Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Pos Observasi Bulan (POB) adalah sebuah bangunan tempat pengamatan hilal yang regulasi, operasional, dan pembiayaannya ditangani oleh Kementerian Agama, dan secara khusus dikoordinir oleh Subdirektorat Hisab Rukyat Kementerian Agama. Dalam konstruksinya POB layaknya sebuah observatorium karena di dalamnya terdapat instrumen astronomi utama bernama teleskop (teropong) dan perangkat-perangkat pendukung lainnya. Justru, penamaan “Pos Observasi Bulan” ini membatasi fungsinya yaitu hanya dan untuk observasi bulan, padahal sebenarnya juga bisa digunakan untuk observasi matahari guna penentuan waktu-waktu salat, atau bahkan untuk pengamatan benda-benda langit secara umum.
POB terhitung sebagai pos resmi pengamatan hilal oleh Kementerian Agama yang tersebar di beberapa tempat di Indonesia yang dipilih dan ditetapkan dengan analisis tertentu untuk tujuan tersebut. Secara praktis, fungsi dan tujuan utama POB adalah sebagai tempat pengamatan hilal guna penentuan awal bulan kamariah khususnya awal bulan Ramadan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Zulhijah. Informasi dan laporan pengamatan hilal dari pos-pos POB ini menjadi pertimbangan Kementerian Agama dalam memutuskan jatuhnya awal bulan saat sidang isbat penetapan awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Zulhijah.
Keberadaan POB tentu urgen karena rukyat (pengamatan hilal) merupakan salah satu metode dan pertimbangan utama yang digunakan Kementerian Agama dalam penentuan awal bulan, oleh karena itu POB memerlukan sarana, fasilitas, dan sumber daya manusia yang memadai. Dalam konteks ini pembangunan POB seyogianya patut memperhatikan efektivitas sesuai tujuan utamanya yaitu mencerap anak bulan (hilal), dan Kementerian Agama harus konsisten menggunakan data dan laporan rukyat dari tiap-tiap POB tersebut.
Terkini, Kementerian Agama telah membangun POB di Yogyakarta yaitu POB Syekh Belabelu yang terletak di Dusun Grogol X, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pembangunan POB ini sendiri menghabiskan anggaran sekitar 3,1 milyar rupiah (sumber: https://kemenag.go.id/read/kemenag-dorong-pos-observasi-bulan-jadi-wahana-edukasi-falak-v5eoe. Akses: 19 Mei 2022 jam 12:01 WIB).
Namun patut dicatat dan sekaligus dipertanyakan, sejauh mana efektivitas semua POB yang ada saat ini? Apakah sumber daya manusia yang menjalankannya sudah sesuai standar? Bagaimana kualitas rukyat di tiap POB dan para perukyatnya? Apakah keberadaannya telah memenuhi sesuai target dan tujuan utamanya yaitu menjadi pertimbangan Menteri Agama dalam memutuskan jatuhnya awal bulan? Apakah Kementerian Agama konsisten menggunakan data dan laporan rukyat dari pos-pos POB ini? Sejumlah pertanyaan dan kritik ini patut dikemukakan karena sekali lagi semua kebijakan Kementerian Agama terkait hal ini, terkait alokasi anggaran, pengadaan, pembangunan, dan lainnya seluruhnya diperuntukkan untuk tujuan kepentingan umat dalam hal ini untuk penentuan awal bulan, karena rukyat (meilhat hilal) menjadi salah satu metode yang digunakan oleh Kementerian Agama.
Sesuai fungsi utamanya POB harus digunakan untuk mengamati hilal, adapun fungsi lainnya (edukasi, wisata, literasi, dan lain-lain) hanya fungsi skunder betapapun memiliki urgensi yang tak kalah penting. Karena itu di setiap POB meniscayakan dipersiapi dengan sumber daya manusia yang memadai, yang mengerti apa substansi dan apa tugasnya di POB tersebut? Bimbingan teknis dan pelatihan rukyat dengan merekrut perukyat-perukyat muda di tempat (daerah) lokasi POB berada patut digalakkan, tujuannya tidak lain agar muncul rukyat dan perukyat yang berkualitas. Kementerian Agama juga perlu terus mengawal POB-POB ini secara substansial, bukan prosedural, dan saat yang sama tentu perlu terus membiayai operasionalnya. Agaknya, tiap-tiap anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriah (Tim UKH) ditempat mana berada POB perlu dioptimalkan untuk memberi pelatihan dan mengawal secara keilmuan POB-POB tersebut, ini juga dalam rangka optimalisasi fungsi Tim UKH yang sesungguhnya perannya tidak begitu terlihat, padahal mereka adalah para pakar.
Dalam konteks ini pula, jika Kementerian Agama masih menerima dan mengesahkan hilal yang tidak logis alias hilal ‘imajinatif’ maka keberadaan POB dengan segenap regulasi dan operasional pembiayaannya ini patut dipertanyakan. Jika praktik yang terjadi masih kerap menerima dan men-syar’i-kan hasil rukyat yang tidak logis, bahkan hakim-hakim masih dibiarkan mengesahkan hasil rukyat yang tidak memenuhi kaidah dan standar ilmiah, sekali lagi ini bertentangan dengan tujuan dan fungsi POB tersebut. POB mestinya menjadi standar bagi Kementerian Agama.
Selain itu, seperti diketahui dalam penentuan awal bulan Kementerian Agama mengakomodir metode hisab dan rukyat, dalam statemennya Menteri Agama (Yaqut Cholil Qoumas) saat Sidang Isbat awal Syawal 1443 H secara tegas menyatakan bahwa hisab dan rukyat adalah dua metode yang saling melengkapi, bukan metode yang saling diperhadapkan. Pengguna rukyat paling masif di Indonesia adalah Nahdlatul Ulama, sedangkan pengguna hisab paling dominan adalah Muhammadiyah. Karena itu patut dipertanyakan apakah alokasi kebijakan (termasuk anggaran) untuk dua metode ini telah berimbang dan memenuhi keadilan setiap penggunanya? Secara praktik tampak bahwa akomodasi atas rukyat lebih banyak dan lebih dominan dibanding hisab yang diantaranya ditunjukkan dengan keberadaan dan pembangunan sejumlah POB, lalu praktik rukyat setiap bulan (terutama Ramadan, Syawal, Zulhijah) yang lengkap dengan hakim-hakimnya, seluruhnya tentu atas biaya dan akomodasi Negara. Karena itu dalam konteks ini hisab juga sejatinya harus diakomodir, tentunya dengan alokasi yang sesuai dan proporsional, karena sekali lagi Kementerian Agama menyatakan bahwa hisab dan rukyat adalah dua metode yang saling melengkapi dan sama sekali tidak dipertentangkan. Karena itu pula cara pandang dan kebijakan atas dua metode ini dan dua kutub penggunanya juga harus fair dan proporsional, bukan satu ‘dianakemaskan’ sementara yang satu lagi kerap ‘dikambinghitamkan’. Wallahu a’lam[]