara, diantaranya mengasumsikan berasal dari orang-orang Arab yang melakukan perjalanan perdagangan ke Nusantara, bahkan sampai ke China melalui jalur laut. Teori lain menyebutkan melalui orang-orang Arab yang bermigrasi dan menetap di wilayah India yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.
Seperti diketahui, masuknya Islam ke Nusantara tidak lain melalui jalur laut yaitu dengan menggunakan kapal atau sejenisnya. Dalam perjalanan laut diperlukan pemahaman tentang arah dan posisi yang dengan demikian teori dan praktik ilmu falak terterapkan, diantaranya praktik yang lazim digunakan penentuan arah dengan menggunakan instrumen kompas. Dengan demikian patut diduga wawasan para petualang India-Arab ke Nusantara ini ikut memberi khazanah ilmu falak di Nusantara. Seperti dikemukakan Hunke, sejak lama orang-orang China telah mengetahui konsep arah melalui jarum magnetik (kompas) yang ditunjukkan melalui arah Utara-Selatan meskipun penggunaannya dalam kepentingan pelayaran baru mereka ketahui dari orang-orang Arab. Menurut Hunke lagi, pada abad ke-11 M, telah ada kapal-kapal saudagar Arab yang mengangkut barang-barang dagangan menyeberangi samudra Hindia. Hal ini diperkuat lagi dengan ditemukannya sumber-sumber Arab yang memberi informasi bahwa orang-orang Arab telah terbiasa menggunakan kompas di kapal-kapal mereka tatkala menyeberangi lautan.
Dengan demikian faktor ketiga ini yaitu proses masuknya Islam ke Nusantara sejatinya seiring pula dengan dipraktikkannya dasar-dasar ilmu falak terkait jarak, arah, dan posisi dengan instrumennya masing-masing yang notabenenya hal ini menjadi faktor transmisi dan berkembangnya ilmu falak di Nusantara. Wallahu a’lam[]