Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Indonesia adalah negara dengan beragam suku dan etnis yang tersebar di seantero Indonesia. Indonesia juga terbentang secara geografis dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari beribu pulau. Indonesia meraih kemerdekaannya juga atas perjuangan para tokoh beragam suku, etnis, dan agama. Sejak lama, di Nusantara (pra Indonesia, pra-kemerdekaan) telah hidup tradisi keagamaan dan sosial kemasyarakatan dengan beragam ciri dan coraknya. Salah satu tradisi keagamaan yang mengalir dan berkembang itu adalah tradisi penentuan awal bulan (Ramadan, Syawal, Zulhijah).
Tradisi dan dinamika penentuan awal bulan pra-kemerdekaan ini diantaranya dapat ditelaah dalam catatan dan literatur yang ditulis oleh sejumlah ulama, antara lain ditulis oleh Sayyid Usman (w. 1331 H/1913 M) yang menginformasikan adanya perbedaan dan perdebatan hisab dan rukyat di tengah masyarakat kala itu. Sebagian masyarakat berpaham bahwa dalam memulai dan mengakhiri bulan kamariah, terutama Ramadan dan Syawal, harus dengan rukyat. Sebaliknya, sebagian masyarakat ada yang berpaham dan menetapkan dengan hisab. Dua tipikal ini (pengamal rukyat dan pengamal hisab, paham hisab dan paham rukyat) berjalan dan berkembang, keduanya mengalir dinamis di tengah masyarakat. Perdebatan tentu ada dan mengemuka dan merupakan hal yang wajar karena merupakan persoalan fikih yang multi-tafsir, multi-ijtihad dan multi-pemahaman.
Dalam perkembangannya, hadirnya dua organisasi keislaman Muhammadiyah (1912 M) dan Nahdlatul Ulama (1926 M) mewakili dinamikan fikih dan sosial di tengah masyarakat itu. Dalam perspektif politik dan kebangsaan, dua organisasi ini berjasa dan berkontribusi dalam meraih kemerdekaan Indonesia baik dari segi gagasan maupun perjuangan fisik, sederet tokoh pahlawan nasional yang mengisi buku-buku sejarah perjuangan Indonesia menjadi bukti nyata.
Namun dari sisi fikih tidak dipungkiri ada amat banyak perbedaan ijtihad dan pemahaman dari dua ormas ini, mulai masalah qunut Subuh, bilangan tarawih, lafaz ushalli, zakat dengan uang, sampai masalah hisab dan rukyat. Khusus masalah hisab dan rukyat, dua ormas ini (tanpa menafikan ormas lainnya) tampaknya mewakili paham hisab dan rukyat yang berkembang di Nusantara pra kemerdekaan hingga Indonesia modern hari ini. Hisab lekat dengan Muhammadiyah, dan rukyat lekat dengan NU, fenomena ini menjadi khazanah fikih dan sosial Indonesia hingga kini.
Paska Kemerdekaan (1945 M), Pemerintah yang diwakili Depatemen Agama (kini Kementerian Agama) mengambil peran dalam upaya penyatuan kalender Islam di tanah air, khususnya terkait penetapan awal puasa dan hari raya, yaitu dengan merumuskan konsep yang dipandang sebagai jalan tengah yang dikenal dengan hisab imkan rukyat. Metode ini dirumuskan diantaranya dengan tujuan mendekatkan dan mengakomodir kriteria kedua belah pihak. Realitanya, sampai kini rumusan dan upaya Pemerintah ini belum berhasil. Dua ormas ini masih mapan dengan konsep dan metode yang dipedomaninya betapapun masing-masing melakukan adaptasi dan modifikasi internal.
Memperhatikan histori dan realita di atas, adalah teramat pragmatis mensimplikasi persoalan penentuan awal bulan di tanah air dengan semata menjejali trio konsep (kriteria, batas wilayah, otoritas) dengan mengabaikan aspek lainnya, apatah lagi trio konsep itu lemah secara syar’i, sains, dan legitimasi. Secara sosiologis, menerapkan trio konsep itu dengan tanpa memperhatikan aspek-aspek histori dan sosial di atas sama halnya memperlamban jalan penyatuan. Terlepas dari sisi otoritas yang dimiliki Pemerintah yang bertugas menertibkan praktik-praktik ibadah umat Islam, dalam hierarkinya legitimasi Pemerintah dalam penetapan awal bulan sejatinya bersifat panduan dan atau himbauan, bukan sebuah kemestian yang berkonsekuensi hukum dan agama. Harus diakui, legitimasi penentuan awal bulan di Indonesia (oleh Pemerintah) tidak sama dengan legitimasi di negara lain seperti Malaysia, Mesir, dan Arab Saudi.
Karena itu jalan penyatuan terbaik yang patut diupayakan adalah penyatuan persepsi semua pihak, menyatukan hati, yang pada akhirnya akan melahirkan legawa. Ini adalah langkah dan cara penyatuan yang kerap disuarakan berbagai pihak. Patut dicatat, ‘legawa’ (atau legowo) adalah terma yang mudah ditulis dan diucapkan, namun untuk merealisasikannya memerlukan juhud dan keseriusan semua pihak, bukan satu pihak. Namun pertanyaannya adalah, bagaimana dan siapa yang memulainya? Hemat penulis, dalam konteks ini Negara perlu ‘berbicara’ kepada ormas, bukan sebaliknya. Pragmatisme penyelesaian secara ‘ngotot’ dan kerap mendeskriditkan satu pihak secara sindiran maupun vulgar, terlebih memberi stigma negatif kepada pihak lain, secara pasti bukan memperjernih namun justeru memperkeruh upaya penyatuan. Ada baiknya, penyelesaian masalah ini diselesaikan secara sosial-kekeluargaan antar ormas, tanpa campur tangan pihak lain diluar ormas, betapapun pihak luar itu memiliki posisi dan kepakaran. Sebab persoalan ini bukan semata teknis konsep (kriteria, batas wilayah, dan otoritas), namun di dalamnya ada aspek sejarah, aspek politik, aspek fikih, dan aspek sosial, sehingga mustahil diselesaikan oleh seorang pakar, apalagi konsep yang ditawarkan itu-itu saja yang terbukti tidak diterima dan tidak berhasil.
Selanjutnya, lembaga-lembaga sains yang terkait di negeri ini perlu memberikan kontribusi nyata secara kelembagaan, bukan secara pribadi. Kontribusi itu tidak lain dalam bentuk data untuk dikaji dan dipertimbangkan, bukan untuk dipaksakan diikuti. Juga, tidak perlu terlalu bersemangat dan ‘maju’ hingga masuk dalam ranah internal ormas. Ini penting, sebab lembaga-lembaga itu difasilitasi dan dibiayai oleh Negara yang bersumber dari rakyat, maka semestinya dikembalikan kepada rakyat (umat) dalam bentuk kontribusi ril sesuai tugas pokok dan fungsinya, bukan merambah kemana-mana. Wallahu a’lam[]