Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen UMSU & Kepala OIF UMSU
Yaumus Syak (hari meragukan) adalah sebuah terminologi fikih yang berkaitan dengan puasa, hilal, dan penetapan awal bulan hijriah. Konteks awal yaumus syak adalah tatkala terjadi ketidakpastian apakah pada hari itu merupakan hari terakhir sebuah bulan yang sedang berjalan ataukah merupakan awal hari dari bulan setelahnya. Ketidakpastian penentuan hari itu disebut dengan “yaumus syak” (hari yang meragukan). Terminologi “yaumus syak” sendiri diantaranya muncul dari sebuah pernyataan seorang sahabat Nabi Saw bernama Amar bin Yasir yang menyatakan,
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Siapa yang puasa pada hari syak maka sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Abu al-Qashim (Nabi Muhammad Saw)” [HR. al-Bukhari dan al-Hakim].
Dalam praktik awalnnya, istilah “yaumus syak” lebih digunakan untuk hari yang dikategorikan meragukan antara akhir bulan Syakban atau awal bulan Ramadan, sehingga ada kekhawatiran jika melaksanakan puasa pada hari itu. Problem yang menyebabkan keraguan itu seperti dijelaskan ulama adalah karena hilal tidak terlihat disebabkan faktor alam (mendung, hujan, polusi, dan awan). Karena faktor alam itu menyebabkan hilal tidak terlihat sementara ada informasi bahwa awal bulan Ramadan telah masuk, dengan demikian umat Islam ketika itu tidak bisa memastikan secara pasti apakah sudah masuk awal bulan (Ramadan) ataukah belum.
Lebih lanjut menurut jumhur ulama, konteks yaumus syak pada dasarnya adalah hari ke-30 dari bulan Syakban, sementara masyarakat (umat Islam) saat itu bimbang apakah hari itu definitif sebagai tanggal 30 Syakban ataukah jangan-jangan sudah masuk tanggal 1 Ramadan, sehingga dalam hal ini terjadi keraguan. Yaumus syak sendiri berawal dari dan saat tanggal 29 Syakban yang merupakan hari pelaksanaan rukyat untuk menentukan tanggal 1 Ramadan, hanya saja praktik rukyat yang dilakukan ada kendala dan halangan sehingga terjadi keraguan dalam keputusannya. Dalam literatur fikih dan syarah hadis dijelaskan kendala atau halangan itu pada dasarnya bersifat alami seperti mendung, hujan, awan, dan polusi. Karena faktor alam ini menyebabkan keraguan bahwa hari setelah tanggal 29 itu ditetapkan sebagai tanggal 30 Syakban atau 1 tanggal Ramadan.
Lebih lanjut An-Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam karyanya “al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab” menyatakan bahwa yaumus syak adalah hari ke-30 dari bulan Syakban yang mana saat itu terjadi isu di tengah masyarakat bahwa hilal telah terlihat (waqa’a fi alsinah an-nas annahu ru’iya), hanya saja tidak ada pengakuan (kesaksian) seorang saksi yang adil yang menyatakan bahwa hilal terlihat.
Yaumus syak juga berangkat dari pemahaman dan pemaknaan hadis-hadis Nabi Saw tentang rukyatul hilal yaitu agar berpuasa dan berbuka dengan melihat atau terlihatnya hilal. Oleh karena meniscayakan keterlihatan fisik dan fisis hilal itu, dan ketika hilal tidak terlihat yang disebabkan berbagai faktor alam tadi, maka lahirlah apa yang disebut “yamus syak” tersebut. Disini tampak bahwa yang menjadi titik problem adalah karena adanya ‘keraguan’ sudah masuk awal bulan atau belum.
Para ulama sendiri berbeda pendapat tentang hukum berpuasa pada “yaumus syak”, ada yang menyatakan makruh, ada juga yang menyatakan haram. Selanjutnya para ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dilarangnya berpuasa pada yaumus syak tersebut. Ada yang berpendapat bahwa larangan itu jika diniatkan untuk puasa Ramadan, namun jika diniatkan untuk puasa sunah Syakban maka diperbolehkan. Namun ada ulama lain lagi menyatakan secara mutlak tidak boleh melaksanakan puasa pada yaumus syak tersebut, baik puasa wajib maupun puasa sunah.
