Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Bila dicermati, hadis-hadis baginda Nabi Saw tentang rukyat sejatinya memuat satu pesan logis bahwa melihat dan atau terlihatnya hilal adalah karena hilal itu memang telah berada dalam posisi dapat terlihat, dengan asumsi hilal tidak terhalang oleh awan. Hal ini menegaskan pula bahwa rukyat hanya layak dilakukan tatkala telah terjadi konjungsi dan pada saat gurub, hilal telah berada di atas ufuk dan dalam posisi dapat terlihat atau sekurang-kurangnya memungkinkan terlihat. Selanjutnya, tatkala hilal tertutup awan (cuaca tidak cerah atau faktor alam lainnya), maka dilakukanlah istikmal. Istikmal adalah jalan keluar yang diberikan karena adanya faktor alam tadi, karena boleh jadi Nabi Saw sudah memperkirakan, bahkan mengetahui, bahwa faktor alam ini sulit diatasi. Dengan demikian dapat pula diasumsikan bahwa praktik rukyat yang dilakukan para sahabat sebagai dititahkan baginda Nabi Saw telah memenuhi prasyarat astronomis yaitu telah terjadi konjungsi, hilal telah berada di atas ufuk, dan hilal dapat terlihat atau memungkinkan terlihat. Adalah suatu yang mustahil Nabi Saw memerintahkan sesuatu namun sesuatu itu tidak ada atau tidak memungkinkan ada.
Logika logis sabda-sabda Nabi Saw tentang rukyat setidaknya dapat dibuktikan dari pernyataan beliau Saw tentang usia bulan yang adakalanya 29 hari dan adakalanya 30 hari. Batasan minimal-maksimal usia bulan yang tidak kurang dari 29 hari dan tidak lebih dari 30 hari ini bersifat eksak dan bersesuaian secara astronomis. Oleh karena itu sekali lagi merupakan suatu hal yang tidak logis Nabi Saw memerintahkan rukyat pada saat usia bulan belum mencapai 29 hari, atau, telah mencapai usia 29 hari namun tidak ada peluang terlihat atau sekurang-kurangnya memungkinkan terlihat betapapun cuaca cerah. Demikian lagi, adalah mustahil Nabi Saw memerintahkan rukyat (untuk menentukan awal puasa dan atau hari raya) pada saat usia bulan telah mencapai usia maksimalnya, 30 hari.
Pertanyaan yang barangkali patut diajukan adalah bagaimana Nabi Saw mengetahui hari (tanggal) 29 sebagai hari eksekusi rukyat? Atau, bagaimana Nabi Saw mengetahui fenomena konjungsi dan hilal di atas ufuk? Hemat penulis ada dua hipotesis: pertama berasal dari wahyu, yang selanjutnya dibuktikan secara empiris oleh para sahabat, dan terbukti benar. Kedua dari informasi, pengalaman, dan tradisi astronomi yang berkembang di zaman pra Islam (khususnya Yunani, India, Persia). Seperti dimaklumi, tiga peradaban pra-Islam ini memiliki tradisi kalender yang mapan dan populer.
Dengan demikian tampak jelas tentang arti penting penentuan tanggal 29 dalam rangka menentukan tanggal 1 sebuah bulan kamariah. Apabila penentuan tanggal 29 keliru, maka berkonsekuensi logis kesalahan terus-menerus bulan-bulan berikutnya. Tentunya hal ini menimbulkan dua problem yaitu problem ibadah dan problem kalender.
Untuk itu, konsepsi pemahaman bahwa eksekusi rukyat harus dilakukan pada setiap hari ke 29 dari suatu bulan patut diinterpretasi dan rekonstruksi ulang. Merujuk logika sebagai dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa rukyat hanya dilakukan manakala: (1) konjungsi bulan-matahari telah terjadi, (2) pada saat gurub, hilal telah berada di atas ufuk dan dalam posisi dapat terlihat atau memungkinkan terlihat. Apabila dua hal ini terpenuhi maka eksekusi rukyat dapat dilakukan, dan pada parameter inilah dinyatakan sebagai tanggal 29. Lalu dalam konteks ini, jika rukyat dipandang wajib maka akan bernilai ibadah. Namun apabila tidak memenuhi dua kriteria ini, maka pada hari itu tidak dapat dinyatakan sebagai tanggal 29, dan dalam konteks ini eksekusi rukyat tidak bernilai ibadah.
Jika hilal dalam kondisi ini tetap dilakukan maka hal ini terbilang tidak logis sekaligus tidak ilmiah, dan secara diametral bertentangan dengan ruh sabda Nabi Saw tentang rukyat. Sebab, seperti dikemukakan, bagaimana mungkin Nabi Saw memerintahkan melihat sesuatu tetapi sesuatu itu tidak ada bahkan tidak memungkinkan ada. Seandainya pada kondisi itu rukyat tetap dilakukan, lantas ada yang mengklaim hilal terlihat, apakah klaim ini diterima? Dalam praktik hari ini tampaknya tidak. Nah, jika klaim rukyat tidak diterima namun rukyat tetap dilakukan, maka dalam bahasa fikih hal ini disebut “tahshil al–hashil”.
