Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU & Kepala OIF UMSU
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah tokoh ulama dan ahli falak Nusantara asal Minangkabau yang memiliki pengaruh dan jaringan luas. Karya, pemikiran, dan kontribusinya dalam bidang keagamaan dan ilmu falak menjadi bukti. Selain itu, melalui peran yang ditunjukkan murid-muridnya yang memiliki telaah dalam bidang ilmu falak yang tersebar mulai dari Haramain, Timur Tengah, dan terutama di Nusantara menegaskan jaringan keilmuan falak Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau.
Karir keilmuan Syaikh Ahmad Khatib diawali dengan mempelajari al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang berkaitan yang didapat dari sang ayah (Abdul Lathif) dan juga sejumlah ulama yang ada di Minangkabau. Ia juga pernah belajar di MULO (Meer Uietgebreid Leger Orderwijs) yaitu sekolah yang didirikan oleh Belanda.
Puncak karir intelektual Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau yang membentuk performa dan karakter keilmuannya adalah rihlah dan belajarnya di Haramain. Tercatat ia pernah mengunjungi Haramain sebanyak dua kali, kali pertama tahun 1287/1870 bersama ayahnya ia menunaikan ibadah haji dan bermukim di Hijaz selama 5 tahun. Dalam periode itu ia mengikuti halakah-halakah keilmuan di Masjidil Haram. Selanjutnya ayahnya juga memperkenalkannya kepada ulama-ulama Nusantara yang ada di Haramain seperti Syaikh Nawawi bin Umar Banten dan Syaikh Mahfudz Tremas yang keduanya memiliki telaah di bidang ilmu falak. Kali kedua (sekitar tahun 1294/1877), Ahmad Khatib pergi ke Makkah khusus dalam rangka menuntut ilmu dengan belajar kepada sejumlah ulama, diantaranya Syaikh Ahmad Zaini Dahlan yang menulis karya falak berjudul “al-Mukhtashar fī Ma’rifah as-Sinīn wa ar-Rub’ al-Musytahir” yang mana kitab ini populer dan dipelajari di Nusantara.
Dalam autobiografinya tercatat ada 47 karya yang ditulis Syaikh Ahmad Khatib yang mayoritas meliputi bidang fikih, usul fikih, akidah, dan nahwu (bahasa Arab). Namun ternyata Syaikh Ahmad Khatib tidak hanya mendalami ilmu-ilmu agama, namun juga ilmu-ilmu sains-eksakta khususnya ilmu falak (astronomi), matematika (aritmetika), dan instrumen astronomi. Dari 47 karyanya tersebut setidaknya ada 7 karya dalam bidang ilmu falak dan matematika. Hal menarik, ia menulis karya di bidang ini tanpa belajar secara khusus kepada seorang guru alias ia belajar secara otodidak.
Jaringan dan transmisi keilmuan falak Syaikh Ahmad Khatib di Nusantara tampak dari fatwa dan korespondensi masalah-masalah keagamaan (diantaranya masalah yang terkait dengan ilmu falak) yang ia tulis. Pertanyaan-pertanyaan terkait berbagai persoalan yang datang dari Nusantara yang ditujukan kepadanya yang berdomisili di Makkah menegaskan kualitas keilmuan dan keluasan jaringan keilmuan Syaikh Ahmad Khatib. Ini didukung juga dengan posisi Haramain sebagai destinasi dan pusat keagamaan-intelektual waktu itu.
Selain itu, posisi Syaikh Ahmad Khatib sebagai pengajar, imam, dan khatib di Makkah menyebabkan ia kerap menjadi rujukan, sehingga ada banyak orang yang belajar dan bertanya kepadanya. Bahkan terdapat informasi bahwa pelajar-pelajar Nusantara yang datang ke Makkah selain dalam rangka menunaikan ibadah haji, tujuan lainnya adalah belajar dan mengikuti halakah-halakah keilmuan yang diampu ulama asal Minangkabau ini. Tercatat Syaikh Ahmad Khatib dalam halakah-halakah yang ia ampu ada ratusan murid Nusantara-Indonesia di dalamnya yang mana ini berikutnya membentuk jaringan yang tersebar luas di Nusantara.
