Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Imkan rukyat (Arab: imkan ar-ru’yah) secara bahasa bermakna kemungkinan terlihat, maksudnya adalah kemungkinan terlihatnya hilal setelah terjadi ijtimak (konjungsi) dan sesaat setelah terbenam matahari di ufuk sebelah barat. Dalam diskursus hisab rukyat dan kalender Islam, imkan rukyat adalah salah satu metode dalam menentukan awal bulan. Di kalangan astronom Muslim silam, pembahasan imkan rukyat sangat dinamis dimana tidak ada standar yang tetap dan definitif tentangnya. Tiap-tiap astronom memiliki rumusan dan standar imkan rukyat berbeda-beda. Perbedaan standar imkan rukyat ini tidak lain disebabkan perbedaan lokasi, waktu observasi, dan instrumen yang digunakan, berikutnya lagi perbedaan analisis dan pengujian imkan rukyat itu sendiri.
Secara garis besar, perbedaan standar imkan rukyat (visibilitas hilal) di kalangan astronom silam, sejak abad ke-3 H/9 M sampai 9 H/15 M, disebabkan beberapa faktor berikut: (1) parameter keterlihatan tidak tunggal, (2) standar visibilitas terus meengalami perkembangan, (3) visibilitas dipengaruhi oleh banyak faktor, (4) visibilitas hilal berbeda antara satu tempat dengan tempat lain, (5) secara umum, standar visibilitas hilal cukup tinggi yaitu antara 6 derajat sampai 12 derajat.
Berikut adalah beberapa standar imkan rukyat menurut astronom Muslim abad ke-3 H/9 M sampai abad ke-9 H/15 M:
No | Tokoh | Abad (H/M) | Standar
Visibilitas (°) |
1 | Al-Khawarizmi (w. 232 H/848 M) | 3 H/9 M | 12° |
2 | Habasy al-Hasib (w. 254 H/859 M) | 4 H/11 M | 10° |
3 | Al-Battani (w. 317 H/929 M) | 4 H/10 | 11° 47’-12° |
4 | Al-Majrithi (w. 398 H/1007 M) | 4 H/11 | 12° |
5 | Ibn Yunus (w. 399 H/1009 M) | 4 H/11 | 6°-6.5° |
6 | Al-Thabari (abad 4 H/10 M) | 4 H/10 | 10° |
7 | Abu Ja’far al-Khazin (abad 4 H/10 M) | 4 H/10 M | 9° 30’ |
8 | Al-Biruni (w. 440 H/1048 M) | 5 H/11 M | 12° |
9 | Al-Khazini (w. 550 H/1155 M) | 6 H/12 M | 10° & 12° |
10 | Al-‘Urdhi (w. 664 H/1262 M) | 7 H/13 M | 7° |
11 | Al-Marrakusyi (w. stl 680 H/1281 M) | 7 H/13 M | 6.5°-7°.45’ |
12 | Ibn Syathir (w. 777 H/1375 M) | 8 H/14 M | 12° |
13 | Al-Risyi (w. 836 H/1432 M) | 9 H/15 M | Mukus hilal 12° & lebar cahaya hilal ⅔ ishbi’ |
14 | Ibn Majdi (w. 850 H/1447 M) | 9 H/15 M | 6°-6.5°
6° & 10° |
Di era modern, pemahaman dan implementasi imkan rukyat (dan rukyat) bergeser dari praktik di suatu tempat kepada implementasi global atau yang dikenal dengan transfer imkan rukyat (naql ar-ru’yah). Dimaksudkan dengan transfer imkan rukyat adalah keterlihatan atau kemungkinan terlihat hilal di suatu tempat di muka bumi lalu diberlakukan (ditransfer) ke seluruh kawasan muka bumi lainnya. Pemikiran transfer imkan rukyat ini muncul seiring diskursus Kalender Islam Global yang belakangan ini marak dibicarakan baik di Indonesia maupun dunia Islam internasional.
