Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Buku berjudul “Waktu Subuh Secara Syar’i, Astronomi, dan Empiris” ini ditulis oleh Dr. KH. Agus Hasan Bashori, Lc, M.Ag dan KH. M. Syu’aib al-Faiz, Lc, M.Si. Buku ini merupakan edisi revisi, diterbitkan oleh YBM (Yayasan Bina Al-Mujtama’) Malang, tahun 1442 H/2021 M, berisi 415 halaman. Buku ini diberi pengantar oleh 5 orang tokoh yang konsen mengkaji waktu Subuh baik secara teori maupun praktik yaitu Prof. Dr. H. Tono Saksono, Prof. Dr. KH. Ahmad Zahro, MA, AR Sugeng Riyadi, S.Pd., M.Ud., KH. Yusuf Usman Baisa, Lc, dan KH. Aslam Muslim, Lc.
Seperti tampak dari judulnya, buku ini menguraikan aspek-aspek syariat, sains (astronomi), dan fakta lapangan (empirik) waktu Subuh. Buku ini juga mendeskripsikan dinamika dan dialektika waktu Subuh sebagai berkembang di tanah air. Buku ini terhitung diantara karya paling komprehensif membahas waktu Subuh (fajar) karena di dalamnya memuat analisis dari berbagai aspek yaitu syariat, sains, dan observasi lapangan. Bahkan, buku ini dan penulisnya merupakan pelopor kajian dan pengamatan fajar secara masif dan intensif di tanah air yang dimulai sejak tahun 2009 hingga saat ini.
Dalam konstruksi pembahasannya, buku ini terdiri dari tujuh bab, tiap-tiap bab berisi aneka pembahasan terkait waktu Subuh. Bab pertama secara umum berisi informasi polemik waktu Subuh di Indonesia dan dunia. Bab kedua atensi para ulama terkait fajar sadik. Bab ketiga berisi penjelasan tentang fajar sadik menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, diantaranya dikemukakan secara singkat kelemahan sudut -20 derajat.
Bab keempat, berupa jawaban atas syubhat-syubhat seputar koreksi waktu Subuh, diantaranya dikemukakan tanggapan dan sekaligus sanggahan penulis buku terhadap sejumlah isu waktu Subuh yang berkembang seperti data Labuan Bajo dan Kalbano. Bab kelima, berisi informasi dan perkembangan serta harapan terkait isu waktu Subuh secara umum. Bab keenam, tentang ikamat salat Subuh yang harus mundur, sedangkan bab ketujuh berupa penutup.
Secara umum, isu-isu penting dan hangat yang diangkat dalam buku ini diantaranya adalah: pertama, analisis dan catatan pengamatan fajar di Labuan Bajo dan Kalbano NTT. Kedua, perjalanan dan dinamika ISRN UHAMKA Jakarta dalam penelitian waktu Subuh. Ketiga, perubahan waktu Subuh di Malaysia dari -20 derajat kepada -18 derajat. Keempat, Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31 yang menetapkan dip waktu Subuh -18 derajat.
Adapun diskursus dan dinamika pengamatan Labuan Bajo, seperti diketahui, pada 23-25 April 2018, dalam agenda Temu Kerja Kemenag RI, disela-sela agenda tersebut para peserta Temu Kerja melakukan pengamatan fajar dari atas sebuah bukit yang berada tidak jauh dari lokasi Temu Kerja. Hendro Setyanto dan Rukman Nugraha adalah dua peserta yang membawa dan memasang SQM di lokasi, dan melalui olah data yang dilakukan Hendro Setyanto didapati dip waktu Subuh -19.5 derajat (digenapkan menjadi -20 derajat). Data ini berikutnya dikutip dan dinarasi oleh Thomas Djamaluddin (Kepala LAPAN dan salah satu narasumber Temu Kerja ketika itu) di blog pribadinya dengan judul “Penentuan Waktu Subuh : Pengamatan dan Pengukuran Fajar di Labuan Bajo”.
Selanjutnya ulasan dalam blog Thomas Djamaluddin ini ditanggapi oleh Tono Saksono. Menurutnya, data SQM tim Temu Kerja tersebut cacat, prosesnya manipulatif, bersifat kira-kira, dan tidak sesuai kaidah akademik yang reliable. Berikutnya pada 12 Mei 2018, ISRN mengutus stafnya ke lokasi yang sama guna mengambil dan memverifikasi data tersebut, dimana melalui olah data ISRN diperoleh bahwa fajar muncul saat Matahari pada -14.5 derajat. Tono Saksono juga mengulas analisisnya ini melalui unggahan video yang dapat diakses secara terbuka. Beberapa poin Tono Saksono dalam video tersebut adalah: data Labuan Bajo oleh tim Temu Kerja Kemenag hanya kira-kira dan tidak didukung algoritma dalam pemrosesan data SQM nya. Lalu bersifat bias karena ingin mempertahankan -20 derajat. Menurutnya, idealnya pengambilan data harus sampai terbit (syuruk) dan menggunakan data sebanyak mungkin (h. 275-278).
