Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Dalam praktiknya ada sejumlah tipe (bentuk) kalender Islam yang berkembang di dunia hari ini, mulai dari kalender lokal, kalender regional, kalender zonal (dua, tiga, atau empat zona), dan kalender global-tunggal. Dalam perkembangannya terdapat pandangan populer yang berkembang yang menyatakan bahwa sebuah kalender apapun (artinya termasuk kalender global-tunggal) mengharuskan terpenuhinya tiga prasyarat yaitu adanya kriteria, adanya otoritas, dan adanya wilayah keberlakuan. Dalam konteks kalender Islam global-tunggal, pandangan ini tidak sepenuhnya benar, alasan dan penjelasannya sebagai berikut:
Pertama, Kriteria. Kriteria atau parameter dalam kalender Islam dengan tipe (bentuk) apa saja merupakan kemestian, bahkan dalam kalender lokal sekalipun, sebab kriteria menjadi standar dan penentu masuknya awal bulan yang berikutnya diberlakukan ke seluruh dunia (global-tunggal) atau ke sejumlah zona (multi-zona). Tanpa kriteria kalender apa saja memang tidak akan terwujud. Berikutnya konsistensi penggunaan dan penerapan kriteria itu menjadi ukuran apakah sebuah kalender itu baik atau tidak.
Adapun ambang batas kriteria dalam kalender Islam global dalam perkembangannya bersifat fleksibel sesuai hasil kajian dan kesepakatan para pengusungnya. Dalam putusan Turki 1398 H/1978 M dan 1437 H/2016 M misalnya disepakati kriterianya adalah 5-8 (ketinggian hilal 5 derajat dan sudut elongasi bulan-matahari 8 derajat), sementara dalam Rekomendasi Jakarta 1438 H/2017 M disepakati 3-6.4 (ketinggian hilal 3 derajat dan sudut elongasi bulan-matahari 6.4 derajat). Secara saintifik masing-masing kriteria ini memiliki kelebihan dan kekurangan, demikian lagi dalam implementasinya.
Patut dicatat, kriteria dalam kalender Islam yang bersifat global mesti berbasis hisab, bukan rukyat. Sebab sebuah kalender, terlebih digunakan untuk seluruh dunia, mesti dikonstruk paling tidak dalam jangka waktu setahun, karena itu mesti berbasis hisab guna memberi kepastian. Kalender global yang masih mendasarkan dan mensyaratkan penyusunannya berdasarkan rukyat faktual maka dipastikan tidak akan menghasilkan sebuah kalender yang definitif oleh karena rukyat dilakukan setiap bulan, setiap tanggal 29 bulan kamariah, sementara kalender sebagai sistem penjadwalan waktu dunia baik untuk ibadah maupun muamalah mesti telah disusun sejak jauh hari. Artinya dalam konteks ini lebih menekankan pada kedefinitifan dan kepastiannya, bukan pada soal menggunakan rukyat atau hisab.
Karena itu bagaimanapun dan betapapun sebuah kalender Islam global yang menempatkan rukyat sebagai sebuah keharusan dan keniscayaaan maka keberadaannya mesti diposisikan sekunder, bukan primer. Dinamika dan dialektika ulama (fukaha) tentang hisab-rukyat dalam khazanah fikih sangat intens, masing-masing dengan argumentasinya. Maka terlepas dari dinamika-dialektika itu, kebutuhan dunia dan umat Islam hari ini adalah adanya sebuah kalender pemersatu yang definitif, berlaku secara global sebagai kebutuhan dan identitas peradaban Islam.
Kedua, Otoritas. Otoritas dalam kalender Islam yang bersifat global bukanlah suatu keharusan, tidak ada ketentuan syariat sama sekali (dalam pengertian mesti dan ‘harga mati’) yang mengharuskan adanya otoritas dalam perumusan sebuah kalender. Betapapun tidak dipungkiri jika otoritas itu ada dan dipatuhi maka akan sangat baik. Namun sekali lagi ia bukan menjadi kemestian yang tanpanya kalender Islam yang bersifat global batal diwujudkan, bahkan sekedar diusulkan. Dalam konteks kalender Islam global, substansinya adalah ada dan terwujudnya kalender itu sendiri, bukan pada soal apa dan siapa otoritasnya.