Bila ditelaah, konteks yaumus syak ini adalah karena adanya keraguan sudah masuk awal bulan atau belum masuk awal bulan, yang sekali lagi berangkat dari pemahaman dan pemaknaan hilal harus terlihat secara fisik dan atau fisis. Logikanya, manakala tidak ada keraguan tentang masuknya awal bulan, misalnya dengan menggunakan hisab atau dengan menggunakan imkan rukyat dengan parameter tertentu, maka yaumus syak sesungguhnya tidak kontekstual dan tidak relevan lagi.
Ini sedikit sama halnya dengan konsep ayyamul bidh yang tidak terikat secara langsung dengan telaah astronomis dan atau posisi bulan di langit, kesunahan puasa ayyamul bidh semata bergantung pada hari ke-13, 14, dan 15. Perbedaan dalam menetapkan tanggal satu setiap awal bulan secara otomatis berimplikasi pada perbedaan dalam penetapan dan pelaksanaan puasa sunah ayyamul bidh.
Dalam hal ini yaumus syak hanya kontekstual jika dikaitkan dengan visibilitas hilal secara kasat mata dan dalam penentuannya ada keraguan tentangnya, yang praktis untuk hari ini tidak ada keraguan lagi (baik menggunakan rukyat, imkan rukyat, maupun hisab) karena definitifnya informasi ilmiah-astronomis tentangnya. Selanjutnya bila direkonstruksi, visibilitas hilal di zaman Nabi Saw, sahabat, tabiin, dan seterusnya, sesungguhnya berada dalam ambang batas yang cukup tinggi (lihat penelitian Shalih al-Sya’b, 2015), sehingga dalam hal ini konteks hari meragukan (yaumus syak) dapat disimpulkan adalah hari yang posisi hilalnya dipastikan sudah wujud di atas ufuk dengan ketinggian tertentu namun tidak dapat terlihat karena berbagai faktor dan isu sehingga menimbulkan polemik dan keraguan di tengah masyarakat. Artinya dalam hal ini yaumus syak bukan dalam konteks hilal sudah wujud di atas ufuk atau masih berada dibawah ufuk, namun lebih karena meragukan semata. Patut dicatat lagi, dalam yaumus syak meniscayakan bahwa bilangan bulan tetap berkisar antara 29 hari atau 30 hari, tidak diluar keduanya.
Karena itu mengaitkan dan sekaligus membatalkan prinsip Kalender Islam Global (misalnya putusan Turki 2016) dengan argumen yaumus syak sesungguhnya tidak relevan, karena konteks yaumus syak adalah adanya keraguan apakah hari itu tanggal 30 atau tanggal 1, sementara konsep Kalender Islam Global cirinya adalah kepastian dan kedefinitifan serta tidak ada keraguan apakah tanggal 30 atau tanggal 1. Memahami dan mensimplikasi hilal yang masih berada dibawah ufuk di suatu tempat (negara), padahal di tempat (negara) lain hilal sudah wujud, sebagai yaumus syak adalah kurang tepat. Karena sekali lagi yaumus syak konteksnya adalah hilal yang sudah wujud diatas ufuk namun terdapat “keraguan” tentangnya. Namun jika semata dinyatakan bahwa hilal yang masih berada dibawah ufuk itu sebagai ‘catatan’ (kekurangan) dalam Kalender Islam Global tanpa mengaitkan dengan yaumus syak maka hal itu agaknya logis, sehingga argumen, diskursus, dan dinamika tentangnya akan berbeda lagi.
Kalender Islam Global (dengan kriteria apa dan berapa saja) adalah lompatan dan tuntutan peradaban yang tetap mengindahkan bilangan bulan 29-30 hari, sesuai pesan nas. Adapun hilal yang menjadi pertanda (syarat) sebuah kalender apakah harus terlihat atau tidak, terlihat di suatu tempat namun tidak terlihat di tempat lain, dan persoalan lainnya, ini menjadi pembahasan lain lagi, yang jelas konteks yaumus syak tidak kontekstual dan tidak relevan dihadapkan dengan konsep Kalender Islam Global. Wallahu a’lam[]