Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Muhammadiyah telah memutuskan penggunaan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) melalui Musyawarah Nasional Muhammadiyah ke-32 Tarjih di Pekajangan, Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia. Musyawarah Nasional (Munas) ini dihadiri berbagai unsur Muhammadiyah mulai dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Aisyiyah, Anggota Tarjih Pimpinan Pusat, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat/Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia, dan unsur peninjau. Hanya saja definitif keputusan dan penggunaan konsep KHGT ini baru akan direalisasikan setelah ditelaah secara cermat dalam tahap akhir oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, berikutnya baru di tanfidzkan sehingga berlaku mengikat bagi seluruh warga Muhammadiyah dan menjadi panduan bagi umat Islam. Direncanakan tanfidz keputusan KHGT ini akan direalisasikan sebelum Muharam 1446 H, artinya memasuki tahun 1446 H Muhammadiyah secara resmi akan mulai menerapkan KHGT. Ini adalah sikap, pilihan, dan ijtihad Muhammadiyah yang sudah dikaji dan dipikirkan sejak lama.
Musyawarah Nasional (Munas) sendiri merupakan mekanisme dan forum tertinggi Muhammadiyah dalam merumuskan masalah-masalah keagamaan, sosial, dan kebangsaan yang dikoordinir oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, khususnya Divisi Hisab dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Divisi Hisab dan IPTEK). Setinggi apapun dinamika dan dialektika yang berkembang di tengah masyarakat, sebuah keputusan baru sah disematkan kepada Muhammadiyah manakala telah ditanfidz oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, contohnya adalah masalah awal waktu Subuh beberapa waktu lalu.
Pengkajian KHGT di Muhammadiyah sendiri telah berlangsung sangat lama yang menunjukkan keseriusan dan kehati-hatian Muhammadiyah dalam mengkaji dan mendalami masalah ini. Secara formal, pengkajian KHGT di Muhammadiyah setidaknya dimulai pada tahun 1428 H/2007 M yaitu saat simposium “Towards A Unified International Calendar” di Jakarta. Saat itu Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA sekaligus yang menginisiasi simposium, sedangkan kepanitiaan simposium dipimpin oleh Prof. Dr. Susiknan Azhari, MA. Seminar ini dihadiri banyak tokoh dan pemikir kalender dunia seperti Mohamad Ilyas (Malaysia), Mohammad Syaukat ‘Audah (Yordania), Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq (Maroko), Muhammad Ahmad Sulaiman (Mesir), dan lain-lain. Pasca simposium, pengkajian KHGT di Muhammadiyah terus berjalan dinamis, dialektis, dan pasang-surut, hingga puncaknya pada perhelatan Muktamar Muhammadiyah ke-48 Makassar (tahun 1426 H/2015 M) dan Muktamar Muhammadiyah ke-49 di Solo (tahun 1443 H/2022 M), KHGT menjadi agenda global resmi Muhammadiyah yang mendesak untuk diwujudkan. Formalisasi keputusan dalam dua muktamar ini tampaknya benar-benar menjadi semangat besar Muhammadiyah mengkaji masalah ini dimana masalah ini dibahas secara terbuka dalam berbagai forum internal, eksternal, lokal, dan internasional.
Bila diperhatikan, kehadiran KHGT merupakan kebutuhan umat Islam era modern. Perbedaan penentuan awal bulan di seluruh dunia yang kerap berbeda hingga berhari-hari (2-4 hari) merupakan kenyataan yang seharusnya tidak terjadi di kalangan umat Islam yang memegang teguh al-Qur’an dan Sunah yang notabenenya keduanya begitu menekankan arti penting waktu dan pengorganisasiannya. Lebih dari itu, perbedaan puasa arafah dan idul adha di kalangan umat Islam menjadi puncak mendesaknya KHGT untuk segera direalisasikan. Seperti diketahui hari ini umat Islam dalam puasa arafah dan idul adha terbelah dalam dua arus pandangan yaitu mengikut negara Arab Saudi dan mengikut negara setempat, sesuatu yang tidak ideal.
