Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Muktamar Penyatuan Kalender Hijriah Internasional (Mu’tamar Tauhid at-Taqwim al-Hijry ad-Dauly) Turki tahun 1437 H/2016 M menghasilkan keputusan dan menetapkan kalender hijriah global dengan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Putusan Turki ini diadopsi Muhammadiyah dengan nama KHGT (Kalender Hijriah Global Tunggal). Salah satu konsepsi yang harus diterima dari KHGT, sebagaimana dalam putusan Muktamar Turki 1437 H/2016 M, adalah prinsip matlak global (ittihad al-mathali’), yaitu keterlihatan atau kemungkinan keterlihatan hilal di satu tempat (negara) lalu diberlakukan atau ditransfer ke seluruh dunia. Legitimasi pemberlakuan ke seluruh dunia ini adalah melalui konsepsi matlak global yang sejak lama diyakini dan dikemukakan fukaha yang notabenenya berasal dari penerjemahan atas hadis-hadis Nabi Saw terkait rukyat yang dipahami bersifat umum (lafaz ‘am), dalam konteks umum, dan berlaku umum pula. Beberapa hadis Nabi Saw tersebut antara lain,
صوموا لرؤيته وأفطرا لرؤيته (رواه البخاري)
“Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berhari rayalah karena melihat hilal” (HR. Al-Bukhari).
إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا (رواه البخاري)
“Apabila kamu melihat hilal maka berpuasa, dan apabila kamu melihatnya maka berhari-raya lah” (HR. Al-Bukhari).
Pertanyaannya adalah, bagaimana menjelaskan secara syariat dan sains tatkala posisi hilal yang masih di bawah ufuk tetap dinyatakan masuk awal bulan? Seperti dikethui hari ini umat Islam memahami hilal yang definitif itu adalah hilal yang berada di atas ufuk dan dapat terlihat atau sekurang-kurangnya berada pada ambang batas tertentu. Dalam literatur-literatur fikih klasik yang banyak membahas tentang matlak global atau membahas masalah penentuan awal bulan secara umum tidak ada penjabaran tentang ini, terutama dari aspek saintifik. Karena itu masalah ini menjadi urgen untuk dijelaskan, sebab tidak dipungkiri ini merupakan bagian yang kerap dikritisi terutama oleh kalangan yang masih berpegang kepada rukyat lokal dan memestikan ketampakan fisis hilal.
Secara singkat, argumen hilal di bawah ufuk tersebut dapat dijelaskan dengan tiga hal berikut: pertama, fase-fase bulan (moon phases, aujuh al-qamar), termasuk fase hilal atau bulan sabit, pada dasarnya merupakan fenomena global, sementara ketampakan hilal merupakan fenomena lokal. Kedua, firman Allah dalam QS. Yasin (36) ayat 39 menerangkan bahwa fase (manzilah) terakhir bulan adalah saat konjungsi, atau yang disebut dengan “al-‘urjun al-qadim”.
والقمر قدرنه منازل حتى عاد كالعرجون القديم (سورة يس : 39)
“Dan telah kami tetapkan tempat peredaran bulan sehingga setelah sampai ke tempat peredaran yang terakhir, kembalilah ia seperti tandan tua” (QS. Yasin : 39)
Konjungsi sendiri merupakan standar dan titik awal yang artinya sesaat setelah terjadinya konjungsi maka pada esensinya hilal telah ada (wujud) betapapun dipastikan tidak terlihat secara kasat mata. Karena itu konsekuensi konjungsi dan fase-fase bulan sebagai fenomena global ini meniscayakan hilal yang tidak tampak dan bahkan masih berada di bawah ufuk sekalipun sesungguhnya ia disebut hilal, yang terus membesar dari waktu ke waktu.
Ketiga, persentase perubahan fase-fase bulan sejatinya berkorelasi dengan perubahan elongasi (jarak sudut bulan-matahari) yaitu akibat perbedaan kecepatan sudut matahari dan bulan. Karena perbedaan kecepatan sudut ini QS. Yasin (36) ayat 40 menjelaskan bahwa matahari tidak dapat mengejar bulan, sebagaimana malam tidak bisa mendahului siang.
لا الشمس ينبغي لها أن تدرك القمر ولا الليل سابق النهار وكل في فلك يسبحون (سورة يس : 40)
“Tidaklah matahari mendahuli bulan, tidak pula malam mendahului siang, semua beredar pada porosnya masing-masing” (QS. Yasin : 40)
Karena itu dalam konteks ini posisi bulan di satu tempat meskipun berada di bawah ufuk sesungguhnya ia ada dan terus membesar yang paralel dengan bertambah dan berubahnya elongasi, sehingga sekali lagi ia dinyatakan sebagai hilal yang definitif, sebab telah didahului oleh konjungsi. Hilal yang tidak terlihat bahkan di bawah ufuk di suatu tempat sementara di tempat lain terlihat atau memenuhi imkan rukyat tertentu, maka seluruhnya dinyatakan sebagai hilal yang definitif, yang secara eksplisit ini adalah yang dimaksud dalam matlak global sebagaimana dikemukakan para ulama.
Dalam tabiatnya, posisi hilal secara fisis di kawasan barat memang selalu lebih tinggi dari kawasan timur, ini tidak lain akibat rotasi bumi serta akibat elongasi yang terus bertambah. Fenomena ini telah diketahui secara praktik oleh fukaha, karena itu pula fukaha menyatakan, “apabila hilal telah terlihat oleh penduduk timur maka hal itu berlaku bagi penduduk barat”, atau dengan pernyataan yang lebih umum, “apabila hilal telah terlihat, maka berlakulah keterlihatan hilal itu bagi semua umat Islam”.
