Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Kajian matlak merupakan diskursus dinamis di kalangan fukaha lintas mazhab sepanjang sejarah umat Islam. Pembahasan matlak sendiri masuk dalam paket pembahasan hisab dan rukyatul hilal serta penentuan awal puasa dan hari raya. Pangkal pembahasan matlak umumnya berasal dan berakar dari hadis-hadis tentang rukyat, dan secara lebih spesifik hadis Kuraib yang menjelaskan perbedaan hasil rukyat antara Muawiyah di Syam dan Ibn Abbas di Madinah. Perkembangan berikutnya pembahasan matlak terus berkembang dengan segenap dinamika, praktik, dan implementasinya di berbagai tempat seiring meluasnya ekspansi dan persebaran umat Islam di berbagai tempat di permukaan bumi.
Bila ditelaah dalam literarur-literatur fikih, tampak bahwa matlak global (ittihad al-mathali’) merupakan pendapat dominan para fukaha, hanya saja dalam praktiknya matlak lokal (ikhtilaf al-mathali’) adalah yang dipraktikkan. Ini dapat dimaklumi oleh karena adanya kesulitan dalam menerapkan matlak global ketika itu yaitu belum tersedianya fasilitas dan sarana komunikasi yang cepat dan akurat, hal ini menyebabkan konsep matlak global belum dapat diterapkan, yang berbeda halnya dengan hari ini.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili (w. 1436 H/2015 M) dalam karyanya “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu” (Fikih Islam dan Argumennya) merinci secara komprehensif pendapat dan argumen fukaha empat mazhab tentang matlak. Menurutnya, tiga mazhab (Hanafi, Maliki, Hanabilah) seluruhnya secara kuat mendukung matlak global, sedangkan mazhab Syafii mendukung matlak lokal.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan, kalangan Hanafiyah memandang matlak lokal dan rukyat siang hari saat sebelum maupun sesudah zawal tidak dapat dijadikan standar atau panduan. Ini merupakan pendapat mazhab dan merupakan pendapat kebanyakan para ulama (masyayikh) dan menjadi fatwa dalam mazhab ini. Menurut Hanafiyah lagi, tatkala rukyat di belahan barat telah berhasil, maka penduduk belahan dunia bagian timur mengikuti dan menggunakan hasil rukyat dari penduduk belahan dunia barat tersebut, namun dengan catatan rukyat atau keterlihatan hilalnya ditetapkan dengan akurat (bi thariq mujab) [Az-Zuhaili, t.t.: 2/606].
Secara lebih detail pandangan ini dikemukakan Al-Hashkafy (w. 1088 H/1677 M), salah seorang tokoh dalam Mazhab Hanafi, dalam karyanya “ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar wa Jami’ al-Bihar”. Al-Hashkafy menyatakan sebagai berikut,
“…(واختلاف المطالع) ورؤيته نهارا قبل الزوال وبعده ، غير معتبر على ظاهر المذهب وعليه أكثر المشايخ وعليه الفتوى … (فليلزم أهل المشرق برؤية أهل المغرب) إذا ثبت عندهم رؤية أولئك بطريق موجب …”
“Perbedaan matlak dan rukyat siang hari sebelum zawal maupun sesudahnya, adalah tidak dipandang menurut pendapat zahir mazhab, dan ini pendapat mayoritas para syaikh, dan merupakan fatwa … (maka memestikan penduduk timur rukyat penduduk barat) apabila rukyat mereka tersebut telah definitif dengan metode komprehensif…” (Al-Hashkafy, 2022: 145).
Selain Al-Hashkafy, tokoh-tokoh lain dalam mazhab ini juga berpandangan ittihad matlak, antara lain At-Tumurtasyi (w. 1004 H/1595 M), Asy-Syarabnalaly (w. 1069 H/1658 M), Ibn ‘Abidin (w. 1252 H/1836 M), dan Ath-Thahthawi (w. 1231 H/1815 M).
Berikutnya kalangan Malikiyah, menyatakan apabila hilal terlihat, maka menyeluruhlah puasa di semua negeri, baik dekat atau jauh, dalam hal ini tidak ada pertimbangan jarak kasar salat, tidak ada pula matlak, kewajiban puasa berlaku untuk semua umat Islam yang menerima informasi bahwa hilal sudah terlihat di suatu tempat (Az-Zuhaili, t.t.: 2/606). Pendapat ini antara lain dikemukakan Ibn Juzay (w. 741 H/1340 M), salah seorang pembesar dalam Mazhab Maliki, dalam karyanya “al-Qawanin al-Fiqhiyyah” (Undang-Undang Fikih). Dalam buku ini dinyatakan sebagai berikut,
“… أن يرى الإنسان هلال رمضان فيجب عليه الصوم عند الجمهور …”
“Bahwa melihat hilal bulan Ramadan sejumlah orang, maka wajiblah berpuasa untuk seluruhnya” (Ibn Juzay: 211-2013).
