Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen UMSU & Kepala OIF UMSU
Saadoe’ddin Djambek adalah salah seorang tokoh falak populer di Indonesia. Karya dan pemikirannya banyak memengaruhi tokoh-tokoh falak di masanya dan generasi yang datang sesudahnya. Salah satu pengaruh dan kontribusi besar Saadoe’ddin Djambek (bersama Abd. Rachim) adalah rumusan awal waktu Subuh minus 20 derajat yang digunakan secara resmi oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) sampai saat ini bersama ormas-ormas Islam lainnya, kecuali Muhammadiyah sampai tahun 2020 M.
Saadoe’ddin Djambek lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, tanggal 24 Maret 1911 M (1330 H) dan wafat di Jakarta tanggal 22 Nopember 1977 M (11 Zulhijah 1397 H). Saadoe’ddin Djambek adalah putra ulama besar asal Minangkabau bernama Muhammad Djamil Djambek (w. 1367 H/1947 M). Saadoe’ddin Djambek juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, hanya saja ia tidak pernah menduduki jabatan strategis seperti unsur Pimpinan Pusat maupun Majelis Tarjih dan Tajdid, namun yang pasti ia berafiliasi kepada persyarikatan Muhammadiyah. Adapun guru yang banyak memengaruhi pemikiran ilmu falak Saadoe’ddin Djambek adalah Muhammad Thahir Jalaluddin (w. 1376 H/1956 M) yang mana tokoh ini juga dalam karyanya merumuskan awal waktu Subuh minus 20 derajat.
Dalam karirnya Saadoe’ddin Djambek tercatat pernah mengemban amanah menjadi salah satu dari lima anggota tim perumus Lembaga Hisab dan Rukyat Departemen Agama. Pada tanggal 16 Agustus 1972 M melalui Surat Keputusan Menteri Agama nomor 76 tahun 1972 M tentang Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama, secara resmi ia diberi amanah menjadi ketua Badan Hisab dan Rukyat (Departemen RI, t.t.).
Dalam diskursus awal waktu Subuh di Indonesia, khususnya tentang minus 20 derajat, Saadoe’ddin Djambek dikenal sebagai tokoh yang memeloporinya bersama Abd. Rachim. Catatan tertulis bahwa Departemen Agama menggunakan -20 derajat diantaranya tertera dalam buku berjudul “Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa” yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI 1994 M/1995 M, halaman 32,
“Waktu Subuh dimulai sejak terbit fajar di ufuk timur. H. Saadoeddin Jambek dalam bukunya “Shalat dan Puasa di Daerah Kutub” dan Drs. Abd. Rachim dalam bukunya “Ilmu Falak” menerangkan bahwa tinggi Matahari saat terbit fajar adalah -20º. Ada juga ahli-ahli hisab lainnya yang mengatakan bahwa tinggi Matahari awal Subuh adalah -18 atau 18 ½ atau -19. Selama ini kita berpedoman h Subuh -20 seperti apa yang dikemukakan oleh H. Saadoeddin Jambek dan Drs. Abd. Rachim” (Departemen Agama RI, 1994/1995).
Terkini, melalui sharing berita yang beredar di media sosial, Kementerian Agama berhasil mendapatkan dan menguatkan data -20 derajat tersebut melalui pengamatan yang dilakukan sejumlah tim Kementerian Agama di Timau, Nusa Tenggara Timur. Atas temuan tim Kementerian Agama ini muncul pula narasi yang mengaitkan temuan -20 derajat itu dengan Saadoe’ddin Djambek yang notabenenya sebagai ‘orang’ Muhammadiyah. Ada kesan penggiringan opini itu oleh karena Saadoe’ddin Djambek adalah ‘orang’ Muhammadiyah yang menggagas -20 maka sebaiknya ‘orang-orang’ Muhammadiyah hari ini juga seyogianya menerima dan mengikuti -20 derajat itu, diantaranya dengan dalih kembali kepada azan yang satu, tentu ini logika dan nalar yang tidak tepat.
