Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU & Kepala OIF UMSU
Capaian para astronom Muslim di sepanjang sejarah peradaban Islam sangatlah mengagumkan. Capaian-capaian itu meliputi bidang karya tulis astronomi yang melimpah, instrumen-instrumen astronomi yang beragam, observatorium, pengembangan konsep dan teori astronomi, dan lain-lain. Capaian-capaian tersebut terwujud tidak lain diantaranya karena adanya etika dan etos yang melekat dan menghunjam dalam jiwa para astronom Muslim.
Etika umum yang dimiliki para astronom Muslim adalah senantiasa berserah diri kehadirat Allah dalam segenap aktivitasnya (baik dalam observasi, penelitian, ekspedisi keilmuan, dan lain-lain) serta senantiasa berorientasi kepada ibadah. Ini diantaranya tampak dari hampir seluruh karya tulis para astronom Muslim kerap diawali dengan pujian dan penyerahan kepada Allah serta diakhiri dengan harapan kiranya karya dan kontribusinya berkah dan bermanfaat untuk umat (masyarakat).
Etika yang dimiliki para astronom Muslim lainnya adalah dalam hal kepenulisan. Standar-tandar etis dalam penulisan karya di kalangan astronom Muslim sejatinya sangat banyak, beberapa diantaranya: pertama, kerap menjaga akurasi tulisan. Menjadi tradisi di kalangan astronom Muslim mengutip banyak rujukan namun tetap menjaga akurasi dan kualitas pengutipan. Kedua, etika sumber rujukan dan catatan kaki. Dengan mengutip, secara moral-akademik sejatinya hal itu merupakan bentuk kejujuran, penghormatan, pertanggungjawaban ilmiah dari seorang penulis (astronom). Sejatinya, tradisi catatan kaki (footnote) telah ada dan berkembang dalam tradisi kepenulisan para astronom Muslim betapapun dengan bentuk dan model yang dinamis. Dalam praktiknya, tradisi catatan kaki merupakan bentuk keluasan wawasan penulis dalam menguraikan sebuah persoalan yang secara langsung tidak terkait sub pembahasan.
Ketiga, etika meminjam buku. Dalam konteks hari ini, pinjam meminjam buku tampaknya merupakan hal biasa, namun di peradaban Islam hal ini diatur sedemikian rupa. Dalam praktik di zaman itu, manakala seseorang meminjam buku maka ia harus berkomitmen membaca dan mengembalikannya tepat waktu. Selanjutnya, bagi seseorang yang mampu membeli buku maka ia dilarang untuk meminjam, sebab dengan meminjam maka ia menghalangi orang lain untuk meminjam (membaca). Hal-hal semacam ini berlaku dan kerap dijaga oleh para astronom Muslim dan para ilmuwan Muslim secara umum.
Keempat, etika menulis ulang buku. Menulis ulang sebuah buku merupakan hal lazim di peradaban Islam. Biasanya, buku dengan kualitas baik sangat terbuka untuk ditulis ulang. Teks astronomi “Jami’ al-Mabady’ wa al-Ghayat fi ‘Ilm al-Miqat” karya Al-Hasan bin Ali-Marrakusyi (w. stl. 680 H/1281 M) misalnya ditulis ulang lebih dari 10 kali (10 salinan naskah). Kenyataannya, profesi penulisan ulang sebuah karya ini telah berkembang dimana telah muncul satu profesi yang dikenal dengan ‘warraq’ (al-warraqun) yaitu seseorang yang bertugas dan bekerja secara khusus menulis ulang sebuah buku dan ia mendapat imbalan.
Sementara itu aspek etos yang menjadi faktor utama kemajuan peradaban Islam di bidang astronomi setidaknya ada lima, yaitu: (1) etos pencari kebenaran dan orientasi ibadah, (2) etos kejujuran dan orisinalitas, (3) etos keterbukaan dan apropriasi, (4) etos kosmopolitanisme dan universalisme, dan (5) etos kritisisme.
Etos pertama (pencari kebenaran dan orientasi perintah agama) dapat diterjemahkan sebagai berikut. Dalam pemahaman para astronom Muslim, mengamati langit sejatinya merupakan bagian dari menerjemahkan ayat-ayat Allah tentang semesta. Seperti diketahui, ada banyak ayat di dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang semesta. Selanjutnya khazanah astronomi luar yang berasal dari India, Persia, dan Yunani secara kritis diadaptasi dan modifikasi, dan selanjutnya dilakukan sintesis-kreatif. Hal ini tidak lain guna mencari dan mengungkap kebenaran sains astronomi. Selain itu, tradisi rihlah ilmiah guna mencari manuskrip-manuskrip astronomi di berbagai tempat merupakan bagian dari upaya mencari informasi (ilmu), dimana tradisi ini merupakan hal umum di zaman itu. Al-Biruny (w. 440 H) misalnya, ia tercatat pernah berkelana ke India selama sepuluh tahun lebih dan akhirnya ia memeroleh banyak pengetahuan astronomi India.
