Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar,
Dosen UMSU dan Kepala OIF UMSU
Kalender Islam Global (Arab: “at-Taqwim al-Islamy al-Muwahhad” atau “at-Taqwim al-Islamy al-‘Alamy al-Uhady”) adalah sistem penjadwalan waktu (kalender) yang pemberlakuannya bersifat universal (mendunia) dan menjadi panduan umat Islam di seluruh dunia baik dalam rutinitas ibadah (khususnya puasa dan hari raya) maupun dalam aktivitas sosial, sipil, dan administratif.
Dalam realitanya, upaya perumusan Kalender Islam Global hingga saat ini mengalami dinamika dan pasang surut respons dari umat Islam, dimana perdebatan fikih tentangnya masih menjadi isu dan pembahasan paling mengemuka lagi hangat.
Jika ditelaah, terdapat aspek-aspek definitif dalam Kalender Islam Global yang telah mapan dan tak dapat diubah dalam kondisi dan situasi bagaimanapun, aspek-aspek ini dalam hukum Islam dikenal dengan “ats-tsawabit”. Sementara itu sebaliknya, terdapat pula aspek-aspek fleksibel dalam Kalender Islam Global yang dapat berubah sesuai situasi, waktu, dan kondisi, yang dikenal dengan “al-mutaghayyirat”.
Dalam konteks Kalender Islam Globla, aspek-aspek definitif (tsawabit) itu diantaranya adalah:
Pertama, Kalender Islam itu berdasarkan lunar (bulan), bukan solar (matahari). Hal ini antara lain berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah [2] ayat 189, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ahillah, maka katakanlah, hilal itu adalah pertanda waktu untuk manusia dan ibadah haji”. Dalam ayat ini secara tegas dinyatakan bahwa ahillah (bulan) sebagai tanda waktu.
Kedua, Bilangan bulan dalam satu tahun 12 bulan dan tidak boleh ada interkalasi. Hal ini berdasarkan firman Allah QS. At-Taubah [9] ayat 36, “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah 12 bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Ia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan haram”. Ayat ini memberi penegasan bahwa durasi setahun itu 12 bulan dan dilarangnya praktik interkalasi (an-nasi’).
Ketiga, Jumlah hari dalam satu bulan itu antara 29 hari dan 30 hari. Artinya, tidak boleh kurang dari 29 hari dan tidak boleh lebih dari 30 hari. Ketentuan ini ditarik dari sejumlah hadis Nabi Saw yang menjelaskan tentang bilangan hari dalam sebulan. Antara lain hadis Nabi Saw, “Bulan itu adakalanya 29 hari, adakalanya 30 hari” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Keempat, Ijtimak (konjungsi) sebagai syarat memasuki bulan baru. Hal ini antara lain dapat ditarik dari QS. Yasin [36] ayat 39, “Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan hingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan tua”. Frasa ‘tandan tua’ (al-‘urjun al-qadim) dalam ayat ini secara astronomis dimaknai dengan fenomena konjungsi. Konjungsi sendiri merupakan syarat awal masuknya bulan baru. Konjungsi terjadi saat bulan berada diantara matahari dan bumi dimana wajah bulan menjadi tidak tampak dari bumi.
