Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Ulil Amri dan Otoritas adalah dua terma yang kerap dimunculkan dalam diskursus penentuan awal bulan di Indonesia. Narasi yang dibangun dan berkembang biasanya, “jika Pemerintah telah menetapkan jatuhnya awal bulan maka seharusnya diikuti demi dan untuk alasan persatuan”. Dalam konteks ini Kementerian Agama (Kemenag) adalah yang dipahami sebagai “Ulil Amri” yang harus ditaati. Narasi ini juga biasanya diperkuat dengan sebuah kaidah fikih “hukm al-hakim yarfa’ al-khilaf” (ketetapan hakim mengangkat perbedaan). Argumen Ulil Amri, Otoritas, dan kaidah fikih tersebut kerap dikemukakan terutama oleh orang-orang yang dalam masalah penentuan awal bulan mengikuti keputusan Pemerintah. Pemerintah (Kemenag) sendiri adakalanya kerap memunculkan argumen ini dan saat yang sama juga kerap menyatakan sebagai fasilitator. Dengan demikian disini tampak adanya kesan indoktrinasi atas Ulil Amri, Otoritas, dan kaidah fikih tersebut.
Secara etimologi, Ulil Amri (Arab: uly al-amr) terdiri dari dua kata yaitu “uly” yang bermakna mengurus atau menguasai, dan “al-amr” yang berarti perintah atau urusan. Terma Ulil Amri tertera dalam Q. S. 4: 59, “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu”. Menurut Al-Thabari (w. 310 H/922 M) dalam tafsirnya “Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an” Ulil Amri itu ada 4 kategori : (1) umara, (2) ahli ilmu dan fikih, (3) para sahabat Nabi Saw, dan (4) Abu Bakar dan Umar. Ibn Katsir (w. 774 H/1374 M) dalam “Tafsīr al-Qur’an al-‘Azhim” memahami Ulil Amri bersifat umum yaitu umara dan ulama. Al-Zamakhsyari (w. 508 H/1114 M) dalam “al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil” menyatakan Ulil Amri itu tiga yaitu : umara al-haqq, umara as-saraya, dan ulama. Al-Syaukani (w 1250 H/1834 M) dalam “Fath al-Qadir al-Jami‘ baina Fann ar-Riwayah wa ad-Dirayah” menyatakan Ulil Amri itu mencakup : (1) para imam (al-a’immah), (2) para penguasa (as-salathin), (3) para kadi (al-qudhah), dan (4) semua orang yang punya wilayah syariat, bukan wilayah tagut, (5) ahli al-Qur’an dan ilmu, (6) sahabat-sahabat Nabi Saw, dan (7) ahli logika dan pemikir (ahl al-‘aqli wa ar-ra’y). Al-Razi (w. 313 H/925 M) dalam “Mafatih al-Ghaib” menerjemahkan Ulil Amri sebagai “ahl al-hall wa al-‘aqd”.
Muhammad Abduh (w. 1905 M) dalam “Tafsīr al-Qur’an al-Ḥakim” menyatakan Ulil Amri adalah jamaah “ahl al-hall wa al-‘aqd” yang mereka adalah umara, hukama, ulama, para panglima, dan semua pemimpin masyarakat. Dalam konteks “ahl al-hall wa al-a’qad” ini terkait dengan musyawarah, amanah, dan menyeru kebenaran-melarang kebatilan. Sementara menurut Abdul Wahab Khallaf (w. 1357 H/1956 M), Ulil Amri terkait dua fungsi yaitu keagamaan dan keduniaan. Masuk dalam kategori bidang keagamaan adalah para mujtahid dan ahli fatwa, sedangkan kategori keduniaan adalah pemimpin atau penguasa.
Sementara menurut Qurais Shihab, Ulil Amri adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan orang-orang Muslim, mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Ada yang berpendapat mereka adalah para penguasa atau pemerintah, ada pula yang menyatakan mereka adalah ulama, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.
Dari berbagai definisi dan perspektif tentang Ulil Amri di atas, tampak bahwa pengertian dan penerjemahan Ulil Amri sejatinya sangat fleksibel dan beragam, dan tidak terbatas pada otoritas personal tertentu atau lembaga tertentu. Dari beragam pandangan di atas juga dapat dipahami bahwa Ulil Amri adalah orang-orang yang memiliki kapasitas mengelola urusan umat sesuai bidangnya yang tidak disematkan kepada satu kelompok tertentu saja. Karena itu dalam konteks penentuan awal bulan di Indonesia, Kementerian Agama (Kemenag) yang disepakati sebagai otoritas dapat dipahami sebagai salah satu Ulil Amri yang patut ditaati, hanya saja patut dicatat tidak bersifat mutlak. Ulil Amri pada dasarnya adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan seperti halnya manusia lainnya, yang dalam konteks ini umat harus meluruskan jika terjadi penyimpangan.
Jika dikaitkan dengan konteks Q. S. 4: 59, akan terlihat sekali lagi bahwa ketaatan kepada Ulil Amri itu bersifat tidak mutlak, sebab pada kata “wa uly al-amr minkum” (dan ulil amri diantara kalian) tidak ada penegasan “athi’u” (taatlah kalian) seperti halnya pada ketaatan kepada Allah dan Rasul. Ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Ulil Amri itu meniscayakan Ulil Amri itu juga terlebih dulu punya komitmen untuk taat kepada Allah dan Rasul. Dari ayat ini pula dipahami bahwa ketaatan kepada Ulil Amri itu berlaku dan berterima selama perintah (putusan) Ulil Amri itu atas nama kebenaran (al-haqq), tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunah, tidak menyalahi kaidah-kaidah umum dalam masyarakat, dan tidak menciderai rasa keadilan. Terlebih dalam ayat itu juga ada perintah manakala terjadi dialektika dan problematika di tengah masyarakat untuk dikembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (hadis).
