Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Otoritas, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki beberapa pengertian, yaitu : (1) kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga dalam masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya; (2) hak untuk bertindak; (3) kekuasaan; wewenang; (4) hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain. Otoritas dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah lembaga keislaman resmi bertaraf dunia yang ditetapkan dan disepakati berwenang menetapkan sebuah keputusan kalender untuk diikuti dan dipatuhi negara-negara di seluruh dunia. Pemikiran otoritas muncul di Indonesia seiring diskursus perumusan kalender Islam yang bersifat global, dimana adanya otoritas tunggal dinyatakan menjadi salah satu syaratnya. Namun yang menjadi pertanyaan dan patut dinalar dan direnungkan secara cermat adalah, dalam konteks Kalender Islam Global (dengan model dan kriteria apa saja, tunggal atau bizonal), perlukah otoritas tertentu? Lalu siapa otoritas itu dalam konteks dunia hari ini?
Hemat saya, otoritas global dalam pengertian sebuah lembaga keislaman tertentu yang di dalamnya terdapat orang-orang dengan jabatan dan fungsi masing-masing, tidaklah perlu dan tidak pula memiliki urgensi signifikan. Sebab dalam konteks implementasi dan realisasi kalender Islam Global, hal yang paling penting adalah kekuatan konsep dan kriteria kalender itu sendiri untuk dapat diterima dan diterapkan di dunia, bukan siapa (otoritas) yang menetapkannya. Selanjutnya dalam konteks ini yang juga diperlukan adalah keinginan dan kemauan tiap-tiap negara untuk menerapkan dan mensosialisasikan kepada masyarakat di negaranya masing-masing. Karena itu, otoritas dalam bentuk dan pengertian hasil konvensi dan atau kesepakatan dunia tentang kalender Islam Global merupakan opsi dan solusi yang logis, yang ia tidak terikat atau tersemat kepada lembaga tertentu, demikian lagi tidak mengikat.
Dalam sebuah muktamar kalender Islam bertaraf internasional di Turki tahun 1437 H/2016 M lalu misalnya (yang dikenal dengan Muktamar Turki 1437 H/2016 M), sama sekali tidak menetapkan otoritas tertentu dalam pengimplementasian konsep kalendernya. Rumusan itu lebih diserahkan secara terbuka kepada peserta dan dunia untuk dikaji dan dipelajari dan berikutnya untuk diterapkan. Tercatat saat ini negara Turki, lalu komunitas muslim Eropa (European Council for Fatwa and Research atau ECFR) dan Amerika (Fiqh Council of North America atau FCNA) telah menerapkannya sejak beberapa tahun belakangan ini. Hal ini berbeda dengan Rekomendasi Jakarta 2017 M misalnya yang dalam dua butir rekomendasinya (butir ke-6 dan butir ke-7) menetapkan dan sekaligus merekomendasikan otoritas tertentu (dalam hal ini Organisasi Kerjasama Islam atau OKI) sebagai otoritas tunggal global. Berikut diktum butir keenam dan ketujuh rekomendasi tersebut,
Butir ke-6, “Bahwa Kriteria tersebut dapat diterapkan ketika seluruh dunia menyatu dengan satu otoritas tunggal atau otoritas kolektif yang disepakati. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) merupakan salah satu lembaga antar negara-negara muslim yang bisa sangat potensial untuk dijadikan sebagai otoritas tunggal kolektif yang akan menetapkan Kalender Islam Global dengan menggunakan kriteria yang disepakati ini untuk diberlakukan di seluruh dunia”.
Butir ke-7, “Organisasi Kerjasama Islam” (OKI) perlu membentuk/mengaktifkan kembali lembaga atau semacam working grup/lajnah daimah yang khusus menangani bidang penetapan tanggal hijriyah internasional”.