Etos kedua (kejujuran dan orisinalitas). Seperti diketahui, astronom Muslim memiliki intensitas yang tingga dalam menulis dan meneliti (observasi). Dalam praktiknya, penyebutan tokoh terdahulu dalam karya mereka adalah sesuatu yang niscaya. Mengutip teori dan atau hasil pengamatan tanpa menyebutkan sumbernya adalah kesalahan. Sebagai misal, seorang astronom bernama Ibn al-Majdy (w. 850 H/1447 M) dalam karyanya “Ghunyah al-Fahim wa al-Thariq Ila Hall al-Taqwim” tercatat menyebut dan menukil sejumlah astronom sebelumnya seperti Kusyar al-Jily, Nashiruddin al-Thusy, Ibn asy-Syathir, dan lain-lain. Selanjutnya Ibn Sina juga tercatat hanya tertarik pada sumber-sumber yang menurutnya orisinal. Disini tampak bahwa selain menjaga orisinalitas, para astronom Muslim juga menjunjung kejujuran.
Etos ketiga (keterbukaan dan apropriasi). Dalam faktanya para astronom Muslim tidak canggung ‘melahap’ literatur-literatur astronomi pra Islam. Para astronom Muslim juga biasa berkolaborasi dengan tokoh-tokoh non Muslim seperti dengan Nasrani, Yahudi, dan Hindu. Hunain bin Ishaq adalah tokoh Kristen yang banyak menerjemahkan teks-teks astronomi Yunani ke dalam bahasa Arab, para astronom Muslim banyak berdialog dan bekerjasama dengan tokoh ini. Tatkala di India, Al-Biruny kerap bekerjasama dengan orang-orang Hindu, Ibn Maimun (seorang Yahudi) juga memiliki kontribusi besar dalam astronomi dimana tokoh-tokoh astronomi Islam banyak berhutang kepada tokoh ini.
Namun paut dicatat, keterbukaan dan apropriasi yang dilakukan para astronom Muslim itu tidak dengan ‘membabi buta’, namun dengan adaptasi, modifikasi, dan proses kreatif sesuai nilai-nilai universal ajaran Islam. Selain itu, semangat apropriasi yang ditunjukkan para astronom Muslim juga didukung dengan etos kritisisme.
Etos keempat (kosmopolitanisme dan universalisme). Astronomi pra Islam umumnya bersifat terbatas, lokal dan berdasarkan tradisi turun-temurun (tidak universal). Selain itu, astronomi pra Islam juga tidak memiliki makna dan tujuan universal kemanusiaan, juga tidak dinamis karena nyaris tidak ada persentuhan dengan peradaban lain. Sementara astronomi di peradabaIslam hadir dengan paradigma baru, dimana dipahami bahwa astronomi sejatinya bukan milik satu komunitas (peradaban) tertentu saja. Seperti diketahui, para sarjana astronomi Muslim ‘menerima’ tanpa ragu tradisi astronomi pra Islam. Dalam konsepsi para astronom Muslim, ilmu (diantaranya ilmu astronomi) dipahamai bak cahaya yang bersifat kosmik dan menyemesta sehingga ia tersebar kemana saja dan dimana saja. Salah satu filosofi yang dipegang dan dipahami para astronom Muslim hadis Nabi Saw yang menyatakan “Ambil lah hikmah itu darimana saja berasal”.
Etos kelima (kritisisme). Tradisi dialog, debat dan kritik, merupakan hal lazim di kalangan astronom Muslim (juga di kalangan ulama dan ilmuwan secara umum). Ibn Sina dan Al-Biruny misalnya tercatat pernah berdebat dan saling kritik. Al-Biruny pernah mengkritisi filsafat peripatetik yang diyakini Ibn Sina. Namun di kesempatan lain keduanya kerap bekerjasama dalam hal-hal yang mereka sepakati bersama. Tokoh astronomi Yunani Ptolemeus dengan karyanya “Almagest” yang banyak memengaruhi astronomi di peradaban Islam juga dikritisi habis oleh tokoh-tokoh seperti Al-Biruny (w. 440 H/1048 M), Ibn Syathir (w. 777 H/1375 M), Al-Thusy (w. 672 H/1273 M), Al-Khaziny (w. 1130 M), Ibn al-Haitsam (w. 433 H/1041 M), Ibn Bajah (w. 1138 M), Ibn Rusyd (w. 1198 M), dan lain-lain. Hanya saja, kritik yang dilakukan oleh para astronom Muslim ini adalah pada hal-hal substantif dan tidak masuk dalam ranah etik dan keyakinan. Ibn al-Haitsam misalnya menulis karya berjudul “asy-Syukuk ‘ala Bathlamius”, di dalamnya berisi kritik, catatan, dan perbaikan atas konsep-konsep, teori-teori yang dipandang keliru secara ilmiah. Terhadap aspek-aspek teologi (nujum, astrologi), Ibn al-Haitsam sama sekali tidak mengusiknya.
Selain itu, tradisi kritik yang tumbuh di kalangan astronom Muslim adalah tradisi revisi teks terjemahan astronomi. Dengan revisi tentu di dalamnya ada perbaikan (kritik) dan pada akhirnya melahirkan karya yang lebih efektif dan autentik. Tidak dipungkiri, tradisi terjemah dan revisi teks-teks astronomi menjadi tonggak penting kemajuan astronomi di peradaban Islam.
Tentang etika dan etos kesarjanaan para astronom Muslim, penulis telah menulis sebuah buku berjudul “Tradisi Literasi di Peardaban Islam (Etika dan Etos Para Ilmuwan Muslim)” (Pustaka Compass, 2020), sedangkan terkait tokoh-tokoh astronomi Islam penulis telah menulis buku berjudul “Astronom Muslim Sepanjang Sejarah Peradaban Islam (Biografi Intelektual, Karya, Sumbangan, dan Penemuan” (Suara Muhammadiyah, 2019). Bagi yang berminat dapat menelaah dua buku tersebut. Wallahu a’lam