Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU & Kepala OIF UMSU
Idul fitri 1444 H tahun ini di Indonesia terjadi perbedaan mencapai 5 hari (mulai tanggal 20-24 April 2023 M), sesuatu yang tidak lazim dalam fikih, apalagi dalam satu negara. Perbedaan ini bukan kali pertama, namun sudah berkali-kali, bahkan sejak pra-kemerdekaan sudah terjadi. Ini realita yang ada di negeri kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini problem seluruh umat Islam di Indonesia, bukan problem satu kelompok tertentu saja.
Secara formal, regulasi penetapan awal bulan di Indonesia berada di tangan Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia) melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam) lalu dibawahnya Subdirektorat Hisab Rukyat dan Syariah. Dalam praktiknya, konsep, implementasi, komunikasi, dan diseminasi masalah penentuan awal bulan berada dalam kebijakan Subdirektorat Hisab Rukyat dan Syariah yang bertanggungjawab kepada Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, dan Menteri Agama Republik Indonesia, lalu kepada umat (masyarakat).
Selain itu, legalitas dan formalisasi kewenangan Pemerintah dalam menetapkan awal bulan diperkuat dengan Fatwa MUI Nomor 2 tahun 2004 M yang menyebutkan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, ditetapkan oleh Pemerintah (Menteri Agama). Selain itu dalam fatwa ini disebutkan seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah tersebut.
Realitanya, sejak pra-kemerdekaan, bahkan lebih jauh lagi, di Nusantara telah hidup dan berkembang paham-paham keagamaan yang plural, dimana ada banyak implementasi ijtihad fikih yang berkembang di tengah masyarakat ketika itu, diantaranya dalam masalah penetapan awal-awal bulan hijriah. Sejumlah catatan, arsip, dan literatur yang ditinggalkan para ulama Nusantara, yang masih bisa dibaca dan diakses hari ini, yang merekam dinamika dan dialektika fikih itu menjadi bukti keragaman atau pluralitas fikih di tengah masyarakat kala itu. Kenyataannya keragaman pendapat fikih itu merupakan hal biasa, normal, dan berjalan aman-aman saja sejak dulu.
Pasca kehadiran dan keberadaan ormas-ormas Islam (terutama Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) kembali menegaskan eksistensi paham-paham keagamaan di Nusantara. Dalam masalah awal bulan, Muhammadiyah identik dengan hisab, sementara NU identik dengan rukyat. Dua paham ini (hisab dan rukyat) telah mengakar di ormas masing-masing, jauh sebelum kemerdekaan, jauh sebelum lahirnya Kemenag RI, dan jauh sebelum berdirinya Badan Hisab Rukyat (sekarang Tim Hisab Rukyat) Kemenag RI.
Lantas pasca kemerdekaan, pasca hadirnya Departemen Agama RI (sekarang Kementerian Agama RI), dan pasca berdirinya Badan Hisab Rukyat (BHR) menjadi jalan regulasi dan administratif penetapan awal bulan di Indonesia yang sebelumnya berjalan alami, alias masing-masing. Singkat kata, opsi dan solusi yang ditawarkan Pemerintah bernama Imkan Rukyat 3-6.4 (sebelumnya Imkan Rukyat 2-3-8), di tengah saat bersamaan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama masih menjalankan paham dan keyakinan hisab rukyatnya masing-masing dan dengan Maklumat dan Ikhbarnya masing-masing. Tercatat, dalam sejarah dua ormas ini pernah dan kerap berbeda dengan keputusan Pemerintah.
Informasi dan deskripsi di atas adalah gambaran sesungguhnya yang ada dan terjadi di Nusantara-Indonesia dari dahulu hingga kini, yang dalam perjalanannya terkait dan melibatkan banyak sisi dan aspek yaitu historis, paham fikih, sosial-kultural, dan intelektual. Karena itu pula dalam konteks hari ini ketika melihat masalah ini tidak bisa pragmatis, parsial, apalagi dengan tendensi dan stigma seperti terjadi satu dekade lebih belakangan ini.
Dalam konteks dan konstruksi legalitasnya, merupakan fakta bahwa Kementerian Agama RI sebagai yang diserahi mengurus masalah ini notabenenya merupakan lembaga politik di tanah air. Seperti diketahui Menteri Agama (saat ini Yaqut Cholil Qoumas) dipilih oleh Presiden dan merupakan hak prerogatif Presiden. Pertimbangan politik, bahkan pertimbangan transaksional tidak dapat dipungkiri menjadi alasan pemilihan sosok Menteri Agama. Dalam hierarki dan konstruksi hukumnya lagi, Kemenag RI sesungguhnya berada dalam level eksekutif, bukan yudikatif. Karena itu pula keputusannya dalam masalah penetapan awal bulan hijriah (Ramadan, Syawal, Zulhijah) tidak bisa diberlakukan mengikat. Karena itu pula Kemenag RI tidak bisa mewajibkan dan apalagi memaksa, yang jika itu dilakukan maka bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi, juga bertentangan dengan moderasi beragama. Seperti diketahui Kemenag RI punya program prestisius bernama “Moderasi Beragama” yang maksudnya bahwa dalam beragama dan berbangsa tidak boleh ada pemaksaan, pengekangan, tendensi, sindiran sinis, dan lain-lain. Secara tegas Menteri Agama RI saat ini (Yaqut Cholil Qoumas) memberi contoh tenggang rasa dan saling menghargai dalam masalah perbedaan penetapana awal bulan, terutama perbedaan idul fitri.
