Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Syaikh Wahbah az-Zuhaili adalah ulama besar abad ini yang karya dan pemikiran fikihnya banyak menjadi rujukan. Nama lengkapnya Wahbah Mushtafa az-Zuhaili, lahir tahun 1351 H/1932 M di sebuah desa kecil dan terpencil bernama ‘Dir ‘Athiyah’ di pelosok Damaskus, sedangkan wafatnya pada tahun 1436 H/2015 M. Ayahnya, Mushtafa az-Zuhaili, seorang petani yang alim, tawaduk, dan hafal al-Qur’an. Syaikh Wahbah az-Zuhaili menyelesaikan pendidikan dasarnya di desa kelahirannya (Dir ‘Athiyah), jenjang pendidikan lanjutan ia selesaikan di kota Damaskus, selanjutnya ia menyelesaikan pendidikan jenjang strata satu di Fakultas Syariah Universitas Damaskus tahun 1373 H/1953 M. Selanjutnya ia meraih gelar magister tahun 1378 H/1959 M di Fakultas Hukum Universitas Cairo, Mesir. Selanjutnya gelar Doktor (S-3) bidang Hukum dan Syariat Islam ia peroleh tahun 1382 H/1963 M, judul desertasinya “Atsar al-Harb fi alFiqh al-Islamy Dirasah Muqaranah Baina al-Madzahib ats-Tsamaniyah wa al-Qanun ad-Dauly al-‘Am” (Pengaruh Perang dalam Fikih Islam Kajian Perbandingan Antara Delapan Mazhab dan Undang-Undang Umum Internasional). Tahun 1394 H/1975 M ia resmi menjadi salah satu guru besar (ustadz, profesor) di Universitas Damaskus.
Adalah karya fikih yang berjudul “al-Fiqh al-Islamy wa Adilltahu” (Fikih Islam dan Argumennya) merupakan karya ensiklopedik Syaikh Wahbah az-Zuhaili yang menjadikan namanya dikenal luas di dunia Islam modern. Karyanya ini terdiri dari 11 jilid, berisi penjelasan berbagai informasi fikih dari berbagai lintas mazhab dan pendapat. Ciri khas fikih dalam karyanya ini adalah berpegang kuat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, berikutnya mengkombinasikan teks dan konteks (rasionalitas). Dalam menukil hadis tak lupa Syaikh Wahbah az-Zuhaili mentakhrij dan mentahkik dalam hal sahih, hasan, dan daifnya. Tak lupa juga dalam karyanya ini Syaikh Wahbah az-Zuhaili mengungkap berbagai pendapat fikih dan membandingkannya dengan pendapat-pendapat lain, yang ditutup dengan tarjih yang kerap mempertimbangkan maslahat. Gaya bahasa yang dikemas dalam karya ini sagat lugas, luas, dan mudah dipahami dengan menyebut sampel serta format pembahasan yang relevan dengan realitas kekinian.
Kitab “al-Fiqh al-Islamy wa Adilltahu” karya Syaikh Wahbah az-Zuhaili (w. 1436 H/2015 M)
Keunggulan lain karya ini adalah mendefinisikan fikih secara jelas dan mengedepankan hal-hal prioritas serta menguraikan kronologi perbedaan pendapat yang diiringi dengan berbagai referensi dan argumen. Diantara pembahasan yang dikupas dalam buku ini adalah masalah penentuan awal bulan yang diulas dengan cukup luas dan komprehensif. Secara spesifik, dalam masalah penentuan awal bulan Syaikh Wahbah az-Zuhaili memegang prinsip rukyat dan menganut prinsip matlak global (ittihad al-mathali’), bahkan menurutnya pandangan matlak global merupakan pendapat mayoritas ulama (jumhur). Dalam hal ini menurutnya matlak lokal (ikhtilaf al-mathali’) sama sekali tidak dipertimbangkan, yang artinya secara implisit ia tidak mentolerir adanya perbedaan penentuan awal bulan yang terjadi antar negara, yang berbeda menurut pendapat dari kalangan Syafi’iyah. Dalam karyanya ini Syaikh Wahbah az-Zuhaili menguraikan matlak global secara lengkap menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah serta dalil (argumen) masing-masing, selain juga menguraikan pendapat Syafi’iyah yang berpaham matlak lokal beserta argumentasinya.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili juga menguraikan secara komprehensif aneka pendapat para ulama dalam lintas mazhab tentang penentuan awal bulan. Hal yang menarik, terkait penentuan awal bulan ternyata Syaikh Wahbah az-Zuhaili memiliki visi progresif dan jauh kedepan yang mana ia mendukung dan menguatkan prinsip unifikasi waktu-waktu ibadah, khususnya ibadah puasa dan hari-raya. Menurutnya, kesatuan dalam penentuan awal bulan merupakan keniscayaan dan harus diupayakan, tujuannya tidak lain untuk persatuan (unifikasi) di kalangan umat Islam.