Pertanyaannya adalah, sejauh mana implementasi konkret dari putusan Rekomendasi Jakarta 2017 M ini, khususnya dalam hal OKI sebagai otoritas? Hingga saat ini saya pribadi belum mendapatkan kejelasan dan jawaban konkret atas hal ini, kecuali hanya sebatas narasi. Karena itu untuk kesekian kali saya pribadi memandang bahwa otoritas dalam konteks kalender global tidaklah urgen. Sebab yang menjadi problem adalah jika sebuah lembaga bernama “Organisasi Kerjasama Islam” ini ditetapkan sebagai otoritas tunggal, bagaimana jika karena satu dan lain hal otoritas (lembaga) ini kehilangan legitimasi? Bagaimana nasib dan keberadaan kalendernya? Atau, bagaimana jika terdapat dua atau lebih lembaga kredibel di dunia yang sama-sama memiliki kapasitas untuk menetapkan kalender Islam global? Lembaga mana yang akan dipilih dan apa alasan dan dasar pilihannya? Siapa pula yang berhak dan berwenang memilih sebuah lembaga (OKI misalnya) sebagai sebuah otoritas untuk kalender global? Berikutnya apakah negara-negara di seluruh dunia telah menyetujui OKI sebagai otoritas? Lalu apa dan bagaimana regulasi kalender yang akan diberlakukan oleh OKI tersebut? Bagaimana status regulasinya, apakah bersifat mengikat ataukah hanya anjuran dan atau tawaran semata? Lalu siapa yang akan merumuskan (menyusun dan menghitung kalendernya) dan siapa yang mengeluarkannya? Tentu, jika umat Islam dunia dihadapkan pada situasi dan keharusan semacam ini akan cukup menyulitkan dan berpotensi terjadi tarik-ulur bahkan perdebatan yang tak berkesudahan dan dapat mengabaikan substansi kalender itu sendiri.
Karena itu, otoritas dengan pengertian kesepakatan dan penerimaan negara-negara di dunia secara alami terhadap sebuah keputusan Kalender Islam Global yang dihasilkan melalui muktamar, seminar, simposium, dan sejenisnya merupakan opsi yang paling logis dan realistis, sebab ia bersifat mengalir, dinamis, natural dan universal, yang ditunjukkan dengan secara perlahan namun pasti diterima masyarakat Muslim dunia tanpa terikat kepada satu lembaga tertentu. Namun bahwa kalender yang bersifat global memerlukan dukungan dan highlight dari berbagai pihak (lembaga-lembaga dan atau komunitas-komunitas muslim dunia), diantaranya OKI, tentu akan sangat baik. Kalender global yang notabenenya milik dan untuk semua umat Islam tentunya mesti didukung oleh semua umat Islam pula, dukungan itu bisa bersifat formal, bisa non formal. Namun patut dicatat dukungan atau highlight itu bukan bersifat regulasi alias bukan menempati otoritas yang bersifat mengikat dan meregulasi. Karena itu sekali lagi, menerima atau menolak sebuah kalender (global) adalah hak dan kemerdekaan setiap negara yang tidak bisa diintervensi oleh siapa saja, termasuk oleh otoritas yang bernama OKI.
Dalam Kalender Masehi sendiri, yang telah bertahan cukup lama sampai hari ini, sejatinya tidak ada otoritas (dalam pengertian lembaga tertentu) yang menetapkan dan meregulasi. Kalender ini diterima secara alami betapapun secara bertahap, dalam arti tidak semua negara di dunia pada awalnya menerimanya. Namun kini praktis kalender ini diterima dan digunakan di seluruh dunia tanpa ada lembaga tertentu yang menetapkan, mengatur, dan meregulasinya. Seperti diketahui, kalender Masehi (Gregorian) saat ini adalah hasil kesepakatan negara-negara dalam Konferensi Meridian 1884 M di Washington sebagai perjanjian internasional. Hanya saja patut dicatat, Konferensi Washington 1301 H/1884 M ini bukan untuk menentukan kalender Masehi secara langsung, namun untuk menentukan meridian utama di permukaan bumi, dimana saat itu pilihan yang mengemuka adalah meridian yang melewati Greenwich. Konsekuensi konferensi ini adalah awal hari dan tanggal dimulai tengah malam di titik 180 BT. Melalui konferensi ini pula secara perlahan menjadi tonggak mapannya kalender Masehi. Patut dicatat, penerimaan Kalender Masehi yang bertahan sampai hari ini lebih karena kompatibilitas konsep atau kriterianya, bukan karena otoritasnya. Karena itu sekali lagi pemikiran dan keinginan bahwa otoritas sebagai satu keharusan sejatinya tidaklah urgen dan jika diharuskan akan memperlambat wujudnya kalender global itu sendiri.
Namun demikian keharusan atau ketidak-harusan otoritas ini tentunya tidaklah ‘harga mati’ alias bukan sesuatu yang harus diperdebatkan dengan tidak berkesudahan, bagaimanapun substansi kalender dan terealisasinya kalender global itu di tengah masyarakat muslim dunia, baik dengan otoritas atau tanpa otoritas, adalah hal yang paling utama. Adapun jika otoritas dipahami dan diyakini sebagai sebuah keharusan dan kemestian tentu sah-sah saja dan sepenuhnya dihormati, yang karena itu pihak yang mengharuskan dan meyakininya dituntut mengupayakan dan merealisasikannya secara konkret, bukan semata menarasikannya (saja). Wallahu a’lam[]