Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Imkan Rukyat 5-8 (ketinggian hilal 5 derajat dan sudut elongasi 8 derajat) adalah kriteria visibilitas hilal yang ditetapkan dalam putusan Turki tahun 1437 H/2016 M, yang di Indonesia diadopsi oleh Muhammadiyah dan akan menjadi keputusan resmi organisasi. Pilihan visibilitas 5-8 ini tidak lain guna mengakomodir hisab dan rukyat secara sekaligus betapapun tidak memenuhi keadilan dan keinginan semua pihak.
Melalui penelusuran dokumen yang ada, tidak banyak penjelasan mengapa 5-8 ini yang dipilih, namun secara historis diyakini kuat ini berasal dan berakar dari putusan Muktamar Istanbul tahun 1398 H/1978 M yang kala itu menetapkan 5-8. Sama seperti putusan Turki 1437 H/2016 M, putusan Istanbul 1398 H/1978 M ini juga sangat strategis dan paling banyak diingat dan dirujuk oleh para peneliti hisab rukyat dan kalender Islam. Urgensi dan posisi strategis dua keputusan ini diantaranya adalah karena dihadiri oleh utusan banyak tokoh ulama dan astronom dari berbagai negara di dunia. Indonesia sendiri dalam dua momen bersejarah tersebut berperan dan mengirim delegasi dalam dua perheletan akbar tersebut.
Secara ilmiah-substantif, 5-8 adalah ambang batas yang dianggap memenuhi standar ilmiah visibilitas hilal, dimana ambang batas ini dipercaya dapat terlihat secara kasat mata. Secara historis dan literatur, visibilitas 5-8 ini juga tercatat pernah teramati dalam sejarah penetapan awal bulan hijriah di dunia Islam. Shalih b. Muhammad al-Sha’b dalam karyanya “Ru’yah al-Hilāl fī al-Tārīkh al-Islāmy” (Rukyatul Hilal Dalam Sejarah Islam) mengonfirmasi hal itu. Melalui risetnya atas data, arsip, dokumen, dan informasi lainnya sejak tahun 10 H sampai tahun 1430 H menyimpulkan keterlihatan hilal sepanjang abad berkisar antara 10.3 derajat hingga 12.8 derajat, namun memasuki abad ke-14 dan 15 H berkisar masing-masing 9.9 derajat, lalu 6.0 derajat, dan 3.6 derajat.
Sumber : Al-Sha’b (1437 H/2016 M)
Berikutnya Arwin (1441 H/2020 M) juga melakukan riset dan rekonstruksi naskah-naskah dan literatur-literatur astronomi di peradaban Islam dalam rentang abad ke-3 H/9 M sampai abad ke-9 H/15 M tentang ambang batas keterlihatan hilal, hasilnya menunjukkan keterlihatan atau visibilitas hilal berkisar antara 6 derajat sampai 12 derajat.
Tabel Visibilitas Hilal Menurut Astronom Muslim Abad 9-15 M (Arwin, 1441 H/2020 M)
Lalu mengapa imkan rukyat 5-8 itu dimana saja? Ada sejumlah alasan, diantaranya ini tidak lain menegaskan globalitas kalender itu sendiri, sebab jika imkan rukyat ditetapkan di suatu tempat tertentu secara otomatis menghilangkan sifat dan karakter globalnya. Maka pilihan dimana saja merupakan opsi yang paling logis dan sekaligus bersifat universal. Selain itu, pemikiran “dimana saja” ini beranjak dari logika dan pemahaman hadis-hadis Nabi Saw tentang rukyat yang menyatakan apabila hilal telah terlihat maka hendaklah bagi umat Islam untuk berpuasa dan atau berhari raya. Konteks pernyataan Nabi Saw ini bersifat umum, tidak mendefinitifkan di suatu tempat tertentu. Ini artinya dimana pertama kali rukyat itu terjadi maka itu menjadi panduan dan sekaligus untuk diikuti umat Islam di tempat-tempat lainnya dimanapun.
Karena itu, pendapat yang menyatakan sebaiknya ambang batas imkan rukyat itu ditetapkan dan ditempatkan di kawasan tertentu dengan alasan agar rukyat secara lokal (di setiap negara) terakomodir sesungguhnya bertentangan dengan maksud umum hadis-hadis Nabi Saw, saat yang sama bertentangan dengan maksud dan prinsip matlak global, saat yang sama lagi ini bukan yang dimaksud Kalender Islam Global. Prinsip dalam hadis-hadis rukyat adalah manakala hilal terlihat, dimana saja, maka ia diberlakukan di seluruh dunia tanpa harus menunda atau menunggu wilayah (negara) lainnya memenuhi imkan rukyat, apatah lagi meniscayakan harus terlihat. Sebab jika harus terlihat atau memenuhi imkan rukyat di setiap negara (lokal) maka sangat berpotensi akan terjadi penundaan masuknya awal bulan padahal hilal sudah terlihat atau sudah imkan rukyat di tempat lain.
Karena itu sekali lagi pilihan logisnya adalah wilayah yang belum rukyat atau belum memenuhi imkan rukyat mengikut wilayah yang sudah rukyat dan atau imkan rukyat. Logika ini mirip praktik di Indonesia, dimana yang menjadi panduan adalah keterlihatan hilal atau wujudnya hilal dimana saja di wilayah NKRI, yang manakala hilal sudah terlihat, atau sudah imkan rukyat, atau sudah wujud maka wilayah lainnya mengikutinya. Memang, dalam kondisi tertentu adakalanya posisi hilal di suatu wilayah (di bagian imur) posisi hilal masih di bawah ambang batas, bahkan adakalanya masih di bawah ufuk, namun tetap dinyatakan masuk awal bulan dengan alasan mengikut wilayah lain yang sudah masuk awal bulan. Ini tidak masalah dan tidak bertentangan dengan kaidah dan prinsip kalender karena tetap menempatkan bilangan bulan tidak lebih 30 hari dan tidak kurang 29 hari, sesuai durasi satu bulan kamariah sebagaimana disabdakan Nabi Saw.
Karena itu sekali lagi, jika pilihan kita adalah Kalender Islam Global, maka pilihan 5-8 dimana saja merupakan opsi dan jalan tengah realistis saat ini, di tengah segenap kekurangan yang ada di dalamnya. Kritikan yang kerap ditujukan atas anggitan 5-8 ini tentu sesuatu yang baik dan positif karena memang rumusan 5-8 ini bukan harga mati, bukan pula merupakan prinsip dalam Kalender Islam Global itu sendiri, rumusan 5-8 ini tak lebih hanya parameter (kriteria) yang sudah disepakati para ahli syariah dan astronomi saat Muktamar Turki 1437 H/2016 M, yang tentu dapat diubah sesuai riset yang paling maslahat. Wallahu a’lam[]