Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Persoalan pentuan awal bulan, khususnya Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, adalah fenomena yang terus berulang sepanjang waktu. Dalam realitanya, ada banyak dinamika yang terjadi dan berkembang, salah satunya adalah fenomena kesalahan pemegang otoritas dalam memutus dan menetapkan jatuhnya awal bulan. Fenomena ini pernah dan bahkan sering terjadi. Di Nusantara, fenomena ini pernah dikemukakan Al-Habib Sayyid Usman (w. 1331 H/1913 M) dalam karyanya yang berjudul “Tamyīz al-Haqq Min adh-Dhalāl fī Masā’il al-Hilāl”.
Pada fasal ke-9, masalah ke-3, halaman 31-32, Sayyid Usman menjelaskan tentang fenomena kekeliruan Kadi (Arab: al-qādhy) dalam memutus dan menetapkan jatuhnya awal bulan Ramadan dan atau Syawal. Kadi dimaksud dalam konteks hari ini agaknya dapat diterjemahkan dengan ‘Kementerian Agama’ sebagai otoritas Negara dalam menetapkan jatuhnya awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Persoalan ini tampaknya karena pernah terjadi di zaman Sayyid Usman atau di zaman sebelumnya lalu diangkat dalam karyanya ini.
Praktik dan fenomena kekeliruan ini sebagaimana dijelaskan Sayyid Usman adalah tatkala seorang Kadi yang diberi amanah memutus perkara yang terkait dengan ibadah ini terbukti salah dan keliru secara syariat dalam memutuskan masuknya awal bulan puasa dan atau lebaran. Hal ini menurutnya merupakan sesuatu yang sangat memalukan.
Adapun sejumlah bentuk dan penyebab kekeliruan Kadi itu menurut Sayyid Usman antara lain: pertama, seorang Kadi menerima kesaksian yang tidak kredibel (tidak memenuhi syarat). Di pembahasan sebelumnya dalam karyanya ini Sayyid Usman telah mengemukakan syarat-syarat saksi atau kesaksian dalam menetapkan masuknya awal bulan kamariah. Kedua, Kadi menerima kesaksian rukyat yang mustahil terlihat (misalnya hilal masih berada di bawah ufuk) yang mana kemustahilan tersebut dikuatkan dengan hisab yang akurat (qath’iy). Ketiga, seorang Kadi memutuskan dan menetapkan masuknya awal bulan (Ramadan atau Syawal) dengan hisab semata, tidak dengan rukyat. Keempat, serta-merta ber-‘ijtihad’ tanpa berdasarkan aturan dalam syariat Islam.
Menurut Sayyid Usman, yang mana saja dari praktik-praktik Kadi ini dikategorikan tidak berpedoman kepada apa yang telah dititahkan Allah. Kadi semacam ini terhitung zalim dan fasik. Bahkan berdasarkan riwayat-riwayat hadis yang sahih, tipe Kadi ini mendapat laknat dari Allah dan dikategorikan masuk dalam api neraka.
Selanjutnya Sayyid Usman menjelaskan bagi orang yang mengetahui seorang Kadi salah (keliru) dalam menetapkan masuknya awal bulan (puasa dan hari raya), maka keputusan Kadi tersebut tidak harus dipatuhi. Demikian lagi bagi orang yang ragu (syak) terhadap putusan seorang Kadi, maka tidak wajib atasnya berpuasa atau lebaran berdasarkan ketetapan Kadi yang secara jelas keliru dalam memutuskan masuknya awal bulan. Menguatkan pandangannya ini, Sayyid Usman menukil pendapat sejumlah ulama, diantaranya Ibn Hajar dalam “Mukhtashar Fatawa” dan fatwa Syaikhul Islam Zakariya al-Anshary dan imam-imam (ulama) ketika itu. Berikut nukilan yang dikutip Sayyid Usman,
أنه لو ثبت عند الحاكم وشك في صحة الحكم لتهور القاضي أو لمعرفة ما يقدح في الشهود لم يجب الصوم ولا الفطر
“Sesungguhnya tatkala telah diputuskan oleh seorang Hakim, namun ada keraguan tentang kesahihannya, karena kenekatan seorang Kadi, atau karena pengetahuan yang buruk tentang kesaksian, maka tidak wajib berpuasa, demikian lagi tidak wajib berbuka (lebaran)”.
Secara sosiologis, uraian dan informasi Sayyid Usman terkait kekeliruan seorang Kadi dalam memutus perkara awal bulan ini menarik di analisis. Dalam konteks ini tampak Sayyid Usman sangat mengedepankan aspek syar’i dan ilmu (sains), bukan semata berdasarkan kesaksian saksi-saksi di lapangan. Dari sini tampak pula bahwa antara sains dan syariat atau antara astronomi dan fikih sejatinya tidak bertentangan. Dalam konteks ini pula tampak Sayyid Usman tidak terjebak dengan mengintroduksi kaidah yang menyatakan “hukm al-hakim yarfa’ al-khilaf” (ketetapan hakim mengangkat perbedaan). Tentu, konteks mengangkat perbedaan dimaksud dalam kaidah ini adalah ketetapan yang tidak bertentangan secara syariat dan sains.
Dalam konteks ini, dalam segenap uraiannya Sayyid Usman menetapkan dalam penetapan awal bulan kamariah harus dengan rukyat (bukan dengan hisab), sementara ambang batas keterlihatan hilal minimal menurutnya adalah 7 dan atau 8 derajat di atas ufuk. Tentu, klaim dan laporan keterlihatan hilal yang jauh di bawah ambang batas ini tidak logis, apatah lagi hilal yang masih berada di bawah ufuk. Karena itu jika dikontekstualisasikan dengan pernyataan Sayyid Usman diatas, putusan Kadi (hakim, pemerintah) yang demikian dikategorikan sebagai tidak berhukum kepada titah Allah, zalim, fasik, dan berpotensi masuk neraka. Wallahu a’lam[]