Selanjutnya, jika pada tanggal 29 itu hilal terlihat, maka secara otomatis sesaat setelahnya adalah awal bulan (tanggal 1). Namun jika tidak terlihat, karena faktor awan atau faktor lainnya, maka awal bulan jatuh pada esok lusa harinya. Pertanyaan penting yang patut dikemukakan disini dan perlu dicarikan jawabannya adalah: tatkala hilal pada tanggal 29 tidak terlihat (yang artinya dilakukan istikmal), kapankah jatunya hari ke 29 bulan berikutnya? Apakah terhitung dari sejak tanggal 29 bulan sebelumnya? Ataukah dari tanggal 30-nya? Dalam hal ini ada dua pandangan (pendapat):
Pertama, didasarkan dari tanggal 29 bulan sebelumnya (bukan dari tanggal 30 nya). Alasannya, pada saat itu (tanggal 29 bulan sebelumnya) usia bulan telah mencapai usia minimal (29 hari) dan secara astronomis dapat terlihat atau memungkinkan terlihat jika cuaca cerah. Sehingga untuk kepentingan eksekusi rukyat ditetapkanlah tanggal 29 itu sebagai patokan untuk menetapkan hari ke 29 berikutnya (meskipun yang terkahir ini secara yuridis masih tanggal 28). Namun dengan catatan, bahwa pada hari yuridis ke-28 ini (hari eksekusi rukyat dilakukan) telah memenuhi dua kriteria astronomis seperti disebutkan di atas. Jika tidak, maka eksekusi rukyat tidak perlu dilakukan (tidak wajib, tidak sunah dan tidak bernilai ibadah), hari itu dinyatakan sebagai tanggal 28, dan rukyat baru dilaksanakan esok harinya sebagai tanggal 29, demikian seterusnya. Namun patut dicatat, sesuai catatan dan pengalaman di lapangan, fenomena ini jarang terjadi. Lantas, jika pada tanggal 28 yuridis saat dilakukan eksekusi memenuhi kriteria di atas, dan dalam eksekusinya hilal terlihat, maka hal ini memberi konsekuensi bahwa bulan sebelumnya berlebih 1 hari. Maka dalam hal ini, hasil rukyat ketika itu mengoreksi bilangan bulan sebelumnya dimana seharusnya 29 hari, bukan 30 hari.
Kedua, eksekusi rukyat tetap didasarkan dari tanggal 30 yuridis (dimana sebelumnya dilakukan istikmal). Konsekuensinya, pada hari ke 29 berikutnya, apabila hilal memenuhi kriteria dan dalam eksekusinya hilal terlihat, maka tidak ada problem. Sebab hari itu terhitung 30 hari bila dijumlah dari tanggal 29 yuridis bulan sebelumnya. Namun jika tidak memenuhi kriteria, maka (sesuai logika hadis dan kriteria di atas) hari itu bukan tanggal 29, tetapi masih tanggal 28, dan eksekusi baru dilakukan esok harinya. Pada eksekusi esok harinya, apabila hilal tertutup awan (atau cuaca tidak cerah) maka dilakukanlah istikmal. Artinya, bila dihitung dari tanggal 29 yuridis sebelumnya maka bilangan bulan berikutnya 31 hari, dan bila dihitung dari tanggal 30 yuridis bulan sebelumnya maka bilangan bulan berikutnya berjumlah 32 hari. Selanjutnya, konsekuensi pendapat kedua ini adalah apabila terjadi pada bulan Zulkaidah maka berpengaruh (bermasalah) pada bulan sebelumnya (Syawal) dan secara otomatis berimbas pada bulan Ramadan sebelumnya. Bila hal ini terjadi pada bulan Ramadan, maka berlakulah ganti (kada) sebagaimana aturan fikih.
Sebagai misal, dapat kita lihat pada data awal Zulkaidah 1435 H. Data astronomis menunjukkan konjungsi terjadi pada hari Senin, 25 Agustus 2014 jam 22:07 WIB. Pada saat gurub matahari (jam 18:34 WIB), ketinggia hilal –04° 26’ 36’’ (yaitu posisi hilal berada di bawah ufuk). Sementara itu, data astronomis Syawal 1435 H menunjukkan konjungsi terjadi pada hari Ahad, 27 Juli 2014 jam 04:03 WIB, ketinggian hilal 02° 25’ 01’’.
Untuk Zulkaidah, jika merujuk logika sebagai dikemukakan di atas, maka dalam kondisi ini, yaitu pada saat gurub, eksekusi rukyat tidak dapat (tidak perlu) dilakukan karena tidak memenuhi dua kriteria sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan ini pula hari itu dinyatakan bukan hari (tanggal) 29, tetapi masih hari (tanggal) 28. Artinya, rukyat baru dapat dilakukan esok harinya. Sementara untuk Syawal, data astronomis telah memenuhi dua kriteria di atas. Namun pertanyaannya, apakah (sekaligus adakah) laporan hilal terlihat pada Syawal itu?.
Apa yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa metode rukyat dengan segenap problematika dan dialektika praktiknya memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan itu terlihat lagi di era modern hari ini dengan segenap kompleksitas sosialnya yang meniscayakan adanya konsistensi dan kepraktisan sebuah keputusan dan metode. Dalam konteks ini, agaknya kita harus mulai mengarahkan pandangan dan pemahaman kepada pemikiran kalender yang bersifat unifikatif, yaitu sebuah kalender yang mampu menyatukan aktifitas sosial dan ibadah umat Muslim di seluruh dunia. Entah apa konsep itu, dan bagaimana pula implementasinya, yang jelas kita harus memikirkan dan merumuskannya karena hal ini merupakan bagian dari upaya pengorganisasian waktu yang menjadi spirit Qs. Al-‘Ashr [103]: 1-3.[]