Selanjutnya penulis buku memberi tanggapannya sebagai berikut:
- Gambar-gambar yang ditampilkan Thomas Djamaluddin tidak seluruhnya asli, namun telah diolah menjadi citra fajar.
- Gambar-gambar yang ditampilkan tidak lengkap hingga terbit atau mendekati terbit.
- Terkait cahaya yang mulai tampak pada pukul 04:44 WITA yang dianggap pada posisi Matahari -20 derajat, menurutnya ini tidak sesuai fakta di lapangan. Menurutnya, tidak ada fajar yang tampak membentang dan melebar. Menurutnya, cahaya yang mulai tampak itu adalah citra fajar di gambar hasil editan, bukan fajar yang dijadikan ukuran dalam syariat Islam.
- Pernyataan Thomas Djamaluddin: “Kurva cahaya yang terukur dengan SQM menunjukkan bahwa penurunan magnitudo terjadi mulai pada pukul 04:46 WITA dan 04:44 WITA. Penurunan magnitudo mengindikasikan mulai munculnya cahaya fajar astronomi. Waktu tersebut bersesuaian dengan posisi Matahari -19.5 dan -20 derajat”. Pernyataan ini ditanggapi penulis dengan menyatakan bahwa ini memperlihatkan Thomas Djamaluddin sedang menetapkan fajar astronomi, bukan fajar syar’i dengan tanda-tanda syar’inya pula, dan ini mengabaikan kriteria fajar sadik yang sudah diamalkan sahabat dan para ulama. Adapun penurunan magnitudo karena munculnya cahaya tidak harus oleh cahaya fajar sadik, namun dapat juga oleh cahaya fajar kazib atau yang dikenal dengan “tabasyir ash-shubh” (mukadimah fajar sadik) [h. 279-280].
- Terkait penurunan magnitudo yang mengindikasikan munculnya cahaya fajar astronomi dan bersesuaian dengan posisi Matahari -19 dan -20 derajat, menurut penulis buku jika ini benar maka seharusnya Thomas Djamaluddin mengoreksi ilmu falak yang menetapkan fajar astronomi muncul pada -18 derajat.
Selain itu, penulis buku juga menanggapi rilis Ismail Fahmi (Kasi Hisab Rukyat saat itu, kini Kasubdit Hisab Rukyat Kemenag RI) terkait gambar fajar sadik yang ia rilis di Facebook pada 29 November 2019, dimana dalam gambar yang ia rilis diberi keterangan “Hasil Foto Sendiri dan mata ku meyakinkan bahwa Waktu Subuh di Indonesia UDAH TEPAT dan ga usah diubah-ubah, -20. Jepretan tanggal 27 November 2019 di Kolbano NTT”. Hal ini ditanggapi penulis buku dengan menyebutkan bahwa gambar tersebut masih menjulang ke atas (alias bukan fajar sadik) namun masih fajar kazib dan belum memenuhi kriteria fajar sadik menurut hadis Nabi Saw, yaitu membentang di ufuk. Karena itu masih diperlukan gambar-gambar yang lengkap berurutan (h. 291-292).
Adapun catatan (kritik) atas buku ini antara lain, betapa pun buku ini merupakan edisi revisi, namun tampaknya tidak semua bagian di dalamnya dibaca dan ditelaah ulang oleh penulisnya, antara lain di halaman 295 dinyatakan bahwa AR Sugeng Riyadi telah meneliti waktu Subuh selama 5 tahun, padahal tokoh bersangkutan masih melakukan observasi dan penelitian waktu Subuh hingga saat ini, artinya sudah lebih dari 5 tahun. Lalu penulisan Departemen Agama (h. 295), seharusnya Kementerian Agama, dan lain-lain.
Selanjutnya catatan yang tak kalah penting adalah terkait proyek observasi fajar sadik yang telah dikampanyekan penulis buku sejak tahun 2009, namun sayang dalam uraiannya tidak dikemukakan jumlah data yang diperoleh, proses dan dinamika penelitian yang dilakukan, lokasi pengamatan fajar, metode dan tata cara pengamatan (secara visual ataukah menggunakan instrumen tertentu), dan lain-lain. Dalam konteks kajian waktu Subuh yang demikian intens hari ini, data-data yang sebagaimana dikemukakan agaknya sangat patut ditampilkan guna dianalisis oleh para pakar dan pemerhati dari berbagai sudut dan perspektif.
Demikian sekilas review singkat atas buku ini. Selanjutnya memandang substansi pembahasan-pembahasan dalam buku ini yang meliputi aspek dalil (syariat), aplikasi dan pengalaman lapangan, maka buku ini patut dibaca oleh para pengkaji dan peneliti waktu Subuh di tanah air, terlepas dari rumusan kesimpulan anggitan dip waktu Subuh yang ditetapkan penulis buku yang barangkali berbeda atau tidak disetujui oleh sejumlah pihak. Wallahu a’lam[]