Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Hisab (Arab: al-hisab) berakar dari kata hasiba-yahsubu-hisāban-hisābatan, secara etimologi bermakna menghitung (‘adda), kalkulasi (ahshā), dan mengukur (qaddara). Seperti halnya rukyat, kata hisab dan yang seakar dengannya juga banyak tertera di dalam al-Qur’an dengan makna yang beragam. Menurut Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam “al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm”, kata ‘hisab’ tertera di dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali, kata ini masing-masing merujuk pada makna perhitungan (hisab), hari kemudian, batas, dan tanggung jawab. Hisab dimaksud disini adalah metode perhitungan astronomis untuk menentukan tanggal satu (awal bulan kamariah) dan kalender.
Praktik dan luaran hisab umumnya adalah berbentuk tabulasi (zij), interpolasi, dan formula, yang berikutnya direkonstruksi untuk menetapkan masuknya awal bulan dan menyusun kalender. Dalam perkembangannya hisab senantiasa disandingkan dengan rukyat dimana secara posisi keilmuan keduanya sama dan sejajar, karena itu pula keduanya tidak bisa diperlawankan karena cara kerja keduanya berbeda.
Dalam perkembangannya, sejumlah ulama sepakat dan menyatakan bahwa hisab dapat digunakan untuk menentukan masuknya awal bulan, terlebih lagi untuk menyusun kalender. Kalender sendiri memang hanya dapat disusun dengan menggunakan hisab, bukan rukyat. Argumen umum yang dikemukakan terkait urgensi dan legalitas hisab adalah bahwa hisab itu bersifat pasti (qath’iy) sementara rukyat meragukan (zhanny). Keqath’iyan hisab diantaranya adalah karena ia dapat memperkirakan jauh kedepan, berbeda dengan rukyat yang bersifat temporal alias hanya dapat ditentukan pasca konjungsi dan terbenam matahari. Ini diantaranya pendapat Imam Taqiyyuddin as-Subky dalam karyanya “Fatawa as-Subky”.
Adapun argumen dan logika hisab dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, gerak faktual dan eksak bulan-matahari. Allah menciptakan benda-benda langit sangat teratur dan eksak (QS. Yunus [10]: 5 dan QS. Al-Isra’ [17]: 12). Melalui observasi dan penelaahan ilmiah manusia mampu mengamati fenomena bulan dan matahari, dan akhirnya sampai pada kesimpulan ‘pasti’. Ilmu yang berperan adalah astronomi yang dalam perjalanannya terus berkembang.
Kedua, ungkapan Nabi Saw “faqdurū lahu” dimaknai “fahsibū lahu”. Penafsiran seperti ini diantaranya dikemukakan oleh Mutharrif (w. 78/697), Ibn Suraij (w. 306/918), Ibn Qutaibah (w. 276/889), dan lainnya. Hadis riwayat Ibn Umar ini senafas dengan pertanyaan para sahabat tentang berapa lama Dajjal hidup dipermukaan bumi. Nabi Saw menjawab 40 hari, dimana satu hari seperti satu tahun, hari selanjutnya seperti satu bulan, hari selanjutnya lagi seperti satu pekan, dan hari-hari lainnya seperti hari biasa. Lantas para sahabat menanyakan apabila satu hari seperti satu tahun, bolehkah mengerjakan salat hanya satu hari saja? Nabi Saw menjawab, tidak! Tapi lakukanlah pengkadaran (uqdurū lahu qadrahu). “Uqdurū lahu” (takdirkanlah) dalam hadis ini dapat difahami sebagai penggunaan hisab. Penafsiran ini didukung lagi dengan semangat ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang perhitungan waktu dan kalender, antara lain QS. Yunus [10]: 5, QS. Yasin [40]: 39-40, dan QS. Ar-Rahman [55]: 5.
Ketiga, ru’yah (melihat) dimaknai melihat dengan ilmu (ru’yah bi al-‘ilm). Betapapun kata “ra’a” atau “ru’yah” dalam hadis-hadis Nabi Saw bermakna melihat dengan mata (ru’yah bi al-‘ain). Namun pengertian “ru’yah” itu sendiri secara bahasa dapat pula bermakna melihat secara ilmiah (ilmu). Dalam “Mu’jam Maqāyīs al-Lughah” disebutkan, “ru’yah” adalah melihat dengan mata atau dengan pengetahuan, diantaranya dapat dilihat dalam QS. Al-Hajj [22]: 18.
