Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Tulisan ini kembali dan masih menjawab dan menanggapi seorang pakar, tepatnya seorang profesor riset Astronomi-Astrofisika BRIN dan sekaligus anggota THR Kemenag RI yang tak henti mengkritisi non-substansi Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang diusung Muhammadiyah. Kritik non-substansi dimaksud adalah kritik diluar aspek ilmiah, artinya jika kritik yang dikemukakan berkisar pada substansi yaitu terkait konsep, ide, dan argumen KHGT tanpa tendensi, tanpa stigma, dan tanpa melabeli sesuatu yang negatif, maka pada dasarnya tidak ada masalah. Namun karena kritik itu kerap diluar substansi maka menjadi masalah dan menjadi alasan saya menulis catatan dan tanggapan ini.
Tulisan ini selain merupakan catatan dan tanggapan atas kritik non-substantif sang pakar, juga sekaligus tembusan kepada lembaga BRIN dan Kemenag RI yaitu dua lembaga tempat sang pakar bertugas atau mendapat tugas. Dua lembaga negara ini saya sorot karena dalam segenap kritik non-substantif yang dilakukan sang pakarnya ini kerap membawa dan mengatasnamakan dua lembaga tersebut. Saya pribadi memposisikan kritik sang pakar ini atas nama pribadi dan inisiatif pribadi, bukan atas arahan dua lembaga itu. Namun karena dua lembaga ini melekat atas yang bersangkutan, demikian lagi tulisan-tulisan sang pakar yang kerap mencantumkan status BRIN dan THR Kemenag, maka dua lembaga tersebut diminta sikap dan kebertanggungjawabannya.
Adapun beberapa catatan dan kritik non-substansi yang dimunculkan sang pakar antara lain sebagai berikut: Pertama,sang pakar mencampuri penundaan KHGT yang batal diterapkan Muhammadiyah tahun ini (1446 H) khususnya pada Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1446 H dengan narasi yang sedikit sinis seperti ditunjukkan dalam tulisan di blog pribadi beliau dengan judul “Ketika Kajian Mendalam Dimentahkan: KHGT Diabaikan, Kembali ke Wujudul Hilal”. Judul tulisan ini seolah menegaskan Muhammadiyah main-main dan seolah KHGT batal alias tidak jadi digunakan sama sekali, padahal penundaan ini bersifat teknis dan direncanakan akan diterapkan pada bulan Muharam 1447 H (setalah tanfidz dan launching sesuai mekanisme organisasi). Sekali lagi pernyataan beliau ini terkesan teramat mencampuri internal Muhammadiyah. Secara teknis penundaan KHGT adalah urusan internal Muhammadiyah, yang tidak dipungkiri ada dinamika internal yang terjadi akibat penundaan sementara tersebut. Namun dalam konteks ini apa kepentingan sang pakar mencampuri dan masuk dalam ranah teknis internal Muhammadiyah? Apakah sejauh ini tugas seorang periset BRIN dan anggota THR Kemenag RI?
Kedua, sang pakar berkesimpulan diluar kapasitasnya sebagai periset BRIN dan anggota THR Kemenag RI yaitu menyematkan dosa kepada pimpinan Muhammadiyah karena masih menggunakan Wujudul Hilal dan urung (sementara) menerapkan KHGT yang berkonsekuensi perubahan awal Syawal yang seyogianya jatuh 30 Maret 2025 (berdasarkan KHGT) bergeser menjadi 31 Maret 2025 (berdasarkan Wujudul Hilal). Betapa sekelas profesor riset astronomi-astrofisika yang mewakili institusi prestisius bernama BRIN (dan anggota THR Kemenag RI) sampai mengurusi dosa dan secara tanpa beban menyematkannya kepada pimpinan sebuah organisasi keislaman bernama Muhammadiyah. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, alangkah baiknya beliau belajar atau setidaknya bertanya kepada yang berkompeten apa itu ijtihad dan segenap yang terkait dengannya, lalu apa konsekuensi dari sebuah ijtihad? Lalu apa esensi berbeda dan perbedaan pendapat dalam fikih dan dalam konteks negara demokrasi? Saat yang sama seharusnya beliau memahami mekanisme dan hierarki keputusan dalam sebuah organisasi, berikutnya memahami terma fikih yang dikenal dengan tsawabit (aspek definitif) dan mutaghayyirat (aspek fleksibel), serta hal-hal terkait lainnya. Jika sejumlah hal ini dipahami dengan baik dan dengan kejernihan hati niscaya penyematan dosa itu tidak akan muncul. Dalam khazanah para ulama (fukaha) setajam dan sedalam apapun perbedaan tak pernah ada dan tak pernah terjadi penyematan dosa, yang ada saling menghargai pilihan dan ijtihad masing-masing.
Ketiga, dalam berbagai kesempatan sang pakar kerap menyematkan KHGT sebagai ijtihad yang “tidak mencontoh rasul”. Secara normatif pernyataan ini pada dasarnya tidak ada masalah karena hak setiap orang untuk berpendapat dan mengklaim dirinya paling mencontoh Rasul Saw, namun karena penyematan itu datang dari seseorang yang mewakili dua lembaga yang ‘tupoksi’nya bukan mengurusi soal dosa atau seseorang mencontoh Rasul Saw atau tidak, maka hal ini menjadi amat paradoks. Pertanyaan retoriknya adalah lembaga BRIN dan Kemenag RI ini sebenarnya lembaga apa? Apakah sampai pada tupoksi dan regulasi mengurusi soal sebuah organisasi mencontoh Rasul atau tidak? Saya sengaja menyoroti ini karena sang pakar sudah lari sangat jauh dari apa yang sebenarnya menjadi tugas dan kompetensinya. Saya sangat berharap beliau punya kerendahan hati untuk menyadari hal ini, namun jika beliau tetap bertahan dan merasa pendapatnya benar, tentu itu hak beliau, sebagaimana hak saya untuk terus menjawab, mengcounter, dan menjelaskan. Seiring waktu umat dan generasi yang akan datang akan melihat dan menilai diskursus ini.
