Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Melalui penelusuran literatur-litratur astronomi klasik, ada banyak istilah yang merujuk pada makna astronomi, yaitu : (1) ‘Ilm an-Nujum, (2) Shina’ah an-Nujum, (3) Shina’ah at-Tanjim, (4) ‘Ilm at-Tanjim, (5) ‘Ilm al-Ahkam, (6) ‘Ilm Hai’ah al-’Alam, (7) ‘Ilm Hai’ah al-Aflak, (8) ‘Ilm al-Aflak wa an-Nujum, (9) ‘Ilm al-Falak, (10) ‘Ilm al-Hai’ah, (11) al-Asthrunumiya, (12) ‘Ilm al-Anwa’, (13) ‘Ilm ar-Rashd, dan lain-lain. Selain istilah-istilah ini sejatinya masih ada banyak lagi istilah-istilah lain yang tercatat dalam karya-karya silam (turats).
Patut dicatat, dalam perkembangannya istilah-istilah ini beserta definisinya terus mengalami perkembangan seiring perbedaan cara pandang dan tujuan dari pengkajian langit yang dilakukan masyarakat di zaman silam. Dari sejumlah terminologi di atas, tujuh istilah pertama merujuk makna astrologi (nujum), sedangkan delapan yang terakhir merujuk makna astronomi (ilmu falak) seperti dipahami hari ini. Dari sejumlah terminologi itu, Falak (Arab: al-Falak) dan Hai’ah (Arab: al-Hai’ah) adalah dua istilah yang paling populer dan berkembang di dunia Islam dan memenuhi literatur-literatur astronomi Islam.
Dalam pendefinisian dan pemaknaan tersebut, terdapat satu fenomena yang patut untuk di catat yaitu terkait terminologi ‘kaukab’ dan ‘najm’. Secara bahasa (Arab) ‘kaukab’ berarti planet, sedangkan ‘najm’ berarti bintang. Namun dalam penggunaannya dua istilah ini dipahami dan diterjemahkan secara acak. Adakalanya ‘kaukab’ (planet) dimaknai dengan bintang, sebaliknya ‘najm’ (bintang) dimaknai planet. Sebagai misal, karya ensiklopedi astronomi yang dutulis Abdurrahman ash-Shufi yang berjudul “Shuwar al-Kawakib ats-Tsamaniyyah wa al-Arba’in” menggunakan istilah “al-kawakib” (bentuk jamak dari “al-kaukab”), namun dalam uraiannya yang dimaksud lebih dominan bermakna bintang-bintang dan atau rasi-rasi bintang. Karena itu, pengkaji naskah dan astronomi Islam modern harus jeli melihat fenomena terminologis ini.
Kata Falak (al-Falak) sendiri yang dominan digunakan dalam kitab-kitab astronomi klasik (turats) secara etimologi bermakna ‘orbit’ atau ‘edar’ benda-benda langit. Dalam “al-Mu’jam al-Wajiz” misalnya, yaitu kamus yang di terbitkan Akademi Bahasa Arab Mesir disebutkan bahwa “falak” bermakan “al-madar yasbah fihi al-jirm as-samawy” (orbit tempat beredarnya benda-benda langit di cakrawala). Kata falak sendiri disitir beberapa kali di dalam al-Qur’an antara lain dalam QS. 36: 40. Menurut Carlo Nillino dalam karyanya “’Ilm al-Falak Tarikhuhu ‘Inda al-‘Arab fi al-Qurun al-Wustha” menyatakan bahwa kata ‘falak’ sebagai tertera dalam al-Qur’an sejatinya bukan asli berasal dari bahasa Arab, namun terderivasi dari bahasa Babilonia yaitu ‘pulukku’ yang bermakna orbit atau edar.
Adapun Hai’ah (Arab: al-Hai’ah, al-Hai’at, dan al-Haya’at) secara etimologi bermakna keadaan dan atau konstruksi semesta (bunyah al-kaun). Patut dicatat, Hai’ah adalah terminologi orisinil yang muncul di peradaban Islam tanpa terpengaruh dari peradaban-peradaban pra Islam. Tercatat istilah Hai’ah mulai muncul dan populer di peradaban Islam sejak abad ke-3 H/9 M. Secara terminologi, Hai’ah seperti didefinisikan Ahmad Fuad Basya sebagai disiplin ilmu yang mengkaji benda-benda langit yang berkaitan dengan tata susun dan urutan orbit-orbit benda langit, kuantitas planet-planet dan konfigurasi rasi-rasi bintang dalam jarak, kadar, gerak, dan lain-lain (Basya, 2008: 193).
Definisi astronomi sendiri menurut para sarjana Muslim terdapat perbedaan perincian dan penjabaran betapapun mengarah pada substansi yang sama. Menurut Al-Khawarizmi al-Katib (w. 378 H/997 M) dalam karyanya “Mafatih al-’Ulum”, ia menggunakan dua istilah yaitu Nujum dan Hai’ah. Nujum menurutnya sama dengan Tanjim yang dalam bahasa Yunani disebut ‘astronomia’ (astro berarti bintang, dan nomia berarti ilmu). Entri pembahasan dalam Nujum ini adalah: planet-planet, rasi bintang, ursa minor dan ursa mayor, draco, bintang, dan lain-lain. Sementara itu Hai’ah adalah ilmu mengetahui susunan dan posisi orbit-orbit benda langit serta posisi bumi. Entri pembahasannya meliputi asensio rekta, katulistiwa, ufuk, deklinasi, dan lain-lain. Disini tampak Al-Khawarizmy menyebut istilah Nujum dengan Tanjim dan menyamakannya dengan Astronomi. Sementara astronomi sebagaimana dipahami hari ini, ia menyebutnya dengan Hai’ah.
