(Medan:OIFUMSU) Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU) mengadakan webinar Diskusi Observatorium & Astronomi (DOA) yang ke-18 dengan tema “Metode penentuan awal bulan menurut PERSIS,“ via Zoom, Senin (25/10/2021) dan dapat disaksikan kembali di channel Youtube OIF UMSU.
Wakil Ketua Dewan Hisab dan Rukyat Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Islam (PERSIS) H. Syarief Ahmad Hakim, M.H., selaku Narasumber memperkenalkan PERSIS terlebih dahulu bahwa PERSIS merupakan salah satu ormas Islam yang didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka tahun 1923. Ia juga menjelaskan bahwa sejak awal berdirinya, PERSIS memberikan pengarahan dan perhatian kepada umat untuk senantiasa beribadah, sesuai dengan Qur’an dan Sunnah. Penentuan waktu-waktu ibadah juga menjadikan perhatian persis.
Terkait dengan masalah penentuan awal bulan qamariah yang digunakan oleh persis, H. Syarief menjelaskan, dari catatan yang ada tentang membuat almanak Islam yaitu dari tahun 1960-an.
“Dari tahun 1960-an, persis membuat kalender sendiri, menghitung sendiri, kemudian disebarkan kepada anggota-anggota PERSIS.”
- Syarief mengatakan bahwa selama 30 tahun PERSIS berpegang teguh kepada ijtimak qoblal ghurub pada perhitungan bulan qamariah. “Dari 1960-an hingga awal tahun 1990-an, itu masih berpegang teguh kepada ijtimak qoblal ghurub; jadi sekitar 30-an tahun itu yang dipakai oleh PERSIS dan ini menjadi warisan dari KH. Abdurahman,” tuturnya.
Ia juga menambahkan bahwa ijtimak qoblal ghurub yang memang itu dipandang suatu hal yang benar, ternyata tidak selamanya. Kemudian beralih dari ijtimak qoblal ghurub ke kriteria wujudul hilal.
“Wujudul hilal ini ternyata di PERSIS itu ada dua model, pertama wujudul hilal dengan menggunakan markas bandung saja. Artinya kalau dibandung itu sudah positif ketinggian hilalnya maka maka diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia meskipun umpamanya Indonesia bagian timur maupun tengah masih negatif, daerah tersebut diikutkan ke Kota Bandung. Kemudian yang ke 2 berubah kepada wujudul hilal, tetapi kepada seluruh Indonesia. Artinya bahwa bukan hanya sekedar positif di Kota Bandung saja, tetapi wujudnya itu adalah untuk seluruh Indonesia termasuk yang paling timur Papua, harus sudah wujud.” tambahnya.
Terus berlanjut, penentuan awal bulan berubah lagi ke kriteria imkan rukyat pada tahun 2002. Beralihnya hal itu merupakan hasil musyawarah dengan hisab rukyat PP. PERSIS pada awal tahun 2002 di Kota Bandung. “Almanak tahun 1423-1433 itu menggunakan kriteria ini,” tuturnya
Lalu hal itu menjadi sebuah perdebatan, bahwa harus mempertimbangkan dalil-dalil tentang rukyat. “Jadi artinya kalau ijtimak qoblal ghurub dan wujudul hilal memperhatikan aspek hisab saja. Sementara kriteria imkan rukyat mengadopsi bahwa dalil-dalil rukyat itu adalah Shahih namun itu juga dilakukan oleh Rasulullah yang ingin dimasukkan kepada sistem perkalenderan di PERSIS,” lanjutnya.
Berlanjut, pergantian dari kiteria wujudul Hilal kepada imkan rukyat MABIMS karena memang pada saat itu kriteria dipegang oleh pemerintah. “Dan ini yang digunakan oleh almanak PERSIS yang digunakan pada tahun 1423-1433 selama 10 tahun,” tuturnya,
Ia juga menjelaskan jika dilihat dari segi metode, PERSIS itu berpegang pada hisab. “Kalau almanak tanpa hisab itukan tidak bisa bikin almanak. Kalau bikin hanya almanak bulanan 29 hari kan kalau berdasarkan rukyat,” jelasnya.
“Namun hisab itu ada dua, hisab murni tanpa mempertimbangkan aspek rukyatnya yaitu dengan menggunakan kriteria ijmak qoblal ghurub dan wujudul hilal,” tambahnya.
Kemudian ia menjelaskan setelah PERSIS berpegang kepada kriteria imkan rukyat MABIMS. “Pada tahun 2012 karena ada kritikan oleh para ahli astronomi yang juga dengan pihak-pihak lain kepada kriteria imkan rukyat yaitu tentang batasan ketinggian hilal, jarak busur matahari dengan umur hilal terlalu minim yang terlalu kecil menyebabkan PERSIS mengkaji kriteria tersebut dan melakukan pengkajian terhadap hasil penelitian astronomi. Maka atas dasar pemikiran diatas PERSIS pada tanggal 31 Maret 2012 telah mengubah kriteria imkan rukyat versi MABIMS menjadi kriteria astronomis yang saat itu di gagas oleh LAPAN pada tahun 2013. Kemudian ini diterapkan dalam penyusunan alamak 1403 hijriyah sampai saat sekarang ini. Kriteria tersebut disarankan bahwa beda tinggi antara bulan dan matahari sebesar 4 derajat dikonfersikan menjadi 3° 50’ elongasi 6,4°,” jelasnya.
Di akhir penutup, H. Syarief juga tidak lupa untuk menyampaikan kesimpulan dari materi tersebut, bahwa di atas selama rentang waktu 60 tahun, kalender hijriyah PERSIS telah mengalami 5 kali perubahan kriteria, yang pertama adalah ijtima qlobal qhurub dari tahun 1160-1195 selama 35 tahun, kemudian wujudul hilal lokal dari tahun 1996-1999 selama 3 tahun, Wujudul hilal untuk seluruh wilayah Indonesia dari tahun 2002-2021 selama 2 tahun, Kemudian imkan rukyat MABIMS dari tahun 2022-2012 selama 10 tahun, Kemudian yang terakhir imkan rukyat versi astronomis dari tahun 2013 sampai sekarang.
Moderator menjelaskan bahwa tema ini diangkat oleh OIF UMSU sebagai khazanah ilmu pengetahuan khususnya terkait dengan metode penentuan awal bulan di Indonesia yang mudah-mudahan dapat bermanfaat.