Penetapan awal bulan hijriyah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari terkhusus bagi ummat Islam. Di Indonesia metode yang menjadi dasar dalam penentuan awal bulan hijriyah yaitu menggunakan metode Hisab dan metode Rukyat. Islam dalam penentuan awal bulan hijriyah sangat penting karena darisitulah diketuhuinya masuknya awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah dan ibadah lainnya. Penentuan awal bulan hijriyah di Indonesia dari zaman dahulu sampai sekarang ini masih terus dalam perbedaan sehingga membuat masyrakat bingung kapan untuk memulai awal bulan tersebut. Faktor yang mempengaruhi Perbedaan dalam penentuan awal bulan tersebut didasarkan pada belum adanya kriteria yang disepakati oleh berbagai ORMAS besar yang ada di Indonesia khususon {Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Pemerintah / Kementerian Agama). Berikut ini beberapa kriteria penentuan awal bulan Yang di anut di Indonesia:
- Muhammadiyah {Hisab Hakiki Wujudul Hilal}
Muhammadiyah adalah salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia yang disimbolisasikan dengan hisab. Menurut Muhammadiyah, hisab memiliki kedudukan yang sama dengan rukyat dalam penentuan awal bulan hijriyah, dengan kata lain, hisab dapat dijadikan sebagai alternatif rukyat dalam memenuhi perintah Nabi saw untuk mengetahui eksistensi hilal terkait dengan penentuan masuknya waktu ibadah. Sistem dan kriteri yang digunakan Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan baru yaitu dengan sistem hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal. Menurut criteria ini bulan baru dimulai apabila pada sore hari ke-29 bulan kamariah berjalan saat matahari terbenam dengan syarat sebagai berikut secara komulatif, 1. Telah terjadi ijtimak, 2. Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, (di Indonesia} dan 3. Pada saat matahari terbenam Bulan {piringan atasnya} masih di atas ufuk . Apabila criteria tersebut terpenuhi maka pada sore hari ijtimak, maka keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru, apabila tidak maka keesokan harinya dinyatakan sebagai hari ke-30 bulan berjalan, dan bulan baru akan dimulai lusa. Definisi hisab hakiki adalah “hisab hakiki ialah hitungan yang sebenarnya, artinya hitungan berdasarkan peredaran matahari atau bulan yang sebenar-benarnya dan setepat-tepatnya. Hisab hakiki ini berlaku untuk menentukan tanggal 1 bulan Ramadhan dan syawal dan hari-hari besar Islam yang ada yang ada hubungannya dengan ibadah, terutama untuk menentukan gerhana matahari atau Bulan ”. Kriteria wujudul hilal adalah “ yang dimaksudkan bahwa hilal telah wujud, yaitu matahari terbenam lebih dahulu daripada terbenamnya bulan {hilal} walaupun hanya sejarak 1 menit atau kurang. Pendapatan dalam menentukan tanggal 1 bulan baru berdasarkan hisab dengan tiada batasan tertentu, pokonya asal hilal sudah wujud, dalam kalangan ahli hisab disebut: pendapatan berdasarkan hisab wujudul hilal.”
Hilal menurut Muhammadiyah ialah yaitu hilal yang sudah wujud di atas ufuk, yang biasa disebut dengan “Wujudul Hilal”. Kedudukan hilal di atas ufuk hakiki yang menjadi acuan Muhammadiyah ketika kedudukan hilal di atas ufuk setelah terjadinya ijtimak dan setelah terjadinya waktu ghurub, berapapun ketinggian hilal tersebut, maka awal bulan baru telah tiba . Muhammadiyah memahami hilal bukan sebagai sebuah tradisi, namun pada substansi hilal yaitu sebagai pentunjuk waktu bagi manusia, sehingga wasilah (sarana) dalam mengetahui hilal dapat dilakukan dengan cara hisab. Fakta astronomis, matematis dan sisi kemanusian memastikan bahwa metode hisab lebih mampu meminimalisir kesalahan, lebih akurat, dan dapat diaplikasikan dengan mudah serta lebih bermanfaat untuk jangka panjang.
- Nahdalatul Ulama {Rukyat Faktual}
Nahdalatul Ulama {NU} adalah salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia yang disimbolisasikan dengan rukyat faktualnya. Di Indonesia, Muhammadiyah dan NU merupakan ormas terbesar dan dalam menentukan awal bulan selalu ada perbedaan. Perbedaan dalam menentukan awal bulan inilah yang selalu diperdebatkan dan selalu hangat setiap menjelang dan sesudah penentuan awal bulan hijriyah. NU dalam menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah menggunakan rukyat. NU memiliki tiga asas dalam menentukan awal bulan tersebut; 1. Asas ta’abbudi {kepatuhan), 2. Asas ta’aqquli {penalaran}, 3. Asas thabi’I {akhlak}.
