Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Astronomi adalah istilah umum hari ini yang merujuk pada makna pengkajian langit dan alam semesta beserta hal-hal yang terkait dengannya. Astronomi sendiri secara genealogi berasal dan berakar dari bahasa Yunani (astronomia) yang berikutnya tercatat dalam literasi para astronom Muslim yang semakna dengan Ilmu Falak dan atau Ilmu Hai’ah.
Ilmu Falak (‘ilm al-falak) sendiri merujuk kepada tradisi keilmuan astronomi di peradaban Islam yang merupakan hasil persentuhan (adaptasi, modifikasi, aplikasi) dari astronomi pra Islam khususnya Yunani, India, dan Persia. Sementara itu astronomi Islam (Inggris: islamic astronomy) merupakan istilah modern yang berkembang di Barat yang merupakan padanan atau istilah lain dari ilmu falak dalam bahasa Arab. Serupa dengan ilmu falak, astronomi Islam juga merujuk pada tradisi keastronomian sebagai berkembang di peradaban Islam. Karen itu dalam penerapannya, istilah ‘astronomi Islam’ (atau islamic astronomy) meniscayakan penggunaan kata ‘Islam’ dalam penyebutannya yang bermakna dan merujuk khazannah astronomi yang berkembang di peradaban Islam dengan segenap ciri dan coraknya yang berbeda dengan astronomi pra Islam. Kata ‘Islam’ itu sendiri dimaknai sebagai agama dan peradaban secara sekaligus. Selain ilmu falak, istilah lain yang populer di peradaban Islam yang merujuk astronomi Islam atau ilmu falak adalah ilmu hai’ah, yang mana istilah ini murni muncul di peradaban Islam tanpa pengaruh pra Islam.
Dapat diperhatikan, literatur-literatur Barat modern menyebut astronomi yang berkembang di peradaban Islam dengan terma ‘islamic astronomy’ yang padanannya dalam bahasa Arab ‘ilm al-falak (ilmu falak) atau ‘ilm al-hai’ah (ilmu hai’ah). Antara lain dapat disimak dalam tulisan-tulisan David A King, George Saliba, Regis Moorlan, Julio Samso, dan lainnya. Peneliti-peneliti Barat ini adalah yang telah bertungkus-lumus meneliti dan mengkaji astronomi yang berkembang di peradaban Islam dimana sumbangannya demikian signifikan dalam pengkajian sejarah, filsafat, dan perkembangan astronomi di dunia Islam. Karena itu astronomi, astronomi Islam, ilmu falak, ilmu hai’ah, dan istilah-istilah lainnya (diluar yang bermakna astrologi) adalah sama dan serupa, bukan berbeda.
Di Indonesia, terdapat kerancuan penggunaan istilah-istilah ini yang disebabkan berbagai faktor. Beberapa istilah yang berkembang di Indonesia yang bercampur-baur dan simpang-siur antara lain: astronomi, astronomi Islam, ilmu falak, dan ilmu hisab. Dalam perkembangannya, istilah ilmu falak lebih populer dari astronomi Islam. Berikutnya istilah ini digunakan dalam skup terbatas yaitu hanya terkait kajian-kajian astronomis yang berhubungan dengan ibadah seperti waktu-waktu salat, arah kiblat, awal bulan, dan gerhana. Bahkan dalam praktiknya kajian-kajian ini lebih dominan dari perspektif agama (fikih) dibanding aspek fisis-matematisnya. Dikotomi skup kajian ini tentu bertentangan dengan makna dan pengertian ilmu falak (astronomi, astronomi Islam, ilmu falak) sebagaimana berjalan dan berkembang di peradaban Islam yang karakter fisis-matematisnya sangat dominan dan kerap memadukan dengan syariat dan sosial.
