Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Setidaknya ada tiga kondisi dan pemahaman tentang rukyat sebagai berkembang di tanah air saat ini, yaitu:
Pertama, Rukyat itu bersifat “ta’abbudy” (berdimensi penghambaan dan ibadah). Dalam konteks ini rukyat (melihat hilal secara visual atau dengan menggunakan instrumen tertentu) mesti dan niscaya dilakukan. Memandang dimensi “ta’abbudy” itu, hilal dalam kondisi bagaimanapun (misalnya konjungsi belum terjadi dan atau hilal berada di bawah ufuk sekalipun), rukyat tetap harus dilakukan, jika tidak dilakukan maka berdosa dan ibadah (puasa) tidak sah. Hal ini dipahami dari perintah tekstual hadis-hadis Nabi SAW yang secara zahir memerintahkan rukyat, ditambah praktik para sahabat, tabiin, dan para ulama. Tradisi dan praktik ini terekam dalam literasi para ulama sepanjang sejarah peradaban Islam.
Kedua, Rukyat itu bersifat “ta’aqquly” (berdimensi rasional dan logis), yaitu sebuah perintah yang dapat dirasional dan dilogikakan, sebab yang terpenting adalah substansi bahwa awal bulan kamariah telah masuk dan tiba, ditetapkan dengan cara apa saja (diantaranya dengan hisab). Adapun hadis-hadis rukyat diletakkan dan diposisikan dalam konteks historisnya yaitu kondisi umat ketika itu yang masih ummy. Selain itu, hisab dengan segenap definisi dan konteksnya tertera dalam banyak ayat al-Qur’an, bahkan sejumlah ayat secara spesifik menyebutkan keterkaitannya dengan konjungsi, bilangan tahun, dan perhitungan (lihat misalnya Q. 55: 5, Q. 10: 5, Q. 40: 39-40). Secara interpretatif, ayat-ayat ini dipahami sebagai penegasan imperatif tentang legalitas penggunaan hisab. Selain itu, hisab pada dasarnya merupakan penjabaran dari rukyat itu sendiri, yaitu rukyat (melihat) dengan ilmu (ar-ru’yah bil ‘ilm). Di titik ini perbedaan dan perdebatan menjadi niscaya pula, dan ia terekam dalam literasi para ulama, dan tersaji dalam sepanjang sejarah peradaban Islam.
Ketiga, Dalam konteks Indonesia, tradisi rukyat telah menjadi rutinitas yang difasilitasi oleh Negara (dalam hal ini Kementerian Agama dan BMKG) yang telah terjadwal dan teranggarkan setiap tahun, yang harus dilaksanakan. Rutinitas ini tidak lain sebagai upaya memfasilitasi umat Muslim yang mengamalkan rukyat faktual (ru’yah bil fi’li). Dalam praktiknya, dalam kondisi bagaimanapun, manakala bilangan bulan Ramadan telah mencapai 29 hari, rukyat dan prosesi sidang isbat mesti dilakukan, yang dalam praktiknya mengundang dan memfasilitasi berbagai pihak. Bahkan, rukyat dengan data astronomis tidak ideal sekalipun (misalnya konjungsi belum terjadi atau hilal di bawah ufuk) rukyat tetap harus dilaksanakan, selain karena alasan “ta’abbudy” sebagaimana telah dikemukakan, juga karena alasan sudah terjadwal dan teranggarkan. Dalam kenyataannya praktik semacam ini memunculkan pertanyaan dan sekaligus pernyataan kritis sejumlah pihak yaitu adanya kesia-siaan (tahshil al-hashil), mubazir, ‘menghamburkan’ anggaran, dan lain-lain. Dalam hal ini Negara (Kementerian Agama dan BMKG) sebagai pihak yang menghelat, memfasilitasi, dan menganggarkan, mesti (dan telah) menjawab dengan penjelasannya. Tidak dipungkiri, kondisi ini melahirkan dinamika dan dialektika di tengah masyarakat.
Akhirnya, diskursus tiga kondisi ini terus mengalir dan bergulir, dan ia menjadi khazanah di negeri ini. Kekuatan dan keluasan literatur, serta kearifan melihat dan memposisikan realita sejatinya menjadi modal utama menyikapi persoalan yang sudah terjadi sepanjang sejarah bangsa ini. Wallahu a’lam[]