Keempat, kemampuan umat mengenai “hisab” di zaman Nabi Saw masih terbatas. Hadis “ummy” yang diriwayatkan oleh Ibn Umar memberi pengertian bahwa bilangan bulan itu adakalanya 29 hari, adakalanya pula 30 hari. Informasi Nabi Saw bahwa ‘kita’ tidak menghitung dan menulis difahami sekedar memberi gambaran umum kondisi bangsa Arab atau umat ketika itu. Bangsa Arab ketika itu tidak mengetahui secara ilmiah dan eksak peredaran faktual bulan dan matahari dan benda-benda langit lainnya. Namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, yang diantaranya dengan adanya jurusan Matematika dan Astronomi di berbagai universitas baik dalam maupun luar negeri memberi konsekuensi berlakunya hisab. Dan sejauh ini hisab astronomi sudah terbilang ‘mudah’.
Kelima, sifat ‘ummy’ saat ini telah tiada, dalam arti umat Islam telah mahir dalam baca tulis dan perhitungan. Rukyat bukanlah kriteria mutlak untuk memastikan masuknya sebuah awal bulan. Dalam kaidah usul disebutkan hukum itu berlaku bersama sebabnya, baik dalam keadaan ada atau tidak ada. Hadis “ummy” juga dipahami sebagai isyarat kuat bahwa penentuan awal bulan adalah dengan hisab. Namun karena hal ini tidak mungkin diterapkan di masa Nabi Saw, maka dilakukanlah untuk sementara sarana rukyat. Karena itulah dalam hadis ini Nabi Saw mengaitkannya dengan menulis dan menghitung. Jika menulis dan menghitung dilarang, niscaya Nabi Saw mengungkapkan rukyat saja tanpa mengaitkan dengan baca tulis dan hitung.
Keenam, rukyat hanya sarana, bukan tata cara mutlak. Rukyat bukan merupakan bagian dari ibadah puasa, rukyat hanya bagian dari cara teknis untuk menentukan masuknya awal bulan. Sebuah kaidah fikih menyebutkan “al-wasā’il lahā ahkām al-maqāshid”. Jika ditemukan cara yang lebih baik maka cara itulah yang digunakan. Semangat hadis adalah masuknya awal bulan, bukan terlihat atau melihat bulan.
Ketujuh, hisab bersifat qath’iy dan yaqīn (tegas dan pasti). Sisi ‘kepastian’ (qath’iy, yaqīn) yang dimaksud adalah dapat dibuktikan secara empiris. Dengan hisab dapat diprediksi terjadinya fenomena astronomis seperti gerhana, fenomena matahari melintasi Ka’bah dua kali dalam setahun, dan lain-lain. Hisab memang pernah tidak qath’iy, ini berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Di masa klasik, hisab banyak digunakan pada hal-hal yang bersifat mistis dan psikologis seperti peramalan nasib, disamping keakuratannya yang belum presisi. Di zaman teknologi saat ini, praktik astrologi dan astronomi telah terbedakan secara jelas, dan tingkat akurasinya pun telah teruji.
Kedelapan, hisab dipandang sebagai “mashlahah al-mursalah”. “Al-mashlahah” jamaknya “al-mashālih” lawan kata dari “mafsadah” (kerusakan). Dalam kajian usul fikih, “mashlahah al-mursalah” adalah kebaikan (manfaat) yang tidak ditemukan petunjuk tentangnya apakah syarak mengindahkannya atau mengabaikannya. Disini, menggunakan hisab dalam menetapkan masuknya awal bulan dipandang sebagai “mashlahah al-mursalah” karena signifikannya manfaat yang didapat. Sisi mashlahah hisab sangat banyak, diantaranya mudah, ringkas, praktis, akurat dan hemat.
Kesembilan, analogi (qiyās) dengan waktu ibadah lainnya, diantaranya dengan waktu salat. Dalam penentuan waktu salat dapat dilakukan melalui hisab, padahal nas baik al-Qur’an maupun hadis mengaitkan dengan fenomena pergerakan matahari. Namun dalam praktiknya ulama dan umat dapat menerima hal ini. Maka tidak mengapa dalam hal penentuan awal bulan juga menggunakan hisab, karena ibadah salat lebih utama dari ibadah puasa.
Syaikh Ali Jum’ah (mantan mufti agung Mesir) mengatakan, tidak ada halangan menurut hukum syariat menggunakan hisab astronomi dalam penentuan awal Ramadan dan awal Syawal dan penentuan bulan-bulan kamariah lainnya. Syaikh Ali Jum’ah mengatakan, jika boleh (tanpa ada perdebatan) berpegang pada perhitungan astronomi dalam menetapkan waktu-waktu salat, maka penggunaan pada penentuan awal bulan sejatinya tidak ada masalah, karena kedudukan salat lebih utama dari kedudukan puasa. Salat dilakukan secara berulang-ulang setiap hari sebanyak lima kali, sedangkan puasa hanya satu kali dalam setahun. Wallahu a’lam[]