Sementara itu aspek-aspek fleksibel dalam Kalender Islam Global relatif lebih banyak dan berpotensi berubah dan bertambah sesuai konteks sosiologis, geografis, astronomis, dan bahkan politik negara-negara di dunia, antara lain:
Pertama, Penggunaan hisab, rukyat, dan atau penggabungan keduanya. Seperti diketahui, diskursus hisab-rukyat merupakan perdebatan klasik yang terus berlangsung sampai saat ini. Perbedaan dan perdebatan tentang keduanya memenuhi dan menjadi sub-sub pembahasan dalam kitab-kitab fikih para fukaha. Mayoritas kitab-kitab fikih klasik menetapkan bahwa penentuan awal bulan kamariah adalah dengan rukyat, sementara sebagian kecil menyatakan dapat menggunakan hisab. Beberapa tokoh ulama klasik yang mendukung hisab antara lain Mutharrif bin Abdillah (w. 78 H/697 M), Ibn Qutaibah (w. 276 H/889 M), Ibn Suraij (w. 306 H/918 M), Ibn Daqiq al-‘Id (w. 702 H/1302 M), Taqiyyuddin as-Subki (w. 756 H/1355 M), Al-Qalyubi (w. 1069 H/1658 M), Asy-Syarwani (w. 1301 H/1883 M), Al-‘Ubbadi (w. 994 H/1585 M), dan lain-lain. Sementara tokoh-tokoh (ulama) modern yang mendukung hisab antara lain: Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377 H/1958 M), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H/1935 M), Thanthawi Jauhari (w. 1358 H/1938 M), Yusuf al-Qaradhawi (l. 1926 M), Ali Jum’ah (l. 1952 M), dan lain-lain. Perbedaan pendapat tentang hisab dan rukyat ini tidak lain menunjukkan dinamisasi dan fleksibilitas keduanya. Sementara dalam implementasinya terhadap Kalender Islam Global meniscayakan penggunaan hisab.
Pertama, Penggunaan hisab, rukyat, dan atau penggabungan keduanya. Seperti diketahui, diskursus hisab-rukyat merupakan perdebatan klasik yang terus berlangsung sampai saat ini. Perbedaan dan perdebatan tentang keduanya memenuhi dan menjadi sub-sub pembahasan dalam kitab-kitab fikih para fukaha. Mayoritas kitab-kitab fikih klasik menetapkan bahwa penentuan awal bulan kamariah adalah dengan rukyat, sementara sebagian kecil menyatakan dapat menggunakan hisab. Beberapa tokoh ulama klasik yang mendukung hisab antara lain Mutharrif bin Abdillah (w. 78 H/697 M), Ibn Qutaibah (w. 276 H/889 M), Ibn Suraij (w. 306 H/918 M), Ibn Daqiq al-‘Id (w. 702 H/1302 M), Taqiyyuddin as-Subki (w. 756 H/1355 M), Al-Qalyubi (w. 1069 H/1658 M), Asy-Syarwani (w. 1301 H/1883 M), Al-‘Ubbadi (w. 994 H/1585 M), dan lain-lain. Sementara tokoh-tokoh (ulama) modern yang mendukung hisab antara lain: Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377 H/1958 M), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H/1935 M), Thanthawi Jauhari (w. 1358 H/1938 M), Yusuf al-Qaradhawi (l. 1926 M), Ali Jum’ah (l. 1952 M), dan lain-lain. Perbedaan pendapat tentang hisab dan rukyat ini tidak lain menunjukkan dinamisasi dan fleksibilitas keduanya. Sementara dalam implementasinya terhadap Kalender Islam Global meniscayakan penggunaan hisab.
Kedua, Prinsip matlak, transfer rukyat, dan transfer imkan rukyat (visibilitas global). Secara bahasa, matlak bermakna tempat terbit atau tempat muncul bulan, matahari, dan fajar. Matlak juga dapat didefinisikan dengan batas geografis keberlakuan rukyat. Sementara itu transfer rukyat atau transfer imkan rukyat adalah keterlihatan hilal atau kemungkinan keterlihatan hilal (dengan ambang batas tertentu) di suatu tempat dimana saja di permukaan bumi lalu ditarik dan diberlakukan ke seluruh dunia. Dalam konteks Kalender Islam Global, prinsip kesatuan matlak seluruh dunia dan transfer imkan rukyat menjadi syarat yang harus diterima dan terpenuhi.
