Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Karena keterkaitannya dengan ibadah, terutama salat dan puasa, menjadikan ilmu falak terus dikaji dan dipelajari, serta dipraktikkan masyarakat, khususnya oleh umat Islam di Nusantara sepanjang waktu. Bila ditelusuri lagi, praktik-praktik yang menjadi tradisi masyarakat yang berhubungan dengan alam (langit) ini sejatinya menjadi faktor krusial terbentuknya bangunan ilmu falak Nusantara. Selain tradisi dan kearifan lokal masyarakat, lanskap atau bentang alam juga memberi sumbangan penting dalam perkembangan ilmu falak Nusantara. Lanskap sebagai deskripsi visual tofografi dan susunan geografis suatu wilayah memengaruhi karakteristik budaya di suatu tempat dan secara nyata ikut memengaruhi dan memberi sumbangan perkembangan ilmu falak.
Indonesia yang terdiri dari ribuan kepulauan sejatinya memiliki khazanah alam dan budaya serta sejarah yang amat mengesankan. Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki teritorial dan letak geografis yang amat luas, istimewa, dan strategis. Teritori bahari dan agraria yang notabenenya merupakan bagian dari lanskap Nusantara merupakan sesuatu yang amat berharga dan sekali lagi memberi sumbangan penting bagi perkembangan ilmu falak Nusantara.
Secara praktis, praktik-praktik masyarakat di berbagai daerah yang kerap menghubungkan dengan alam atau berpandukan kepada posisi dan atau gerak benda-benda langit merupakan tradisi yang umum dilakukan. Tradisi ini secara alami merupakan keseharian dan kebutuhan urgen ketika itu dan menjadi standar kualitas kehidupan masyarakat. Praktis pula penelaahan masyarakat terhadap alam (benda langit) menjadi standar maju-berkembangnya peradaban masyarakat ketika itu dan saat yang sama menjadi embrio berkembangnya ilmu falak di tengah masyarakat. Tidak dipungkiri hal ini memainkan peran yang amat penting dalam perkembangan ilmu falak Nusantara.
Di Aceh misalnya, ada tradisi Keunong yaitu sebuah kalender musim yang didasarkan pada astronomi, iklim, dan tradisi cocok tanam masyarakat Aceh. Keunong merupakan kearifan lokal masyarakat Aceh yang didasarkan atas analisis alam yang digunakan untuk memprediksi kondisi alam dan penentuan periode bercocok tanam. Konon, sampai kini petani-petani tradisional Aceh masih menggunakan penanggalan (Keunong) ini sebagai dasar perkiraan waktu.
Di Sumatera Utara, ada penanggalan masyarakat Batak silam yang dikenal dengan Parhalaan. Tradisi Parhalaan merupakan sebuah petunjuk ramalan yang dikaitkan dengan peredaran benda-benda langit. Parhalaan adalah kalender yang digunakan untuk menentukan hari baik dan hari buruk masyarakat Batak. Hampir semua aktivitas orang Batak dahulu ditentukan berdasarkan prediksi Parhalaan ini. Aktivitas-aktivitas itu antara lain meliputi pesta perkawinan, memanen, mendirikan rumah, kelahiran, kesehatan, dan lain-lain. Dalam kenyataannya kalender (Parhalaan) ini lebih berfungsi religius atau kepercayaan ketimbang untuk kepentingan sipil.
Di Sumatera Selatan, ada tradisi tulis yang menggunakan aksara tertentu yang saat ini nyaris tidak dipergunakan lagi, yaitu Serat Ulu. Serat Ulu adalah naskah kuno yang berisi nasihat, adat istiadat, dan tata kehidupan masyarakat yang ditulis dalam beberapa aksara yang berkerabat di Sumatera Selatan. Hal menarik dari naskah-naskah Serat Ulu ini adalah substansi naskahnya yang berhubungan dengan astronomi yang menguak kemungkinan telah berkembangnya astronomi di masyarakat setempat sejak ratusan tahun silam. Selain memuat diagram penanggalan dan posisi Matahari, Serat Ulu juga berisi petunjuk bercocok tanam sesuai dengan posisi benda-benda langit.
