Oleh : Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, M.A.
Kepala OIF UMSU
Pulau Saparua adalah sebuah pulau kecil sekaligus sebuah kecamatan yang terletak di dalam wilayah Maluku Tengah, provinsi Maluku, Indonesia. Pulau ini juga merupakan sebuah Kecamatan yang bernama Kecamatan Saparua, dengan ibu kotanya Saparua.
Pulau Saparua berjarak sekitar 50 mil dari Ambon, ibu kota Maluku. Pulau ini memiliki luas 247 kilometer persegi. Pulau ini memiliki jejak historis kedatangan bangsa lain di Nusantara yaitu pedagang Arab, Portugis, Belanda, dan Jepang. Di pulau ini banyak terdapat peninggalan-peninggalan unik, seperti bangunan tua khas Portugis dan Belanda, sumur tua, hingga Port Duurstede. Benteng Duurstede menjadi salah satu destinasi yang wajib Anda kunjungi saat berkunjung ke Pulau Saparua. Dari Benteng yang masih kokoh tersebut sangat tercermin betapa jayanya pulau ini di masa lampau. Pulau Saparua berdampingan dengan beberapa pulau lainnya, yang tergabung dalam gugusan Pulau Lease, yaitu Haruku dan Nusa Laut. Dalam gugusan pulau ini juga terdapat beberapa titik penyelaman favorit wisatawan mancanegara.
Di Maluku Tengah, tepatnya masyarakat di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, masih menggunakan perhitungan astronomi kuno yang dikenal dengan ‘tanoar’ (perhitungan waktu atau hari baik) dalam pembuatan perahu tradisional. Tanoar merupakan bagian dari Etnoastronomi, walau era sudah berubah tapi sistem itu masih dipertahankan oleh masyarakat di Saparua sejak zaman dahulu hingga kini.
Dalam penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Saparua memiliki perhitungan perbintangan tertentu ketika membuat perahu tradisional, yakni tanoar dengan cara menghitung jumlah purnama. Tanoar dilakukan saat akan memilih kayu untuk perahu, sebelum memulai proses pengerjaan perahu dan ketika perahu akan diturunkan ke laut.
Perhitungan astronomi yang dilakukan adalah berdasarkan purnama, berapa kali bulan terang dan berapa kali bulan gelap, dari perhitungan tersebut dapat diketahui kuatnya kayu yang digunakan untuk membuat perahu, jika kayu diambil saat bulan tidak tepat maka kayu akan dimakan oleh rayap.
Pengetahuan masyarakat Pulau Saparua tentang astronomi kuno ini ditulis dalam sebuah buku panduan yang dikenal dengan ‘Nats’. Buku panduan ini digunakan oleh semua pembuat perahu tradisional di Saparua. Nats adalah semacam buku panduan yang ditulis dengan tangan, di dalam buku itu ada patokan waktu berdasarkan jenis hewan, bulan dan bintang, ini dimiliki oleh setiap pembuat perahu.
Selain menggunakan sistem perbintangan khusus, kayu yang digunakan untuk perahu juga adalah kayu yang berasal dari pohon yang khusus ditanam oleh masyarakat setempat sebagai bahan untuk perahu tradisional, yakni pohon titi, salawaku, gopasa dan kayu samar. Kayu yang paling sering digunakan adalah kayu titi karena lebih ringan saat di atas air dan mampu menahan ombak.
Diantara perahu tradisional yang cukup populer di Pulau Saparua adalah perahu kole-kole (perahu yang menggunakan penyangga di kiri dan kanan perahu) yang digunakan untuk melaut, dan perahu belang (sejenis sampan besar) yang hanya digunakan untuk perlombaan dayung sampan tradisional.[] Penulis: Dosen UMSU dan Kepala OIF UMSU
Sumber: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Etno-Arkeo Astronomi (Media Sahabat Cendekia, 2019)