Mengenal Metode Penentuan Awal Bulan di Mesir
Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
Penentuan awal Ramadan dan Syawal di Mesir dilakukan melalui kombinasi antara hisab dan rukyat. Hisab dan rukyat berjalan secara seiring dan dalam proporsi yang seimbang dengan prinsip “ar-Ru’yah ash-Shahîhah muwâfiq li’l Hisâb ad-Daqîq” (rukyat yang tepat bersesuaian dengan hisab yang akurat). Artinya, penentuan awal bulan dilakukan melalui pengamatan lapangan yang didahuli dengan prediksi hisab untuk memastikan konjungsi telah terjadi dan hilal sudah berada diatas ufuk serta hal-hal teknis astronomis lainnya. Sikap pemerintah Mesir ini dapat disimak dalam buku kecil berjudul “Kitâb ash-Shiyâm” yang diterbitkan oleh Dâr al-Iftâ’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir). Di buku ini dijelaskan bahwa asas penetapan awal bulan adalah menggunakan rukyat atau ikmâl syahr (penggenapan bilangan bulan) dengan tetap memperhatikan pertimbangan hisab astronomis (hal 12).
Sesuai keputusan yang dikeluarkan Dewan Fatwa (Dâru’l Iftâ’)nya, pengamatan hilal di Mesir dilakukan melalui pembentukan tim (lajnah) yang terdiri dari berbagai unsur, antara lain: peneliti astronomi dari Observatorium Astronomi Helwan, pakar hukum Islam dari Dârul Iftâ’, Imam-imam masjid setempat, LSM resmi, dan beberapa pakar astronomi dari Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo. Sementara itu, lokasi formal pengamatan hilal berada pada 7 lokasi, yaitu (1) Helwan, (2) Qatamea, (3) Sitta October, (4) Sallum, (5) Qina, (6) Aswan, dan (7) Wahat. Praktik formalnya, penetapan berada di tangan Darul Ifta’, namun operasional dilapangan dilakukan oleh tim khusus di lapangan. Berikutnya tim inilah yang menentukan sekaligus bertanggung jawab memberi laporan kepada pihak Darul Ifta’ apakah hilal terlihat atau tidak terlihat (istikmal). Berikutnya laporan lapangan ini dikemas dalam satu keputusan resmi yang dikeluarkan Dârul Iftâ’ dan diumumkan oleh mufti kepada seluruh masyarakat. Dalam kenyataannya masyarakat menerima dan mengikuti patuh keputusan ini dan perbedaan praktis tidak pernah terjadi.
Konsep penentuan awal bulan di Mesir ini setidaknya mengacu pada berbagai keputusan seminar baik internal maupun internasional, antara lain: (1) Muktamar III Akademi Penelitian Islam Al-Azhar tahun 1966, (2) Muktamar penyatuan awal bulan kamariah di Kuwait tahun 1973, (3) Muktamar penyatuan awal bulan kamariah di Istanbul-Turki tahun 1978, (4) Simposium hilal dan waktu shalat di Kuwait tahun 1989. Kesimpulan dari berbagai seminar ini menetapkan bahwa penetapan awal bulan kamariah pada asalnya adalah dengan pengamatan, dan jika hilal tidak mungkin terlihat barulah digunakan hisab, rukyat (pengamatan) menempati posisi utama. Dârul Iftâ’ menegaskan: asal penetapan adalah dengan rukyat sesuai petunjuk hadis, dan hisab dapat dijadikan rujukan selama rukyat tidak bisa (sulit) dilakukan (Sulaiman, 1999: 490-491).
Perkembangan terkini tentang penentuan awal bulan di Mesir adalah seminar bersama Kerajaan Arab Saudi dan Republik Arab Mesir yang membahas tema Kalender, Penentuan Matlak Bulan Hijriyah dan Waktu Salat Isya dan Subuh, yang berlangsung pada tanggal 30 Oktober 2007. Dalam seminar ini disepakati titik temu dan menjadi rekomendasi seminar, yaitu: Kalender Hijriyah disusun berdasarkan waktu yang berlaku di Mekah (Makah Times) dan sesuai dengan persyaratan berikut ini: (a) Menggunakan koordinat Mekah sebagai dasar penanggalan, (b) Bulan terbenam setelah matahari terbenam di kota mulia Makkah, (c) Telah terjadi konjungsi (iqtirân, ijtimak) sebelum terbenamnya matahari di kota mulia Makkah. Apabila persyaratan di atas telah terpenuhi, maka keesokan harinya bisa dihitung sebagai hari pertama bulan baru dalam kalender hijriah atau kalender bulan. Dalam seminar ini juga disepakati perlunya diadakan kerjasama yang berkesinambungan antara Arab Saudi dan Mesir dalam studi dan riset falak, terutama dalam proyek observasi hilal.
Secara konseptual, metode penentuan awal bulan Ramadan & Syawal dan bulan-bulan lainnya di Mesir dilakukan dengan menggunakan rukyat dengan tetap mengakomodir hisab. Kecendrungan menggabungkan hisab dan rukyat ini adalah didasari pada kenyataan bahwa rukyat merupakan sesuatu yang sudah digariskan syariat, sementara hisab astronomi (yang merupakan bagian dari sains) merupakan sesuatu yang tak terhindari dalam kehidupan sosial dan ibadah umat Islam. Sehingga mau tidak mau keduanya harus diakomodir. Karena itulah, betapapun secara astronomis hilal tidak mungkin terlihat, rukyat tetap perlu dilakukan (meski terkesan formalitas) untuk memastikan hilal tidak terlihat. Alasan lainnya dalam rangka memuliakan dan menghidupkan sunah Nabi Saw.
Sikap mengakomodir hisab dan rukyat secara sekaligus ini selain didasari pada realita sains juga didasari pada kenyataan bahwa cukup banyak fukaha klasik yang mentolerir penggunaan hisab meski sebatas verifikasi (yanfi atau li nafyi). Salah satu ulama yang mentolerir secara tegas penggunaan hisab ini adalah al-Imam Taqiyuddin as-Subki (w. 756 H) dalam karyanya “Fatawa as-Subki”. Syaikh Prof. Dr. Ali Jum’ah (mufti Mesir sekarang) dalam karyanya yang berjudul “al-Bayan Lima Yasyghal al-Adzhan” secara tegas menerima penggunaan hisab astronomi penentuan awal bulan. Dalam hal ini Syaikh Ali Jum’ah banyak menukil pendapat as-Subki dalam Fatawa-nya ini.
Secara sosial kenegaraan, sikap pemerintah dan masyarakat Mesir yang selalu sama dalam penentuan awal bulan ini patut di apresiasi. Betapapun bila disimak secara cermat, praktif formal-lapangan yang dilakukan Mesir ini masih memiliki sisi problematis dan perlu dikaji ulang. Wallahu a’lam[]
Penulis: Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU (Telah Terbit di Harian Medan Pos, 2016).