Sikap NU dalam menentukan awal bulan kamariah harus berdasarkan pada rukyat {melihat hilal dengan mata kepala} dan istikmal. Hilal menurut NU ialah bulan sabit yang cahayanya lembut laksana benang yang tampak dan terlihat dari Bumi dengan mata di awal bulan, sessat setelah terbenamnya Matahari di hari telah terjadinya ijtimak atau konjungsi, sebagai tanda datangnya awal bulan baru. Untuk mengetahui adanya hilal, diperlukan upaya-upaya seperti; observasi, pengamatan, atau rukyat dilapangan. Prinsip NU dalam melakukan rukyat hilal harus menggunakan mata telanjang sedangkan untuk menggunakan alat bantu masih memerlukan beberapa persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam buku pedoman rukyat& hisab Nahdalatul Ulama bab 2.5 tentang rukyat dengan alat sebagai berikut;
- Alat tersebut memperjelas obyek yang dilihat, bukan pantulan
- Sepanjang ahli hisab tidak sepakat bahwa posisi hilal masih berada di bawah ufuk.
Hisab dalam pendangan NU tidak dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan awal bulan hijriah karena hadis-hadis Nabi Muhammad saw terkait penentuan awal bulan hijriyah bersadarkan dhurul hilal bukan berdasarkan wujudul hilal, dengan pengertian lain hilal dalam penentuan awal bulan hijriyah itu berdasarkan terlihat atau tidak terlihatnya hilal. Nahdalatul Ulma dalam menentukan awal bulan hijriyah khususnya Ramadan-Syawal dan Dzulhijah berpegang tegus kepada prinsip rukyat al-hilal bi al-fi’li dan istikmal, yang mana NU mengijinkan hisab untuk mengontrol hasil rukyat dalam penentuan awal bulan tersebut . Hal ini bersadarkan kepada pengetahuan atau penafsiran bahwa nash-nash tentang rukyat tersebut bersifat tunduk dan patuh (ta’abbudy). Karena NU memegang prinsip rukyat itu sebagai tunduk dan patuh maka sebagai konsekuensinya, NU harus selalu mengadakan pengamatan hilal (rukyatul hilal) di lapangan betapapun menurut hisab hilal masih di bawah ufuk. Hal tersebut dilaksanakan supaya dalam membuat keputusan hilal terlihat atau istikmal selalu bersadarkan kepada sistem rukyat di lapangan, bukan atas perhitungan (hisab).
- Hisab Imkan Rukyat 2-3-8 Kementerian Agama
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, merupakan yang memiliki otoritas kenegaraan, memiliki kriteria dalam penentuan awal bulan hijriyah dengan menggunakan hisab rukyat. Kriteria imkan rukyat, yang menjadi dasar pemerintah ini merupakan sebuah upaya didalam memadukan hisab dan rukyat. Dengan demikian kriteria pemerintah ini menjadi sebuah kelompok khusus diluar para mazhab hisab dan rukyat. Sebagaimana kita ketahui kriteria pemerintah ini merupakan hasil dari perpaduan antara hisab dan rukyat, dan kritriteria ini bertujuan sebagai penengah bagi mazhab hisab dan rukyat atau yang sering kita dengar Muhammadiyah dan NU. Imkan rukyat yaitu ialah {batas} kemungkinan hilal dapat dirukyat, imkan rukyat juga sering disebut dengan visibilitas hilal. Imkan rukyat bagi pemerintah hanya dijadikan sebagai parameter kebenaran hasil rukyat, apabila rukyat berada di atas batas imkan rukyat maka kemungkinan hasil rukyat akan di terima dan pengumuman finalnya akan diumumkan melalui sidang isbat. Kriteria pemerintah yang dipakai saat ini yaitu 2-3-8 artinya tinggi hilal 2 derajat, jarak bulan-matahari 3 derajat dan umur bulan lebih dari 8 jam. Kriteria tersebut disebut dengan kriteria MABIMS {Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura} meskipun didalam pelaksanaannya dalam penentapan awal bulan hijriyah saling berbeda. Berbagai kelompok memberikan penilaian terhadap kriteria ini dikarenakan kurang ilmiah dan ada keberpihakan atau lebih tepatnya mengabaikan ilmu pengetahuan.
NB : MR