Dalam konteks Kalender Islam Global, transfer rukyat atau imkan rukyat diberlakukan di seluruh muka bumi betapapun di suatu kawasan hilal tidak memungkinkan terlihat sama sekali, bahkan adakalanya mustahil terlihat. Praktik yang terakhir ini terbilang riskan dan rentan perdebatan karena secara jelas mengabaikan instruksi zahir dari teks-teks hadis rukyatul hilal. Namun dengan mengindahkan bilangan bulan tidak kurang 29 hari dan tidak lebih 30 hari menjadi dalih dan argumen transfer ikmakn rukyat tersebut untuk diterima. Diantara tokoh kontemporer yang mempopulerkan konsep transfer imkan rukyat ini adalah Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq (tokoh pemikir kalender Islam asal Maroko) dalam karyanya yang berjudul “at-Taqwim al-Qamary al-Islamy al-Muwahhad”. Menurut Jamaluddin, tatkala hilal terlihat atau memungkinkan terlihat pada kriteria tertentu di suatu tempat tertentu, maka keterlihatan atau kemungkinan keterlihatan itu ditransfer ke seluruh dunia.
Dalam Muktamar Turki 2016 misalnya, ditetapkan standar imkan rukyat yang berikutnya ditransfer ke seluruh dunia jika memenuhi ketinggian hilal minimal 5 derajat dan elongasi minimal 8 derajat dan telah terjadi konjungsi sebelum waktu fajar di New Zealand. Lalu imkan rukyat itu sendiri terjadi di daratan Amerika, bukan di lautan. Sementara itu Rekomendasi Jakarta 2017 menetapkan standar imkan rukyat dengan sudut elongasi minimal 6,4 derajat dan tinggi hilal minimal 3 derajat dan dengan menetapkan Kawasan Barat Asia Tenggara sebagai titik acuan.
Jika ditelusuri, prinsip dan praktik transfer rukyat dan imkan rukyat ini sejatinya telah berkembang di kalangan fukaha silam. Secara fikih, transfer imkan rukyat dapat dilegitimasi dengan prinsip kesatuan matlak (ittihad al-mathali’), dimana jika hilal terlihat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku dan dapat digunakan di tempat atau wilayah lainnya. Al-Imam an-Nawawi (w. 676 H/1277 M) misalnya, dalam karyanya “Syarh Shahih Muslim” menghikayatkan bahwa keterlihatan hilal di suatu tempat dapat ditransfer ke berbagai belahan bumi (ta’umm ar-ru’yah fi maudhi’ jami’ ahl al-ardh). Lalu Syaikh Zadah dalam “Majma’ al-Anhar” menyatakan bahwa tatkala hilal terlihat di suatu tempat, maka keterlihatannya itu berlaku bagi semua manusia, dalam hal ini tidak ada perbedaan matlak. Tatkala hilal Ramadan terlihat di belahan bumi bagian Barat misalnya, maka ia juga berlaku di belahan bumi bagian Timur. Lalu Ibn Nujaim al-Mishry (w. 971 H/1564 M) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan matlak sama sekali, maka jika hilal terlihat di suatu negeri (dimana di negeri lain tidak terlihat) maka keterlihatan itu berlaku (wajib) bagi kawasan lain, dan mereka wajib untuk berpuasa dengan rukyat itu.
Dalam konteks Kalender Islam Global, prinsip transfer imkan rukyat adalah opsi paling logis dan realistis. Bentuk bumi yang bulat meniscayakan keterlihatan hilal tidak merata di muka bumi. Karena itu, mau tidak mau hilal yang sejatinya hanya satu dapat dipahami satu pula, yaitu secara universal, dalam pengertian dimana saja ia terlihat atau memungkinkan terlihat berlaku di seluruh dunia. Prinsip, pemahaman, dan praktik ini tentunya mengalami dialektika terutama bagi kalangan yang masih memegang teguh rukyat visual dan meniscayakan keterlihatan di tempat dimana rukyat itu dilakukan (rukyat lokal). Karena itu, diskursus transfer rukyat dan imkan rukyat, berikutnya lagi diskursus Kalender Islam Global, masih dinamis dan memerlukan sumbangan pemikiran yang konsisten dan komprehensif dari semua kalangan.[]