Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU
Dalam sejarah, Yunani adalah bangsa (peradaban) yang dikenal memiliki sumbangan besar dalam ilmu pengetahuan, diantaranya adalah sumbangan dalam bidang astronomi. Secara historis, astronomi Yunani adalah asimilasi peradaban Babilonia dan Mesir kuno. Dizamannya, bersama bangsa Romawi, Yunani merupakan kiblat astronomi dunia. Namun setelah runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi pada abad pertengahan, kiblat astronomi berpindah ke bangsa Arab.
Di masa Yunani, astronomi telah berkembang menjadi ilmu pengetahuan khususnya pada abad 5 SM atau abad 6 SM. Filsuf Thales diduga sebagai pelopor ilmu Astronomi klasik di Yunani. Ia berpendapat bahwa Bumi merupakan dataran yang luas. Di waktu yang sama Phytagoras melontarkan pendapat yang berbeda dengan Thales. Menurut Phytagoras, bentuk Bumi adalah bulat, meskipun belum didukung oleh banyak bukti dan argumentasi.
Tokoh astronomi dan filsuf Yunani lainnya adalah Erastothenes, yang hidup dan belajar di Alexandria-Mesir (abad 3 SM). Dia memiliki karya berkaitan benda-benda langit. Ia juga tercatat sebagai orang pertama mengukur keliling bumi melalui jarak dan bayang-bayang matahari di kota Aswan dan Alexandria.
Terobosan Astronomi lainnya dilakukan oleh Aristarchus di abad 3 SM. Aristarchus tercatat pernah melakukan penelitian ilmiah terhadap jarak Matahari dengan planet-planet dari Bumi. Ia juga berpendapat, Bumi bukan pusat alam semesta, ia menyatakan bahwa Bumi berputar dan beredar mengelilingi Matahari (Heliosentris). Tapi ketika itu tidak banyak yang mendukung teori ini, justru yang didukung adalah teori yang dilontarkan oleh Hiparchus (± tahun 190 – 125 SM). Hiparchus menyatakan bahwa Bumi diam, sementara Matahari, Bulan, serta planet-planet lain beredar mengelilingi Bumi (Geosentris). Selanjutnya konsep Geosentris ini disempurnakan sekaligus dipopulerkan lagi oleh Cladius Ptolemaus (w. ± 160 M) yang terekam dalam maha karyanya Almagest. Buku ini menjadi buku pedoman astronomi selama berabad-abad hingga akhirnya dipatahkan oleh konsep Heliosentris Ibn Syathir (w. 777/1375) dan Nicolas Copernicus (w. 1543 M).
Dimulai abad ke-3 H/9 M, perhatian para ilmuwan Muslim mulai tertuju kepada astronomi Yunani. Teks astronomi Yunani berjudul Almagest karya Ptolemeus adalah yang paling menarik perhatian para astronom Muslim. Buku ini menjadi bahan ajar astronomi paling berpengaruh dalam sejarah dan peradaban Islam. Untuk kurun satu abad lebih–sejak abad 2 M–buku ini terus dipelajari dan dikembangkan. Kata Almagest (Arab: al-majisthy) menurut Hajji Khalifah (w. 1067/1657) berasal dari kalimat Yunani yang bermakna ‘urutan’ (at-tartib). Asal katanya majustus yang bermakna ‘bangunan besar’ (al-bina’ al-akbar) dan atau yang terbesar (al-a’zham). Sementara Al-Biruni (w. 440/1048) dalam al-Qānūn al-Mas’ūdy menyebutnya dengan Sintaksis yang berarti ‘urutan’ dan ‘susunan’ (at-tarkib, at-tashnif).
Almagest adalah sebuah buku teks koleksi astronomi hasil observasi benda-benda langit yang bercorak geosentris. Di buku ini Ptolemeus mensintesakan astronomi dan matematika dengan sudut pandang observasi yang terus diperbarui. Perkenalan Arab terhadap buku ini diawali dengan dilakukan transfer dan terjemah terhadapnya. Seperti dilaporkan An-Nadim, orang pertama yang memberi perhatian terhadap upaya transfer dan terjemah buku ini kedalam bahasa Arab adalah Yahya bin Khalid bin Barmak (w. 190/805), salah seorang menteri Al-Rasyid, pada abad 2/8, namun hasilnya tidak memuaskan. Al-Hajjaj dan an-Nirizi (nama lengkapnya Abu al-Abbas al-Fadhl bin Hatim an-Nirizi) juga tercatat pernah mentransfer buku ini. Versi an-Nirizi merupakan versi pertama yang direvisi kembali oleh Tsabit bin Qurrah (w. 288/901) yang berasal dari transfer lama. Di duga, transfer lama tersebut bersumber dari terjemah Suriah, bukan sumber asli Yunani. Hunain bin Ishaq (w. 911 M), seorang kristen Nestor berasal dari Hirah, juga mengambil bagian dalam upaya terjemah ini.
Tidak dipungkiri, teks astronomi Yunani memberi pengaruh besar bagi peradaban astronomi Arab (Islam). Para astronom Muslim menyadari bahwa tradisi astronomi Yunani jauh lebih unggul dari tradisi astronomi Persia dan India.Almagest memberi dasar-dasar teori dan metodologi bagi institusi astronomi Arab yang berdiri di atas dasar-dasar ilmiah. Para astronom Muslim sesudah Ptolemeus menetapkan Almagest sebagai satu dari tiga buku paling monumental yang tidak ada tandingannya dalam dunia ilmu pengetahuan. Dua buku lainnya adalah “al-Arjanūn” karya Aristoteles dalam bidang Mantik dan “al-Kitāb” karya Sibawaihi dalam ilmu tata bahasa Arab (Nahwu).