Adapun alasan mengapa otoritas tidak perlu atau bukan suatu keharusan adalah karena ada sejumlah problem yang muncul manakala ia diharuskan, diantaranya siapa otoritas itu dalam konteks dunia internasional hari ini? Bagaimana regulasi dan mekanisme penerapan kalender oleh otoritas tersebut? Bagaimana jika otoritas itu hilang atau kehilangan legitimasinya? Bagaimana dan apa pula status kalender globalnya jika otoritas itu hilang? Serta sejumlah pertanyaan-pertanyaan lainnya. Karena itu dalam hal ini akan lebih kontekstual membangun dan merumuskan kalender global dengan konsep dan kriterianya yang kuat, kokoh, dan argumentatif, lalu mengkomunikasikan dan mendiseminasikannya ke dunia internasional, ketimbang berkutat membicarakan dan mempertahankan perlu tidaknya dan siapa otoritas itu. Adapun pandangan dan sikap penulis tentang otoritas dapat disimak di beberapa tulisan berikut: https://oif.umsu.ac.id/otoritas-kalender/, https://oif.umsu.ac.id/ulil-amri-dan-indoktrinasi-otoritas/, https://oif.umsu.ac.id/kalender-global-mabims-dan-khgt-respons-atas-periset-brin-thr-kemenag-ri-soal-otoritas-lagi/.
Ketiga, Wilayah Keberlakuan. Dalam konteks kalender Islam yang global-tunggal, penekanan dan penegasan wilayah keberlakuan sejatinya tidak diperlukan oleh karena secara otomatis wilayah keberlakuan dalam kalender Islam global-tunggal adalah menyeluruh alias seluruh dunia tanpa terkecuali. Memestikan dan atau menjadikan prasayarat wilayah keberlakuan dalam konteks kalender Islam yang bersifat global-tunggal sejatinya adalah sesuatu yang tidak urgen alias dalam terminologi kebahasaan (Arab) disebut dengan “tahshil al-hashil” yaitu mengulang sesuatu dengan narasi berbeda namun substansinya pada dasarnya sama (tikrar asy-syai’ al-wahid bi lafzh mukhtalif). Membatasi dan menyekat wilayah tertentu maka secara otomatis menjadikan konsep dan konteks kalender yang diusulkan tidak global-tunggal, namun zonal. Karena itu narasi dan prasayarat wilayah keberlakuan dalam kalender Islam yang bersifat global-tunggal sesungguhnya tidaklah ada dan tidak diperlukan.
Namun berbeda halnya jika dalam konteks kalender zonal (baik dwi-zonal, tri-zonal, atau multi-zonal) maka secara otomatis wilayah dan batas keberlakuan diperlukan dan diharuskan. Artinya, tanpa adanya statemen atau narasi “prasyarat” sekalipun dalam konteks kalender zonal memang meniscayakan adanya wilayah dan atau batas keberlakuan. Kalender yang diberlakukan dalam skop empat negara MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) misalnya, maka batas wilayahnya secara otomatis adalah teritorial empat negara itu. Kalender Mohammad Ilyas misalnya, yang membagi dunai menjadi sejumlah zona maka secara otomatis membagi dan membatasi wilayah keberlakuannya pada sejumlah zona pula. Demikian lagi usulan kalender Qasum-‘Audah (Nidlal Qassum dan Muhammad Syaukat ‘Audah) yang juga membagi dunia dalam beberapa zona secara otomatis memberlakukan wilayah dan batas keberlakuannya, demikian lagi usulan-usulan kalender zonal lainnya. Karena itu pandangan bahwa wilayah keberlakuan itu merupakan keharusan atau prasyarat sejatinya hanya berlaku untuk kalender yang bersifat zonal, bukan untuk kalender yang bersifat global-tunggal.
Demikian penjelasan dan analisis tentang tiga prasyarat (adanya kriteria, adanya otoritas, dan adanya wilayah keberlakuan) dalam dan pada kalender Islam yang bersifat global. Kesimpulannya adalah bahwa dalam kalender Islam yang bersifat global-tunggal, dari tiga prasyarat itu, yang berlaku dan relevan hanya kriteria, adapun otoritas dan wilayah keberlakuan bukan menjadi prasyarat dalam kalender Islam global-tunggal. Adapun kalender regional dan zonal memang mensyaratkan adanya kriteria dan wilayah keberlakuan. Namun patut dicatat adanya wilayah keberlakuan ini sejatinya merupakan keniscayaan. Artinya tanpa di prasyaratkan sekalipun wilayah keberlakuan itu memang ada, bahkan niscaya, sebagai konsekuensi pembatasan teritorial atau cakupan wilayah keberlakuannya. Karena itu dalam konteks diskursus kalender Islam, baik lokal, regional, zonal, maupun global-tunggal, yang urgen adalah kompatibilitas dan kesahihan secara sains dan syariat konsep kalender itu sendiri agar dapat diterima. Wallahu a’lam[]