Berikutnya Ibn Juzay menguatkan lagi dengan menyatakan, إذا رآه أهل بلد لزم الحكم غيرهم من أهل البلدان “‘idza ra’ahu ahl balad lazima al-hukm ghairahum min ahl al-buldan” (apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal maka memestikan hukumnya bagi penduduk selain mereka) [Ibn Juzay: 211-2013].
Demikian lagi Ibn Rusyd (w. 595 H/1198 M) dalam karyanya “Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid” juga menyatakan demikian.
Sementara itu kalangan Hanabilah, menyatakan apabila hilal telah definitif di suatu tempat, dimana saja, baik jauh atau dekat, maka semua umat Islam wajib berpuasa, dalam hal ini hukum orang yang tidak melihat hilal dianggap sudah melihat hilal (Az-Zuhaili, t.t.: 2/606).
Ini antara lain merupakan pendapat Al-Bahuty (w. 1051 H/1641 M) dalam karyanya “Kassyaf al-Qana’ ‘an Matn al-Iqna’”. Al-Bahuty menyatakan sebagai berikut,
“وإذا ثبتب رؤية الهلال بمكان قريبا كان أو بعيدا لزم الناس كلهم الصوم وحكم من لم يره حكم من رآه لقوله صلى الله عليه وسلم صوموا لرؤيته وهو خطاب للأمة كافة …”
“Dan apabila keterlihatan hilal telah definitif di suatu tempat baik dekat atau jauh maka semua orang (umat Islam) mesti berpuasa, hukum orang yang tidak melihat hilal dianggap melihat hilal berdasarkan hadis Nabi Saw, “puasalah kalian karena melihatnya (hilal)” yang mana ini ditujukan kepada semua umat Islam keseluruhan” (Al-Bahuty: 303).
Menurut Fauzi bin Abdillah al-Atsari dalam karyanya “al-Qamar ath-Thali’” menyatakan bahwa fatwa-fatwa mazhab Hanabilah ini sejatinya dapat digunakan sebagai pedoman di seluruh negara Islam di dunia (Al-Atsari, 2017: 86). Hal ini tidak lain berdasarkan atau sesuai dengan hadis-hadis Nabi Saw.
Adapun dalam mazhab Syafi’i, mazhab ini cenderung berpaham bahwa hadis-hadis rukyat dipahami terbatas alias bermatlak lokal. Menurut mazhab ini, tatkala hilal sudah terlihat di suatu negeri maka hukumnya mengikat bagi negeri-negeri yang berdekatan saja, tidak berlaku bagi negeri yang jauh, dalam hal ini dinyatakan ada perbedaan matlak, yang mana ini merupakan pendapat yang sahih dalam mazhab Syafi’i. Menurut Syafi’iyah lagi, perbedaan matlak sendiri tidak kurang dari 24 farsakh atau sekitar 133 kilometer (Az-Zuhaili, t.t.: 2/607). An-Nawawi (w. 676 H/1277 M), salah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Syafi’i, mengatakan bahwa tiap-tiap negeri berlaku rukyat masing-masing, jika hilal terlihat di suatu negeri maka rukyat itu tidak berlaku bagi negeri lain yang berjauhan (lā yatsbut hukmuhu limā ba’uda) (An-Nawawī, t.t.: 6/278-280). Dalil dan argumen pendapat ini adalah berdasarkan hadis Kuraib yang menjelaskan adanya perbedaan matlak.
Namun dalam kesempatan yang lain, An-Nawawi dalam “al-Majmu’”, yangmenukil dari Ibn Mundzir, menyatakan bahwa dari al-Laits, Asy-Syafi’i, dan Ahmad, menyatakan tatkala hilal terlihat di suatu tempat maka keterlihatan itu memestikan untuk seluruh umat Islam (yalzam al-jami’) [An-Nawawi, t.t.: 6/274]. Berikutnya dalam kesempatan lain lagi An-Nawawi menguraikan enam pendapat terkait hal ini, dimana salah satu dari enam pendapat itu menyatakan bahwa keterlihatan hilal (rukyat) di suatu tempat (negeri) berlaku dan mengikat bagi semua penduduk bumi (yalzam jami’ ahl al-ardh) [An-Nawawi, t.t.: 6/276].
Demikian ringkasan pandangan fukaha empat mazhab tentang matlak, dimana tampak bahwa kecendrungan fukaha silam adalah pada matlak global (ittihad al-mathali’), bukan matlak lokal (ikhtilaf al-mathali’). Pandangan dan pemikiran global fukaha ini tidak lain menunjukkan sikap dan cara pandang progresif mereka terhadap unifikasi waktu-waktu ibadah dalam Islam yang seyogianya memang harus satu dan sama alias satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Wallahu a’lam[]