Muhammad Dimas Firdaus
Jika kita memperhatikan Bulan dari waktu ke waktu, fase-fase Bulan akan berbeda dari hari ke hari, mulai dari hilal yang sangat tipis, hingga purnama yang sangat terang, dan kembali tipis hingga akhirnya tidak dapat teramati secara kasat mata ketika konjungsi. Namun walaupun fase-fase Bulan berubah, “wajah” Bulan atau permukaan Bulan yang kita lihat cenderung selalu sama. Dan fenomena ini sudah bertahan sejak dahulu kala, sehingga pada setiap peradaban ada mitologi yang membersamai permukaan Bulan. Seperti Nini Anteh (Sunda), Tsuki no Usagi (Jepang), Chang’e (Tiongok), Kulalaying (Tagalog) dan lain sebagainya.
Karena permukaan Bulan yang menghadap Bumi selalu sama, maka cukup banyak pertanyaan yang senada dilontarkan kepada Tim OIF ketika berkegiatan, “apakah Bulan berotasi? kok kelihatannya sama terus?” Dan jawaban yang Kami berikan adalah “Ya, tentu saja. Bulan selayaknya benda angkasa lain seperti Bumi dan Matahari juga memiliki gerak rotasi pada porosnya”. Pada tulisan ini kita coba bedah lebih dalam mengapa Bulan yang berputar pada porosnya selalu terlihat sama dilihat dari permukaan Bumi.
Bulan merupakan satu-satunya satelit alami yang dimiliki oleh Bumi dan selalu mengitarinya. Gerak Bulan mengitari Bumi disebut dengan gerak revolusi. Bulan memiliki dua jenis durasi revolusi, pertama durasi sideris yaitu 27,32166 hari dan kedua adalah durasi sinodis 29,53059 hari. (untuk info lebih lengkap terkait gerak sideris dan sinodis Bulan bisa dibaca di sini). Selain gerak revolusi, Bulan pun berputar pada porosnya yang disebut rotasi. Uniknya durasi rotasi Bulan adalah sama dengan durasi siderisnya, yaitu sekitar 27,32 hari. Berarti lama Bulan berputar pada porosnya ini sama dengan lama Bulan mengitari Bumi. Alhasil permukaan Bulan yang menghadap Bumi selalu sama.
Fenomena ini disebut dengan synchronous tidal locking yang jika diartikan secara bebas Bulan “terikat” oleh gravitasi Bumi sehingga hanya sebelah permukaannya saja yang bisa menghadap Bumi. Hal ini terdengar aneh, namun nyatanya hal ini pun terjadi pada bulan-bulan besar di planet lain, bahkan pada beberapa bintang biner pun saling “berhadap-hadapan”. Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa hal seperti ini wajar dan ada pula di beberapa kondisi di alam semesta ini.
Namun ada hal menarik yang bisa dipelajari pada kasus Bulan. Pada awal terbentuknya Bulan, fenomena ini belum terjadi. Teori pembentukan Bulan menyebutkan bahwa Bulan berasal dari Bumi yang terhantam oleh benda lain yang (mungkin) seukuran Mars, dan pecahan dari tabrakan tersebut membentuk Bulan. Bulan yang pada awal pembentukannya belum solid dan masih panas terganggu oleh gravitasi Bumi sehingga bentuknya tidak bulat sempurna melainkan agak lonjong, jika diumpamakan seperti bola rugby. Karena belum solid dan materi yang ditarik oleh gravitasi Bumi banyak mengakibatkan bagian yang tertarik akan selalu bergeser dari sebelumnya. Oleh karena itu ada energi yang dilepaskan dalam proses tarik-menarik ini, hingga ketika energi ini habis mengakibatkan durasi rotasi Bulan sama dengan revolusi Bulan mengitari Bumi.
Ternyata proses yang disebutkan sebelumnya tidak begitu saja berhenti. Hingga sekarang proses tersebut masih berlangsung dan mengakibatkan Bulan saat ini melambat. Akibat dari proses ini adalah Bulan semakin menjauh dari Bumi dengan pergeseran sekitar 4 cm per tahunnya. Jika hal ini terus terjadi dimungkinkan sekitar 50 miliar tahun yang akan datang Bulan akan sangat jauh dengan orbit yang sangat luas dan Bumi yang akhirnya menjadi tidal lock dengan Bulan.
Sumber:
T. Djamaluddin, Bertanya pada Alam? 13 Worthy Facts to Know. Bandung: ShofieMedia
https://moon.nasa.gov/moon-in-motion/earth-and-tides/tidal-locking/
https://www.space.com/24871-does-the-moon-rotate.html
https://skyandtelescope.org/astronomy-news/pleasures-of-lunar-pareidolia/
OIF UMSU
“Memotret Semesta Demi Iman dan Peradaban”