Karena itu dalam konteks ini ada beberapa catatan yang patut dikemukakan. Pertama, dalam sejarah dan konteks kehadiran awalnya, kedalaman Matahari di bawah ufuk timur sebagai pertanda awal waktu Subuh -20 derajat memang benar bersumber dari gagasan Saadoe’ddin Djambek (dan Abd. Rachim), yang mana keduanya adalah tokoh Muhammadiyah. Selanjutnya diketahui bahwa standar awal waktu Subuh -20 derajat itu juga merupakan pendapat Muhammad Thahir Jalaluddin (w. 1376 H/1956 M), guru Saadoe’ddin Djambek, yang salah satunya tertera dalam karyanya “Nukhbah at-Taqrīrāt fī Hisāb al-Auqāt wa Samt al-Qiblah bi al-Lūghāritmāt”. Karena itu patut diduga kuat -20 derajat itu sesungguhnya dikutip Saadoe’ddin Djambek dari gurunya, Muhammad Thahir Jalaluddin, yang mana -20 derajat ini ketika itu tidak ditemukan informasi dan literaturnya berdasarkan hasil observasi.
Kedua, adalah fakta Saadoe’ddin Djambek merupakan tokoh Muhammadiyah yang dalam aktivitas dakwah dan akademiknya selain berkiprah di Muhammadiyah juga di Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama), diantaranya sebagai ketua Badan Hisab Rukyat pertama tahun 1972 M. Hanya saja dengan statusnya sebagai ‘orang’ Muhammadiyah tidak serta-merta menjadi panduan dan atau keputusan bagi Muhammadiyah, karena seperti diketahui organisasi Muhammadiyah (juga organisasi keislaman lainnya) memiliki prosedur dan mekanisme dalam menetapkan keputusan, tidak bergantung kepada pendapat dan ketokohan seseorang.
Ketiga, dalam Munas Tarjih XXXI (tahun 2020 M) , Muhammadiyah telah berijtihad dan berketetapan merubah awal waktu Subuhnya dari -20 derajat menjadi -18 derajat (ada penambahan 8 menit), perubahan itu berdasarkan ijtihad (obsevasi, analisis, musyawarah). Seharusnya semua pihak menghormati putusan dan pilihan ijtihad ini, sebagaimana Muhammadiyah juga menghormati pilihan Kementerian Agama, ormas, dan komunitas yang tetap mempertahankan -20 derajat, dan tidak mengaitkannya dengan temuan terkini apalagi mengaitkannya dengan seorang Saadoe’ddin Djambek. Adapun perdebatan soal definisi fajar kazib, fajar sadik, metode olah data, pengaruh polusi cahaya, lokasi dan waktu yang ideal, dan lainnya, merupakan wilayah teknis-praktis yang niscaya rentan terjadi polemik, perbedaan, dan perdebatan. Karena itu sekali lagi tatkala Muhammadiyah secara organisasi telah memutuskan (-18 derajat) maka seyogianya keputusan itu tidak diusik, diantaranya dengan mengaitkannya dengan Saadoe’ddin Djambek dengan alasan karena beliau tokoh (ulama) Muhammadiyah.
Keempat, sebaiknya semua pihak membangun narasi dan argumentasi yang independen, tidak terjebak dengan tendensi dan kepentingan, serta menjauhkan kontestasi. Setiap pihak harus memposisikan bahwa semua temuan, penelitian, dan keputusan tentang awal waktu Subuh sebagai sebuah ijtihad yang memiliki legalitas dalam syariat. Adapun terkait substansi data, metode, argumen, analisis, uji lapangan dan seterusnya, adalah wilayah ‘halal’ dan terbuka sepanjang masa.
Kelima, Muhammadiyah sebagai organisasi terbuka tentu mengapresiasi semua temuan (ijtihad). Salah satu amanat Munas Tarjih XXXI adalah agar meneruskan penelitian dan pengkajian tentang awal waktu Subuh yang dapat diterjemahkan manakala terdapat indikasi perlunya perubahan maka itu sangat mungkin lagi terbuka dan bukan hal mustahil dilakukan. Hanya saja perubahan itu baru dapat dilakukan dengan terkumpulnya data yang valid dan telah ada kajian-kajian pendahuluan tentangnya, biasanya melalui forum di Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang bernama “Halaqah Ahli Fikih dan Hisab Muhammadiyah”. Karena itu pula perubahan dalam keputusan (tanfidz) Muhammadiyah tidak mungkin dilakukan hanya dengan satu atau beberapa data, terlebih hanya dengan menggiring opini bahwa Saadoe’ddin Djambek sebagai tokoh Muhammadiyah yang menggagas -20 derajat. Wallahu a’lam[]