Setali tiga uang adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mewajibkan umat taat kepada keputusan Pemerintah. Fatwa “wajib” yang dikeluarkan MUI ini tentu dipahami tidak mengikat, karena dalam hierarkinya MUI itu bukan eksekutif, apalagi yudikatif. Jika fatwa MUI ini dinyatakan wajib dan mengikat maka sekali lagi ini bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi. Dalam konstruksi, komposisi, dan legalitasnya lagi, lembaga MUI di Indonesia ini setara dengan ormas yang juga personilnya diisi dari unsur ormas, selain kalangan ulama, ilmuwan, dan unsur lainnya. Karena itu pula dalam konteks Hukum Tata Negara di Indonesia Fatwa MUI Nomor 2 tahun 2004 M ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, betapapun dipertegas dengan diksi “wajib”. Posisi MUI sekali lagi setara ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia yang masing-masing mempunyai mekanisme perumusan dan keputusan hukum.
Sekali lagi, Indonesia berbeda dengan negara-negara lain, bahkan berbeda dengan negara-negara tetangga (Malaysia, Brunei Darussalam, Singapore), apalagi dengan negara Arab Saudi dan Mesir (baca: https://oif.umsu.ac.id/2023/05/hisab-rukyat-dan-sidang-isbat-di-mesirreferensi-untuk-indonesia/). Selain berbeda sejarah, kebudayaan dan keagamaannya, yang paling utama adalah berbeda dalam konstruksi hukumnya. Karena itu sekali lagi narasi generalisasi dengan negara-negara lain sesungguhnya tidak setara dan tidak kontekstual dengan konteks negara Indonesia saat ini. Ini harus dipahami oleh umat, terutama oleh Pemerintah (Kemenag RI) yang betapapun hemat penulis Pemerintah telah memahami hal ini. Ambisi dari segelintir orang yang begitu ‘ambisius’ menginginkan penyatuan pada dasarnya adalah penyebab utama dinamika dan dialektika masalah ini mencuat tajam. Sebab dalam sepanjang sejarah Nusantara-Indonesia perbedaan pada dasarnya biasa-biasa saja dan tidak pernah seriuh idul fitri tahun ini (1444 H/2023 M). Selain itu tidak dipungkiri juga, riuh dan kisruh idul fitri tahun ini karena ‘pertengkaran’ yang luar biasa di media sosial dengan saling sanggah, saling klaim, saling hujat, saling sindir, bahkan saling merendahkan. Latar belakang keilmuan dan pemahaman netizen yang beragam sekali lagi menyebabkan perdebatan dan ‘pertengkaran’ itu tidak terelakkan. Karena itu, semua pihak harus membaca dan merenungi sejarah, lalu melihat realita yang ada, lalu meningkatkan literasi, berikutnya baru dapat mengambil referensi dari negara-negara luar.
Patut diperhatikan pula, dalam Fatwa MUI Nomor 2 tahun 2004 M ini ada satu diksi “wajib” lagi yaitu kewajiban Menteri Agama untuk berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan instansi terkait. Artinya, di satu sisi dalam fatwa ini umat Islam diminta patuh (taat) kepada keputusan Pemerintah, namun saat yang sama Pemerintah juga diminta berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait. Pertanyaannya, apakah instruksi MUI ini sudah terlaksana? Jika sudah, sejauh mana dan sedalam apa hasilnya? Apakah kriteria saat ini (3-6.4) merupakan hasil konsultasi MUI dengan ormas-ormas (terutama ormas Muhammadiyah)? Ini tentunya patut dijelaskan secara jelas dan resmi oleh Kemenag RI, agar semua pihak dan terutama umat paham.
Selanjutnya, konsekuensi konstruksi hukum di Indonesia yang seperti saat ini menyebabkan semua kelompok yang berbeda penetapan dengan Pemerintah maka semuanya harus dinyatakan sah dan konstitusional. Karena itu, ini merupakan problem kita, problem semua umat dan anak bangsa. Bagaimana dan apa solusinya? Seharusnya perbincangan dan perdebatannya kita mulai dari hal ini, yaitu memperdebatkan solusi, bukan mempermasalahkan satu kelompak taat dan tidak taat, satu ulama mendukung ini, ulama lainnya mendukung yang lain, dan seterusnya. Wallahu a’lam[]