Pengaruh dan jaringan keilmuan Syaikh Ahmad Khatib juga tampak dengan masuknya tulisan dan pemikirannya dalam sebuah artikel dalam Majalah Al-Manar di Mesir pimpinan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tahun 1317/1900 yang memuat perdebatan dan perbedaan pendapatnya dengan Sayyid Usman terkait berbagai persoalan di Batavia.
Jaringan dan transmisi ilmu falak Syaikh Ahmad Khatib yang paling dominan tampaknya adalah melalui peran dan pengaruh yang diperankan oleh murid-muridnya yang tersebar di Nusantara, beberapa diantaranya adalah Syaikh Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid (w. 1349/1930). Selain berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib, tokoh ini juga pernah berguru kepada Sayyid Usman Betawi. Bahkan sang murid ini pernah dipercaya untuk mengajar berbagai ilmu di Masjidil Haram. Diantara muridnya adalah Syaikh Muhammad Zein Batubara (w. 1388/1968) yang juga murid Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Adapun karyanya dalam bidang ilmu falak adalah “Taqrīb al-Maqshad fī al-‘Amal bi ar-Rub’ al-Mujayyab” yang mana kitab ini sampai hari ini masih dipelajari di berbagai pesantren di tanah air.
Lalu Syaikh Muhammad Manshur Betawi (w. 1388/1968), yang sejak usia 16 tahun sudah pergi ke Makkah guna menunaikan ibadah haji dan mukim selama 4 tahun guna mempelajari berbagai ilmu. Selain Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, guru-gurunya yang lain adalah Syaikh Mukhtar ‘Atharid Bogor (yang juga murid Syaikh Ahmad Khatib) dan Syaikh Muhammad Yusuf al-Khayyath. Syaikh Muhammad Manshur Betawi menulis banyak karya tentang ilmu falak, diantaranya kitab “Sullam an-Nayyīrain fī Ma’rifah al-Ijtimā’ wa al-Kusūfain” yang hingga kini masih banyak dipelajari di pesantren-pesantren tanah air.
Lalu KH. Ahmad Dahlan (w. 1923 M), yang merupakan pendiri Muhammadiyah, yang mana pengaruh dan kontribusi organisasi ini tidak diragukan lagi. Tokoh ini tercatat pernah belajar secara khusus tentang ilmu falak kepada Syaikh Ahmad Khatib. Kontribusi Ahmad Dahlan sendiri dalam ilmu falak adalah rekonstruksinya terhadap arah kiblat Masjid Kauman Yogyakarta yang pada awalnya melenceng, lalu Ahmad Dahlan merekonstruksinya, yang mana pada awalnya terjadi polemik namun dengan keahlian dan kearifannya persoalan itu dapat diselesaikan.
Lalu Syaikh Muhammad Thahir Jalaluddin (w. 1376/1956). Tokoh ini merupakan sepupu dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau sehingga keduannya memiliki ikatan dan jaringan yang kuat. Selain kepada Syaikh Ahmad Khatib, ia juga belajar kepada guru-guru yang juga menjadi guru Syaikh Ahmad Khatib. Di zamannya, Syaikh Mmuhammad Thahir Jalaluddin dikenal sebagai tokoh ilmu falak berpengaruh. Jaringan keilmuannya meluas hingga ke Mesir yaitu dengan belajar di Al-Azhar yang notabenenya atas anjuran Syaikh Ahmad Khatib. Di Mesir dia mempelajari sebuah teks ilmu falak berjudul “al-Mathla’ as-Sa’id” karya Syaikh Husain Zaid, yang berikutnya teks ini dikomentari (syarah) oleh Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dengan judul “al-Qaul al-Mufid Syarh Mathla’ as-Sa’id”.
Selain tokoh-tokoh ini, sejatinya masih ada banyak lagi murid-murid dari Syaikh Ahmad Khatib yang memiliki telaah, karya, dan pemikiran dalam bidang ilmu falak yang menunjukkan jaringan keilmuan falak Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau yang begitu luas seperti Syaikh Ahmad Marzuqi bin Ahmad (w. 1353/1934), Syaikh Hasan Ma’shum (w. 1355/1937), Syaikh Muhammad Zain Batubara (w. 1388/1968), Syaikh Muhammad Jamil Jambek (w. 1366/1947), dan Syaikh Muhammad Basiyuny Imran (w. 1976 M).[]