Dukungan Syaikh Wahbah az-Zuhaili adalah melalui uraiannya atas argumen jumhur ulama terhadap matlak global. Menurutnya, argumen jumhur ulama terhadap matlak global adalah berdasarkan sunah dan kiyas (al-qiyas). Adapun argumen sunah melalui hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang memerintahkan umat Islam untuk berpuasa dan berhari raya karena melihat hilal (shumu liru’yatihi wa afthiru liru’yatihi…), dimana hadis ini dipahami sebagai kewajiban berpuasa bagi umat Islam secara umum. Sementara itu melalui kiyas dengan membandingkan dan menganalogikan keterlihatan hilal di satu wilayah (negeri) yang jauh dengan wilayah (negeri) yang dekat, yang mana ini juga telah dikemukakan Ibn Hajar al-‘Asqallni (w. 852 H/1449 M) dalam karyanya “Fath al-Bary bi Syarh Shahih al-Bukhary”. Lebih lanjut, dengan mengutip Ash-Shan’ani (w. 1182 H/1768 M), menurutnya menjadi satu keharusan untuk berpuasa bagi penduduk suatu negeri yang telah melihat hilal, begitu juga dengan negeri-negeri yang searah-sekawasan (satu jurusan lintang dan bujur), baik ke arah utara maupun ke arah selatan, sebab seluruh kawasan ini dihitung satu matlak (ittihad al-mathla’).
Berikutnya Syaikh Wahbah az-Zuhaili juga mengemukakan hadis yang diriwayatkan Ibn Umar, yang mana menurutnya hadis ini tidak dikhususkan untuk satu penduduk (negeri) tertentu saja namun untuk semua umat Islam dimana saja, dengan argumen bahwa rukyat atas suatu penduduk di suatu negeri memestikan penduduk negeri lainnya untuk mengikutinya.
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له (رواه مسلم)
“Apabila kamu melihat hilal maka berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya maka beridulfitrilah, jika terhalang oleh awan maka estimasikanlah” (HR. Muslim).
Berikutnya dalam masalah ini yang patut diperhatikan lagi menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili adalah pendapat dari kalangan Malikiyah dan lainnya, yang menyatakan apabila hilal telah terlihat oleh penduduk di suatu negeri maka keterlihatan itu berlaku pula untuk negeri-negeri lainnya.
Berikutnya, setelah panjang-lebar menguraikan masalah ini, Syaikh Wahbah az-Zuhaili menutup dengan pernyataan penegasan yang menjadi sikap pribadinya yaitu bahwa kesatuan (unifikasi) merupakan hal urgen demi menyatukan ibadah umat Islam (tauhidan li al-‘badah al-muslimin). Menurutnya, penyatuan ibadah bagi umat Islam merupakan keharusan dan memiliki alasan yang kuat (rajih), karena itu dalam hal ini menurutnya prinsip matlak global merupakan opsi dan solusi yang patut diupayakan hari ini, yang tidak demikian halnya dengan matlak lokal. Berikut pernyataan Syaikh Wahbah az-Zuhaili,
“وهذا الرأي (رأي الجمهور) هو الراجح لدي توحيداً للعبادة بين المسلمين، ومنعاً من الاختلاف غير المقبول في عصرنا، ولأن إيجاب الصوم معلق بالرؤية دون تفرقة بين الأقطار”
“Menurutku, pendapat ini (yaitu pendapat jumhur) adalah yang rajih, sebagai unifikasi ibadah di kalangan umat Islam, mencegah perbedaan pendapat yang tak dapat diterima di masa sekarang, karena kewajiban puasa itu berkaitan dengan rukyat tanpa pembedaan antar wilayah”.Dalam kesempatan sebelumnya dalam karyanya “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu” Syaikh Wahbah az-Zuhaili juga mengatakan sebagai berikut,
“ففي رأي الجمهور يوحد الصوم بين المسلمين ولا عبرة باختلاف المطالع”
“Maka dalam pendapat jumhur, disatukan (diunifikasi) puasa di kalangan umat Islam, dalam hal ini tidak ada perbedaan matlak”.
Demikian pandangan Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu” tentang hisab-rukyat penentuan awal bulan, matlak, dan penyatuan kalender dan ibadah Islam. Secara garis besar pemikiran Syaikh Wahbah az-Zuhaili ini menegaskan pemikiran fikih dan usul fikihnya yang progresif dan berkemajuan, yang menjadi referensi akademik, dan menjadi rujukan berbagai fatwa di era modern. Dukungannya atas matlak global dan unifikasi penentuan awal bulan menunjukkan bahwa ide penyatuan hari ibadah umat Islam di seluruh dunia hari ini bukanlah sesuatu yang bersifat angan-angan apalagi main-main, namun merupakan sesuatu yang seyogianya harus diwujudkan, betapapun mengalami dinamika dan dialektika dalam perjalanannya. Wallahu a’lam[]