Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen UMSU dan Kepala OIF UMSU
Menurut para pakar dan pemerhati, awal Ramadan 1443 H tahun ini berpotensi akan terjadi perbedaan. Secara astronomis, posisi hilal di Indonesia secara umum berada pada ketinggian di bawah 2 derajat (dibawah ambang batas yang ditetapkan Kementerian Agama RI), betapapun di sebagian kecil wilayah Indonesia hilal sudah berada pada ketinggian 2 derajat. Namun seperti lazimnya selama ini, putusan Kementerian Agama RI baru akan diputuskan sesaat setelah pelaksanaan rukyat tanggal 29 Syakban 1443 yang akan datang, dengan menunggu laporan dari sejumlah titik dan jejaring rukyat yang telah ditetapkan. Berbeda dengan Muhammadiyah yang telah menetapkan sejak jauh hari sesuai kalender yang diterbitkan sebagai konsekuensi penggunaan hisab yang memang sudah dapat diprediksi sejak jauh hari. Muhammadiyah sendiri telah menetapkan awal Ramadan 1443 H jatuh pada hari Sabtu, 2 April 2022. Karena itu perbedaan dan persamaan memulai awal Ramadan 1443 H keduanya masih memungkinkan dan menarik ditunggu.
Saat bersamaan, beberapa waktu lalu tepatnya pada 8 Desember 2021, Kementerian Agama RI telah merubah kriteria awal bulannya yang semula IR 2-3-8 (Imkan Rukyat dengan ketinggian hilal 2 derajat, sudut elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam) menjadi IR 3-6,4 (Imkan Rukyat dengan ketinggian hilal 3 derajat, dan sudut elongasi 6,4 derajat). Perubahan ini juga bersamaan dengan 3 Negara Asia Tenggara lainnya yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura, atau yang tergabung dalam forum MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Perbedaan penentuan awal bulan sesungguhnya bisa dilihat dalam 4 hal. Pertama, ia merupakan perintah dan persoalan agama (fikih) yaitu terkait puasa dan hari raya, setiap Muslim ‘bebas’ berijtihad menjalankan perintah agama dan menafsirkan cara melaksanakannya, dalam hal ini apakah dengan rukyat, dengan hisab, dengan imkan rukyat, dengan kalender Islam global, atau cara dan metode lainnya.Kedua, ia merupakan kasus astronomi, sehingga perlu ditelaah secara astronomis, berbagai teori, konsep, dan rumus dari para pakar akan muncul tentang hilal dan awal bulan. Normalnya dalam dunia ilmiah-akademik akan ada banyak pandangan dan kesimpulan tentangnya, ini hal lazim. Ketiga, ia merupakan fenomena sosial, sehingga penting didekati secara sosiologis, memperhatikan aspek kultur dan histori merupakan keniscayaan, terlebih di era dan negara demokrasi seperti Indonesia. Aspek sosial-sosiologis inipun sangat dinamis, bahkan tak jarang menimbulkan ketegangan. Karena itu pula sebuah fenomena sosial yang didekati semata dengan cara prosedural-birokratik adalah bukan cara tepat, apalagi solusi terbaik. Keempat, saat bersamaan ia merupakan peristiwa politik karena secara formal diputuskan Negara (Kementerian Agama), karena itu pula tidak bisa dihindari adanya penerimaan, penolakan, dan ‘tafsir’ dari masyarakat, dengan itu pula keputusan Negara itu bisa rentan politis atau dipolitisir.
Dengan kompleksitas 4 hal ini maka cara tepat dan terbaik menyelesaikan persoalan perbedaan penentuan awal bulan di Indonesia tidak cukup dari satu perspektif yang bersifat prosedural-birokratik (keputusan Pemerintah), misalnya hanya dengan merubah kriteria awal bulan. Dalam hal ini diperlukan cara Negara dengan sikap dan konsep kenegarawanannya. Apa yang dilakukan Jusuf Kalla (mantan Wakil Presiden RI) dan Lukman Hakim Saifuddin (mantan Menteri Agama) hemat penulis adalah satu langkah negarawan yang amat bijak, namun sayang upaya dua tokoh ini terhenti karena periodisasi jabatan, dan sayangnya tidak dilanjutkan oleh Wakil Presiden dan Menteri Agama saat ini yang notabenenya keduanya berbasis santri dan ulama. Dua tokoh (Jusuf Kalla, Lukman Hakim Saifuddin) yang kala itu mewakili Negara membangun silaturahim dan komunikasi ke ormas-ormas sembari menggali akar ‘masalah’. Tampaknya dua tokoh ini sadar betul bahwa akar persoalan perbedaan penentuan awal bulan ini ada di ormas-ormas, dan keduanya sadar bahwa hal ini tidak sederhana karena terkait prinsip, konsep, dan keyakinan, yang memang tidak bisa disimplikasi semata dengan keputusan Negara.
Karena itu hemat penulis, kombinasi penyelesaian 4 hal di atas adalah kunci mengurai problematika penentuan awal bulan di Indonesia, sekali lagi Negara dengan sikap dan konsep kenegarawanannya diperlukan dalam menyelesaikannya. Jika 4 hal ini tidak dilihat dan didekati secara komprehensif lagi beradab maka jalan penyatuan sejatinya masih akan panjang. Padahal, di saat yang sama kita masih dihadapkan pada tuntutan peradaban yaitu wujudnya Kalender Islam Global sebagai sebuah keniscayaan peradaban Islam. Wallahu a’lam