Dari tiga argumen di atas secara jelas tampak berbeda dengan pemahaman (argumen) tentang hilal seperti berkembang dan dipahami umat Islam hari ini. Ini merupakan cara pandang baru dan sekaligus pendefinisian hilal baru yang mau tidak mau mesti diterima guna terwujudnya sistem penjadwalan waktu dunia Islam yang unifikatif lagi kredibel. Menolak dan mempermasalahkan penafsiran hilal semacam ini maka sama halnya dengan menolak terwujudnya kalender Islam yang bersifat global-unifikatif. Itu artinya hutang peradaban Islam selama 14 abad lebih yaitu terkait sistem penjadwalan waktu (kalender) belum dapat diwujudkan.
Berikutnya dari tiga argumen ini dapat disimpulkan beberapa hal berikut: pertama, dalam praktik dan implementasinya sekali lagi KHGT meniscayakan mengadopsi prinsip matlak global, yang mana matlak global sendiri merupakan pendapat dominan di kalangan fukaha. Penolakan atas matlak global maka sama halnya dengan penolakan atas kehadiran kalender global. Kedua, dalam kenyataannya, praktik matlak global dengan pengertian tatkala hilal terlihat atau memungkinkan terlihat (dengan ambang batas tertentu) di satu tempat di muka bumi selanjutnya diberlakukan atau ditransfer ke seluruh dunia, fakta ini menyebabkan adakalanya posisi hilal di sejumlah kawasan muka bumi masih di bawah ufuk alias hilal masih negatif. Posisi dan keadaan hilal yang masih negatif (di bawah ufuk) ini dijelaskan secara saintifik yaitu bahwa pada dasarnya setelah ijtimak hilal telah ada (wujud) betapapun tidak terlihat secara indrawi. Ijtimak juga menandakan telah sempurnanya satu sinodis putaran bulan mengelilingi bumi yang menjadi standar pergantian bulan. Konjungsi dan satu putaran sinodis bulan juga menempatkan bilangan bulan tetap minimal 29 hari sehingga tidak bertentangan dengan pernyataan Nabi Saw tentang umur bulan, yaitu tidak kurang dari 29 hari dan tidak lebih dari 30 hari. Karena itu, konjungsi dan putaran satu sinodis bulan menjadi kunci dan merupakan hal urgen dalam KHGT.
Ketiga, pemahaman dan penerjemahan hilal di bawah ufuk (hilal negatif) semacam ini merupakan kemestian dan sekaligus merupakan cara pandang baru dalam melihat dan memposisikan Kalender Islam sebagai sebuah tuntutan dan sekaligus hutang peradaban yang belum kunjung tertunaikan di dunia Islam modern hari ini. Terlepas dari segenap kekurangannya, ini adalah alternatif yang paling logis dan realistis untuk diwujudkan, betapapun tetap terbuka alternatif-alternatif lainnya sesuai hasil uji dan validasi meyakinkan para ahli, peneliti, dan pemerhati bidang ini. Karena itu pengkajian lebih lanjut, bahkan kritik konstruktif atas rumusan KHGT ini masih dan tetap diperlukan.
Keempat, dari perspektif ini pula meniscayakan terjadinya pergeseran makna dan definisi hilal, dimana selama ini dipahami sebagai fenomena fisis-lokal, maka kini beranjak dan diperluas menjadi fenomena eksistensialis-global. Pemahaman ini sekali lagi beranjak dan bertitik tolak dari interpretasi hadis-hadis Nabi Saw terkait rukyat yang bersifat umum itu yang dipahami dengan konsepsi global (matlak global). Berikutnya matlak global ini dijelaskan secara saintifik oleh ilmuwan Muslim di era modern sehingga menjadi argumen kuat atas KHGT. Wallahu a’lam[]
Out of box..
Barokallaah yaa syaikh
Perhatikan kutipan ini:
*Dalam tabiatnya, posisi hilal secara fisis di kawasan barat memang selalu lebih tinggi dari kawasan timur, ini tidak lain akibat rotasi bumi serta akibat elongasi yang terus bertambah. Fenomena ini telah diketahui secara praktik oleh fukaha, karena itu pula fukaha menyatakan, “apabila hilal telah terlihat oleh penduduk timur maka hal itu berlaku bagi penduduk barat”, ….”*
Pendapat fukaha itu berlaku utk kriteria MABIMS, yg berada di timur utk diberlakukan di wilayah barat. Tdk berlaku bagi KHGT yg mendasarkan keterlihatan hilal di wilayah barat utk diberlakukan di wilayah timur.
Jelas KHGT tdk mungkin bisa diterima pengamal rukyat. Bulan di bawah ufuk tdk mungkin disebut sbg hilal bagi pengamal rukyat. KHGT hanya berlaku bagi yg anti-rukyat.
Sangat memahamkan. Meskipun ada kalangan yang mendiskreditkan dan berat sebelah menyikapinya. Bahkan sekelas profesor dan peneliti senior BRIN pun selalu skeptis sinis dan apatis terhadap setiap Tajdid dari Muhammadiyah untuk dunia. Tak apa-apa. Saya berani menggaransi bahwa KHGT sudah sesuai dengan semangat al-Urwatul Wutsqo dan ittihadul Muslimin fi anha’ al-Alam.
Kebenaran bukan terletak pada kriteria MABIMS ataupun Wujudul Hilal atau KHGT. Tapi kebenaran itu ada pada Allah dan Rosululloh.
Allahu yahdiikum.
Allahu a’lamu bis showab.
Barokallohu fiikum wa hadaakum.