Ketiga, Prinsip garis tanggal dan awal hari. Penentuan garis batas tanggal dan awal hari merupakan syarat dalam Kalender Islam Global. Dalam Islam, yang lazim berlaku, batas tanggal dan awal hari bermula saat terbenam matahari, dimana lokasinya berubah dan bergeser setiap waktu. Sementara itu dalam perumusan Kalender Islam Global meniscayakan awal hari dan garis tanggal itu tetap di suatu tempat, sebab jika berubah-ubah akan menyulitkan implementasi kalendernya. Karena itu, pilihannya adalah garis batas tanggal internasional sebagaimana di gunakan dalam Kalender Masehi. Namun demikian, ada pandangan di sebagian umat Islam yang menyatakan bahwa awal hari dan batas tanggal itu bermula dan ditetapkan pertama kali di Ka’bah lalu ditarik ke seluruh dunia. Diantara pendukung pandangan ini antara lain Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377 H/1958 M) dalam karyanya “Itsbat Awa’il asy-Syuhur al-‘Arabiyyah Hal Yajuzu Itsbatuha bi al-Hisab al-Falaky”.
Selain tiga aspek fleksibel di atas, sejatinya masih ada aspek-aspek fleksibel lainnya lagi yaitu seiring pengkajian lebih lanjut yang dilakukan atau akan dilakukan oleh para peneliti di bidang ini. Karena itu, mempertimbangkan aspek definitif (tsawabit) dan fleksibel (mutaghayyirat) dalam Kalender Islam Global sebagaimana dikemukakan di atas, para pengkaji Kalender Islam Global seyogianya lebih mengedepankan maslahat global-universal ketimbang meperdebatkan, apatah lagi mempertahankan, prinsip-prinsip yang sejatinya bersifat fleksibel lagi elastis (mutaghayyirat).
Ketiga, Prinsip garis tanggal dan awal hari. Penentuan garis batas tanggal dan awal hari merupakan syarat dalam Kalender Islam Global. Dalam Islam, yang lazim berlaku, batas tanggal dan awal hari bermula saat terbenam matahari, dimana lokasinya berubah dan bergeser setiap waktu. Sementara itu dalam perumusan Kalender Islam Global meniscayakan awal hari dan garis tanggal itu tetap di suatu tempat, sebab jika berubah-ubah akan menyulitkan implementasi kalendernya. Karena itu, pilihannya adalah garis batas tanggal internasional sebagaimana di gunakan dalam Kalender Masehi. Namun demikian, ada pandangan di sebagian umat Islam yang menyatakan bahwa awal hari dan batas tanggal itu bermula dan ditetapkan pertama kali di Ka’bah lalu ditarik ke seluruh dunia. Diantara pendukung pandangan ini antara lain Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377 H/1958 M) dalam karyanya “Itsbat Awa’il asy-Syuhur al-‘Arabiyyah Hal Yajuzu Itsbatuha bi al-Hisab al-Falaky”.
Selain tiga aspek fleksibel di atas, sejatinya masih ada aspek-aspek fleksibel lainnya lagi yaitu seiring pengkajian lebih lanjut yang dilakukan atau akan dilakukan oleh para peneliti di bidang ini. Karena itu, mempertimbangkan aspek definitif (tsawabit) dan fleksibel (mutaghayyirat) dalam Kalender Islam Global sebagaimana dikemukakan di atas, para pengkaji Kalender Islam Global seyogianya lebih mengedepankan maslahat global-universal ketimbang meperdebatkan, apatah lagi mempertahankan, prinsip-prinsip yang sejatinya bersifat fleksibel lagi elastis (mutaghayyirat).
Maslahat global-universal dalam Kalender Islam Global tidak lain adalah terkait identitas peradaban Islam itu sendiri. Dimana agama Islam sebagaimana dibawa baginda Nabi Muhammad Saw hingga kini yang telah berusi 14 abad lebih (menurut kalender hijriah) belum memiliki sistem penjadwalan waktu (kalender) yang bersifat definitif-global dan menjadi panduan umat Muslim di seluruh dunia. Kenyataannya, setiap negara di dunia memiliki konsep dan mekanisme masing-masing dalam menetapkan jatuhnya awal Ramadhan, awal Syawal, dan awal Zulhijah. Parahnya, adakalanya perbedaan penetapan jatuhnya momen ibadah itu terjadi dengan selisih lebih dari dua hari, padahal syariat hanya mentolerir dua hari. Wallahu a’lam[]
Artikelini telah diterbitkan di: https://infomu.co/aspek-aspek-definitif-dan-fleksibel-dalam-kalender-islam-global/