Adapun kaidah “hukm al-hakim yarfa’ al-khilaf, bila ditelaah dalam literatur para fukaha, implementasi kaidah ini sesungguhnya lebih pada persoalan-persoalan personal (seperti perceraian, perwalian, dan lainnya), bukan persoalan komunal (diantaranya masalah penentuan awal bulan). Dengan kata lain kaidah ini lebih pada persoalan spesifik (mu’ayyanah), bukan persoalan publik (‘ammah), betapapun dapat diimplementasikan dalam konteks keduanya. Kaidah ini juga sesungguhnya memuat pesan bahwa ketetapan seorang ‘hakim’ manakala telah diputuskan tidak memuat dan menimbulkan problem dan polemik baru, karena sesuai fungsinya ‘hakim’ (yang dalam hal ini Kementerian Agama) bertugas mengurus dan mendatangkan kemaslahatan bagi umat. Bagaimana mungkin putusan Kemenag mutlak diikuti jika dalam substansi putusannya tidak ilmiah, tidak logis, dan tidak memenuhi rasa keadilan semua pihak? Bila diimplementasikan dalam kriteria 3-6.4 misalnya yang notabenenya merupakan keputusan Pemerintah (Kemenag) sebagai Ulil Amri, meniscayakan di dalamnya tidak boleh ada polemik (khilaf). Namun kenyataannya kriteria 3-6.4 ini ada banyak polemik bahkan paradoks, baik dalam substansi maupun implementasinya. Benar bahwa tidak ada kriteria yang sempurna, namun rumusan 3-6.4 yang notabenenya wilayah ilmiah-saintifik-akademik seyogianya tidak menyalahi kaidah-kaidah dalam ranah itu. Tegasnya, ambang batas imkan rukyat meniscayakan berterima secara sains dan metodologinya, yang dengan itu ia akan berterima secara syariat. Dengan nalar dan argumentasi seperti ini maka penerapan kaidah itu dan narasi “Otoritas” baru akan benar, realistis, dan logis untuk disodorkan.
Karena itu dalam konteks ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Ulil Amri sesungguhnya luas dan fleksibel. Melihat keluasan dan fleksibilitas itu maka Kemenag tidak bisa di-indoktrinasi sebagai satu-satunya otoritas yang harus ditaati, terlebih jika produk putusannya paradoks dan menuai polemik. Demikian lagi Kemenag atau siapa saja tidak bisa mengindoktrinasi kaidah “hukm al-hakim yarfa’ al-khilaf” karena konteks kaidah ini juga sesungguhnya tidak sesederhana makna zahirnya. Dalam konteks ini yang lebih penting adalah Kemenag harus berupaya sekuat tenaga menghadirkan rumusan penentuan awal bulan yang definitif, ilmiah, berterima dan memenuhi keadilan semua pihak. Alasannya adalah karena Kemenag diberi amanat, diberi fasilitas, dan diberi biaya oleh Negara untuk mengurus masalah ini, sehingga wajar umat berharap dan ‘menyorot’.
Kedua, dalam konteks ini Kemenag perlu mengoptimalkan sumber daya yang ada di dalamnya, khususnya Subdirektorat Hisab Rukyat dan Tim Unifikasi Kalender Hijriah (Tim UKH). Dalam konteks ini juga Kemenag sepantasnya berkomunikasi dengan semua Ormas (bukan dengan Ormas tertentu saja), lalu berkomunikasi dengan Presiden dan Wakil Presiden, untuk mencari solusi dan menyelesaikan masalah ini, karena sekali lagi ini terkait marwah dan identitas bangsa Indonesia sebagai umat Muslim terbesar di dunia.
Ketiga, dalam konteks penyatuan awal bulan, Kemenag (dalam hal ini Subdirektorat Hisab Rukyat dan Tim UKH) harus fokus pada substansi dan rumusan penyatuan, bukan kerap memunculkan narasi “Otoritas”, “Ulil Amri”, dan kaidah “hukm al-hakim yarfa’ al-khilaf”. Karena masing-masing narasi ini punya teks dan konteksnya masing-masing yang tidak dengan mudah dapat digeneralisir, apalagi diindoktrinasi.
Keempat, Kemenag harus menyadari bahwa ambang batas hilal yang tidak berdasar kajian akademik yang kredibel, tidak berdasar uji lapangan, dan tidak logis, adalah sebuah paradoks dan bertentangan dengan syariat. Praktik kerap men-syar’i-kan hilal yang tidak logis (bahkan imajinatif) perlu ditindak tegas, tidak semata dan seterusnya membangun narasi bahwa itu hilal syar’i dan ditambah alasan ini dan itu. Jika hal ini tidak diindahkan maka Kemenag (sebagai Ulil Amri) dan kaidah “hukm al-hakim yarfa’ al-khilaf” itu dipastikan tidak kompatibel dan tidak kontekstual, dan dipastikan menghadirkan polemik baru, yang dengan polemik baru itu menunjukkan bertentangan dengan fungsi Ulil Amri itu sendiri yaitu mengurus dan mendatangkan maslahat bagi umat. Wallahu a’lam[]