Keempat, sang pakar kerap menyatakan bahwa dengan KHGT potensi “perbedaan dengan Pemerintah dan ormas-ormas Islam akan makin sering terjadi”. Pernyataan ini memuat kesan membangun isu dan narasi negatif atas KHGT dan Muhammadiyah secara umum. Di negeri ini perbedaan penentuan awal bulan sudah rutin terjadi sejak lama, bahkan sejak pra-kemerdekaan. Bahkan ada banyak kelompok dan atau komunitas di negeri ini yang juga kerap berbeda dengan Pemerintah dan ormas-ormas, namun tampak mengalir secara alami, tidak ada sorotan tajam, lantas mengapa dengan Muhammadiyah teramat tajam bahkan sensitif? Apakah ini bagian dari misi BRIN dan Kemenag RI? Sepenuhnya saya memastikan tidak demikian, namun dengan apa yang kerap dilakukan sang pakar yang mewakili dua lembaga ini tentu menjadi bias. Seharusnya sikap seorang pakar lebih mengedepankan analisis ilmiah ketimbang menonjolkan sisi dan celah negatif semata. Terlebih KHGT merupakan pilihan dan pemikiran yang tidak hadir dalam waktu sekejap namun dengan pengkajian dan pertimbangan mendalam, terlebih ini merupakan ijtihad yang seharusnya dihormati.
Kelima, bahkan awal Syawal (idul fitri) 1446 H yang telah ditetapkan Muhammadiyah jatuh 31 Maret 2025 M menurut kriteria Wujudul Hilal, yang artinya akan sama dengan penetapan Pemerintah dan ormas-ormas lainnya, masih saja disorot dengan menyatakan “Dan paling nyata akan dihadapi Idul Fitri 1446 mendatang kalau menggunakan KHGT”. Jelas, ini bentuk sikap yang tendensius, sama sekali tidak ada rasa hormat atau apresiasi atas pilihan bijak Muhammadiyah, seharusnya dengan lebaran bersama (terlepas kebersamaan itu sementara, kebetulan, atau karena lainnya) mesti disyukuri, bukan semata memunculkan sisi negatif. Saya berpikir keras, apa aspek ilmiah-astronomis dari pernyataan beliau ini (sesuai kepakaran utama beliau), sama sekali saya tidak menemukannya kecuali bentuk tendensi kepada Muhammadiyah. Saya berharap beliau dapat ‘berdamai’ (hatinya) dengan Muhammadiyah, terlepas kekesalan dan situasi perasaan beliau yang sedemikian dengan organisasi ini.
Keenam, beliau teramat ingin tau (untuk tidak mengatakan ‘sok tau’) dengan internal Muhammadiyah dengan menyatakan bahwa KHGT yang telah dikaji secara mendalam secara tiba-tiba dipatahkan (“…tiba-tiba dipatahkan dengan Maklumat PP Muhammadiyah”). Terma ‘dipatahkan’ adalah teramat sinis,bagaimana mungkin sebuah organisasi Muhammadiyah membuat keputusan tiba-tiba. Memang tidak dipungkiri ada dinamika internal atas keputusan Muhammadiyah menunda penerapan KHGT, namun patut dicatat penundaan itu bukan tiba-tiba. Justru, karena pertimbangan panjang akhirnya KHGT belum dapat digunakan dan masih menggunakan WH. Lalupernyataan (“…maklumat merujuk Wujudul Hilal, bukan KHGT lagi”), kata “lagi” memberi kesan seolah KHGT sama sekali tidak digunakan lagi. Padahal sekali lagi belum digunakannya KHGT hanya persoalan teknis, bukan susbstansi. Karena itu saya berharap beliau dapat sedikit berprasangka baik (dalam bahasa syariat disebut husn az-zhan).
Demikian beberapa catatan dan tanggapan saya atas kritik non-substansi dan sikap beliau yang mewakili dua lembaga (BRIN dan THR Kemenag RI). Saya berharap beliau arif dan bijak melihat fenomena dan fakta persoalan yang ada, demikian lagi saya berharap beliau dapat memposisikan sebagai siapa dan mewakili siapa, serta untuk tujuan apa. Wallahu a’lam[]
Tanpa mengurangi penghargaan sy thd kepakaran Thomas Jamaludin, beliau memang memiliki sikap yang tidak patut sebagai seorang ilmuwan. Perbedaan teori dan metode dalam ilmu pengetahuan itu hal biasa, dan berujung pada hasil yg beda atau sama justru merupakan dinamika yg mendorong satu disiplin ilmu itu berkembang.
Thomas lebih terkesan cari sensasi setiap awal ramadhan, syawal dan zulhuijah, kalau tidak mau dikatakan memancing gaduh. Seperti tidak ada aplikasi ilmu kepakaran nya sebagai peneliti selain pada 3 momen tersebut. Mungkin beliau harus dinon-aktif kan dari hisab rukyat Kemenag agar inovatif dalam aplikasi ilmu nya.