Sementara itu, kajian astronomi yang dominan mengkaji aspek-aspek fisis-matematis di Indonesia dikenal dengan astronomi, yang biasanya dituturkan dengan astronomi ‘murni’ yang minim integrasi dengan Islam dan sejarah astronomi di pearadaban Islam. Hal yang unik lagi, adakalanya ilmu falak disama dan sejajarkan dengan ilmu hisab dengan alasan keduanya sama-sama memiliki aspek perhitungan (hisab). Secara hierarkis, penyamaan dua istilah ini sejatinya tidak tepat, sebab keduanya merupakan disiplin keilmuan yang berdiri dan berkembang secara mandiri. Hisab, atau ilmu hisab, seperti di definisikan Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam “al-Muqaddimah” adalah disiplin ilmu terkait penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Dalam hierarkinya lagi, ilmu hisab masuk dalam ranah ilmu adad (‘ilm al-‘adad) yang dalam literasi modern dikenal dengan aritmetika (arithmetic).
Selain dikotomi di atas, di Indonesia juga terjadi distorsi sejarah dan informasi astronomi, yaitu terkait muatan “sejarah astronomi” dalam buku-buku atau literatur-literatur yang berkembang. Bila diperhatikan, buku-buku astronomi modern kerap memuat dan menyebutkan astronomi bekembang berawal dari pra Islam (khususnya Yunani) lalu lompat ke astronomi Barat (Eropa). Adalah hal tidak masuk akal, dari astronomi Barat pra Islam lalu lompat ke astronomi Barat modern dengan tokoh-tokohnya (seperti Kepler, Galileo, Copernicus, dan lainnya) dengan mengabaikan astronomi yang berkembang di peradaban Islam. Padahal, berdasarkan sejumlah rekonstruksi dan penelitian yang dilakukan bukan hanya oleh peneliti Timur (Muslim) namun juga peneliti Barat (Kristen), astronomi Barat modern dengan segenap capaiannya tidak mungkin meraih seperti saat ini tanpa peran astronomi di era Arab (Islam) dengan segenap tokoh dan kontribusinya.
Beberapa contoh distorsi itu antara lain: Nicholas Copernicus, tokoh astronomi asal Polandia, dalam literatur modern ditulis dan dikenal sebagai pencetus konsepsi tata surya, padahal sosok-sosok sarjana astronomi Muslim mulai Al-Biruni, Nashiruddin al-Thusi, Ibn Syathir, dan lainnya telah menggagas lebih dahulu konsepsi itu. Namun sayang literatur-literatur modern tidak mencantumkan (mungkin sengaja menghilangkan) nama-nama tokoh Muslim ini. Dalam dunia penerbangan, literatur modern menulis dan menetapkan Wright bersaudara (Orville Wright & Wilbur Wright) sebagai duo perancang pesawat terbang, padahal dalam sejarah Islam sosok Abbas bin Firnas yang berasal dari Irak telah memperkenalkan dasar-dasar filosofis konsep pesawat terbang dengan segenap percobaannya di salah satu bukit di Cordova. Lalu ada konsepsi gravitasi yang literatur modern kerap menulis dan menetapkan Isaac Newton sebagai sang penemu yang berjasa mengubah dunia, padahal jauh sebelumnya sosok astronom Muslim bernama Al-Khazini telah menelaah dan menulis tentangnya lebih dahulu. Ini masih segelintir contoh, tentu masih ada banyak contoh distorsi lainnya.
Pertanyaannya adalah, mengapa hal ini terjadi dan seolah diterima sebagai fakta sejarah yang benar. Hemat penulis karena tiga hal: pertama, karena minimnya literasi dan bacaan peneliti dan akademisi di bidang ini dengan hanya menerima dan mencukupkan dari informasi yang ada. Kedua, kelemahan konstruksi kurikulum pembelajaran astronomi dan atau ilmu falak di perguruan tinggi khususnya dalam materi sejarah astronomi. Silabus yang mungkin sudah berusia lama dipertahankan tanpa ada revisi atau peninjauan ulang secara komprehensif. Ketiga, masih belum dipahaminya dinamika terminologi dan genealogi astronomi sepanjang sejarah sehingga kerap terjadi kesimpang-siuran istilah, makna, dan cakupan astronomi itu sendiri. Wallahu a’lam[]