Al-Farabi (w. 339 H/950 M) dalam “Ihsha’ al-’Ulum” menyebut dan menamakan dengan satu istilah saja yaitu “Nujum” yang terbagi kepada dua yaitu : (1) ‘ilm ahkam an-nujum (ilmu hukum-hukum bintang), dan (2) ‘ilm an-nujum at-ta’limy (ilmu bintang pendidikan). Dalam uraiannya, tampak bahwa pembagian yang terakhir ini dipahami sebagai astronomi, sedangkan yang pertama sebagai astrologi.
Al-Mas’udy (w. 356 H/957 M) dalam “at-Tanbih wa al-Isyraf”, menurutnya ada banyak istilah yang merujuk pada makna astronomi yaitu ‘Ilm Hai’ah al-’Alam, ‘Ilm Hai’ah al-Aflak, ‘Ilm al-Hai’ah, dan ‘Ilm al-Aflak wa an-Nujum. Disini Al-Mas’udy telah membedakan antara Astronomi (Hai’ah) dengan Astrologi. Astronomi menurutnya merupakan bagian dari shina’ah at-tanjim (al-ashthrunumiya), yaitu ilmu mengenai keadaan (posisi), susunan dan konstruksi orbit-orbit benda langit. Sementara itu astrologi merupakan ilmu mengenai pengaruh orbit-orbit terhadap gerak benda-benda langit yang dipandang dapat merubah keadaan (Al-Mas’udy, t.t.: 8-10). Disini tampak Al-Mas’udy menamakan Astronomi (Hai’ah, Falak) juga dengan Shina’ah at-Tanjim dan al-Asthrunumiya (Astronomi).
Ibn Sina (w. 428 H/1037 M) dalam “Tis’u Rasa’il fi al-Hikmah al-Thabi’iyyah”. Ia menyebut dengan istilah al-Hai’ah dan ‘Ilm Ahkam an-Nujum. ‘Ilm Ahkam an-Nujum merupakan ilmu prediksi, menarik kesimpulan terhadap apa yang akan terjadi di bumi (Ibn Sina, t.t.: 111-112). Disini Ibn Sina secara jelas membedakan antara Astronomi (Hai’ah) dengan Astrologi (‘Ilm Ahkam an-Nujum).
Sementara itu Qadhi Zadah ar-Rumy (w. 815 H/1412 M) dalam “Syarh al-Mulakhash fi al-Hai’ah li al-Jighminy” dan Ibn Khaldun (w. 808 H/1405 M) dalam “al-Muqaddimah” menyebut dengan al-Hai’ah yang menurutnya sebagai ilmu yang mengkaji gerak benda-benda langit (yang terlihat secara kasat mata).
Dari sejumlah definisi dan terminologi yang diberikan sejumlah sarjana Muslim di atas tampak bahwa penggunaan istilah astronomi (dan astrologi) sangatlah dinamis, keduanya bercampur baur. Dalam praktiknya sendiri antara astronomi dengan astrologi sejatinya sama dari segi obyek kajiannya yaitu langit dan atau benda-benda langit serta fenomenanya, dan dalam praktik awalnya keduanya sama-sama ilmiah. Perbedaannya hanya terletak pada penerjemahan dan kontekstualisasinya di bumi (masyarakat). Karena itu secara historis antara astronomi dan astrologi dengan segenap istilah yang dilekatkan kepadanya tidak dapat dibedakan secara definitif. Pembedaan secara tegas baru muncul belakangan (khususnya di era modern) seiring munculnya fenomena ketidak ilmiahan praktik astrologi serta ketentuan fikih dan akidah Islam yang melarang praktik nujum (prediksi, peramalan).
Dalam perkembangannya lagi, terdapat satu istilah yang secara langsung tidak merujuk kepada astronomi namun dalam aplikasinya sangat terkait dengan aktivitas astronomi. Istilah itu dikenal dengan Anwa’ (atau al-Anwa’), yang secara etimologi bermakna bintang yang akan hilang, hujan, tiupan angin, dan terbitnya bintang. Sementara itu secara terminologi, Regis Moorlan mendefinisikan dengan sekumpulan hasil perhitungan yang dipersiapkan untuk suatu kegiatan sosial dan keagamaan yang dikaitkan dengan terbit-terbenam benda-benda langit tertentu dengan memanfaatkan bilangan tahun matahari dan membaginya dalam periode-periode tertentu (Moorlan, 2005: 26-27). Praktik menelaah dan mengamati fenomena hujan, cuaca, terbit-terbenam bintang-bintag tertentu, dan lainnya merupakan aktivitas, rutinitas, serta kebutuhan masyarakat ketika itu untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis (tanda waktu, bertani, berdagang, dan lain-lain).
Di era modern, praktik dan tradisi Anwa’ ini tampaknya lekat dengan aktivitas sebuah lembaga di tanah air yang bernama BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Artinya, dalam konteks ini dapat dinyatakan bahwa tradisi dan praktik Anwa’ yang digeluti dan dipraktikkan orang-orang Arab silam merupakan cikal-bakal dan dasar filosofi lahirnya aktivitas lembaga BMKG.
Beberapa literatur Anwa’ di peradaban Islam diantaranya dapat disebutkan antara lain: “Kitab al-Anwa’ fi Mawasim al-‘Arab” karya Ibn Qutaibah ad-Dinawary (w. 276 H/889 M), “Kitab al-Anwa’” karya az-Zajjaj (w. 316 H/928 M), “al-Azminah wa al-Amkinah” karya Al-Ajdaby (w. 650 H/1252 M), dan lain-lain.[]