Sementara itu di kalangan masyarkata Jawa, secara umum terdapat ikatan kuat dengan satu bintang di langit bernama Pleiades, yang diantaranya digunakan dalam pelayaran. Terbit dan tenggelam Pleiades menjadi panduan bagi masyarakat dan para nelayan dalam pelayaran. Bagi masyarakat Jawa, Pleiades memegang peranan cukup penting dalam pertanian. Apabila posisi Pleiades di langit mencapai 50 derajat diatas cakrawala, itu berarti musim ketujuh atau Mangsa Kapitu dalam kalender pertanian Pranata Mangsa telah dimulai. Pada masa itu para petani mulai memindahkan bibit padi dari lahan pembibitan ke lahan utama.
Masyarakat Jawa juga menyebut bintang Pleiades sebagai Lintang Kartika. Penamaan itu menunjukkan pandangan istimewa orang Jawa terhadap gugus ini yaitu menjadi “bintangnya bintang”. Tujuh bintang terang dalam gugus itu dianggap sebagai tujuh bidadari yang turun dari langit untuk mandi di Bumi dalam legenda Jaka Tarub. Pleiades atau Lintang Kartika juga menjadi inspirasi tari Bedhaya Ketawang atau tarian langit.
Selain itu dalam masyarakat Jawa silam juga telah ada imajinasi akan aneka ragam rasi-rasi bintang seperti rasi Waluku (Orion), rasi Kalapa Doyong (Scorpio), rasi Sapi Gumarang (Taurus), dan rasi-rasi lainnya. Rasi-rasi ini digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti penentu waktu bercocok tanam, ritual pemujaan, penentuan kalender, panduan pelayaran, dan lain-lain.
Sementara dalam masyarakat Sunda, telah digunakan pengetahuan astronomi sejak ribuan tahun lalu. Legenda Nini Anteh yang disebut sebagai nenek moyang orang Sunda dan tinggal di Bulan adalah salah satu folklor Sunda. Orang Sunda menggunakan rasi bintang sebagai petunjuk kapan musim kemarau atau musim hujan tiba. Rasi yang paling penting bagi masyarakat Sunda adalah bintang Pleiades atau disebut Waluku dan bintang Kenti atau disebut Ranggeuy.
Dalam suku Sasak, terdapat tradisi berpedoman pada fenomena alam (langit) dalam menjalankan aktivitas sosial. Secara historis, ilmu falak sudah lama diketahui oleh etnis Sasak yaitu sejak mereka datang dan menetap di wilayah ini sekitar 200 tahun SM. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa tradisi astronomi (dan astrologi) di wilayah Sasak sudah ada sejak saat itu. Pengamatan langit yang populer di kalangan masyarakat Sasak digunakan dalam kepentingan pertanian, pelayaran (maritim), dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Leluhur-leluhur Sasak sejak lama dikenal akrab dengan alam khususnya bintang-bintang. Hal ini pada akhirnya melahirkan tradisi unik tentang pencatatan waktu dan penggunaannya dalam kehidupan. Hal ini diantaranya mereka peroleh melalui penelaahan terhadap konstelasi tujuh bintang yang dikenal dengan bintang rowot. Pemahaman tentang bintang rowot sendiri didasarkan atas perhitungan edar bulan dengan mengombinasikan antara pengamatan visual dengan perhitungan penanggalan Jawa-Arab, yaitu pengombinasian satuan waktu abad, windu, dan perhitungan bulan Arab (hijriah). Perpaduan ini diduga kuat akibat adanya akumulasi dan akulturasi budaya Jawa, Arab, dan Sasak di masa silam.
Selain beberapa tradisi dan kearifan lokal masyarakat Nusantara diatas, sejatinya masih ada banyak lagi tradisi, praktik, dan kearifan lokal masyarakat yang berkembang di Nusantara yang mencerminkan telaah astronomi (ilmu falak). Dari waktu ke waktu berbagai praktik dan tradisi masyarakat ini secara perlahan dan alami membentuk satu konstruksi keilmuan ilmu falak yang khas Nusantara-Indonesia yaitu Ilmu Falak Nusantara.[]