Karena itu tidak lain kehadiran KHGT merupakan optimisme dan jawaban atas kesemrawutan penjadwalan waktu ibadah umat Islam hari ini. Optimisme itu dapat dilihat diantaranya dalam beberapa hal, diantaranya dengan mengupayakan KHGT bermakna kita ikut dan berperan memberi tawaran kepada dunia internasional terkait sistematisasi dan penjadwalan waktu yang definitif untuk maslahat umat yang menjadi ciri agama Islam yang universal dan rahmat bagi dunia, ada banyak sekali ayat al-Qur’an yang menekankan hal ini. Kenyataan umat Islam hari ini belum memiliki Kalender Islam yang tunggal-definitif merupakan keprihatinan, dan saat yang sama ketiadaan sistem penjadwalan waktu ini merupakan hutang peradaban yang harus ditunaikan. Harus diakui hutang itu sudah teramat lama yaitu 14 abad lebih. Padahal, Kalender Masehi, yang digunakan saat ini hampir di seluruh dunia sejatinya bertaraf internasional dan unifikatif serta digunakan umat Kristen dalam menjadwal har-hari ibadah mereka tanpa ada kekacauan dan perbedaan. Nyaris hari ini kita tidak pernah mendengar umat Kristen berbeda, apalagi berdebat soal penetapan hari-hari ibadah mereka. Pertanyaannya, jika Kalender Masehi bisa, mengapa Kalender Islam tidak?
Selain itu, secara historis KHGT mendapat legitimasi fikih yaitu melalui konsepsi matlak global (ittihad al-mathali’). Matlak global bermakna awal bulan dinyatakan tiba tatkala hilal terlihat di suatu tempat atau berada dalam ambang batas tertentu untuk dapat terlihat di suatu tempat lalu diberlakukan di seluruh dunia. Dalam khazanah para ulama konsep matlak global merupakan pendapat populer bahkan cenderung merupakan pendapat mayoritas (jumhur). Konsepsi matlak global merupakan solusi dan terobosan penting dalam perumusan KHGT di era modern.
Selain itu, secara praktis KHGT juga sejatinya mengakomodir rukyat dan imkan rukyat secara sekaligus yaitu melalui rumusan visibilitas 5-8 (ketinggian hilal 5 derajat dan sudut elongasi 8 derajat). Hanya saja visibilitas 5-8 ini bersifat global alias dimana saja di permukaan bumi, bukan di suatu tempat tertentu. Pilihan dimana saja ini merupakan keniscayaan karena berangkat dari konsep dan pemahaman matlak global itu sendiri yang notabenenya bersumber dari hadis-hadis Nabi Saw. Hadis-hadis Nabi Saw menjelaskan bahwa keterlihatan hilal itu bersifat umum tanpa memberi batasan dimana dan bagaimana sehingga dapat dipahami menyeluruh, umum, dan global. Selain itu, kaveran ketampakan hilal pertama kali yang terbatas pada zona (wilayah) tertentu di muka bumi menyebabkan praktik rukyat itu tidak bisa dillakukan di seluruh tempat di muka bumi pasca ijtimak, yang mungkin adalah dengan mentransfer keterlihatan atau kemungkinan keterlihatan hilal ke tempat lain yang tidak melihat atau tidak memungkinkan (bahkan mustahil) melihat hilal. Karena itu pemahaman hilal harus terlihat di suatu tempat tanpa mengindahkan keterlihatan hilal yang lebih dulu terlihat di tempat lain sejatinya bertentangan dengan maksud, tujuan, dan konsepsi KHGT.
Selain itu, secara praktis rumusan 5-8 sejatinya akan meredakan ketegangan dan perdebatan hisab-rukyat yang amat hebat selama ini alias merupakan jalan tengah untuk semua. Bagi Muhammadiyah, dimana dipandang selama ini begitu memegang erat “Hisab Hakiki Wujudul Hilal” dengan skop lokal, lalu kini beralih kepada KHGT dengan imkan rukyat 5-8, merupakan bentuk fleksibilitas sikap dan pemahaman atas rukyat dimana selama ini kerap distigmakan tidak mau menerima rukyat, bahkan dilabeli anti rukyat. Saat yang sama, rumusan 5-8 juga secara pasti merupakan konsepsi rukyat dan imkan rukyat yang tetap mengakomodir praktik rukyat yang hingga kini masih diyakini dan dipedomani umat Islam, hanya saja rukyat dan atau imkan rukyat itu dicukupkan di satu tempat tertentu saat pertama kali terlihat (atau telah memenuhi ambang batas tertentu). Setidaknya ini adalah jalan tengah yang dapat diterima semua umat Islam, terlepas dari segenap kelebihan dan kekurangannya, terlebih ini telah disepakati oleh utusan para ahli syariah dan astronomi saat Muktamar Turki 1437 H/2016 M. Wallahu a’lam[]