Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan kepala OIF UMSU
Tulisan ini secara spesifik masih merupakan respons dan tanggapan atas seorang periset BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) dan anggota THR Kemenag RI (Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama Republik Indonesia) yang masih dan terus mengkritisi Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) Muhammadiyah tapi diluar kepakarannya sebagai seorang periset atau astronom. Dalam artikelnya yang berjudul “Kerancuan Konsep Waktu Ibadah KHGT” misalnya tampak sama sekali tidak ada analisis ilmiah-astronomis, praktis artikel tersebut semata dan seluruhnya menganalisis aspek fikih KHGT, yang dalam analisisnya banyak terjadi kekeliruan dan kesimpangsiuran. Ini adalah paradoks posisi sang pakar sebagai periset BRIN dan anggota Kemenag RI. Ini sekaligus menjadi pertanyaan dan sorotan serius kepada BRIN dan Kemenag RI, apakah tugas sebagai periset BRIN dan anggota pakar THR Kemenag RI sejauh ini? Sebelumnya saya juga sudah menyoroti hal ini, dan kini kembali lagi, dan tampaknya hingga saat ini BRIN dan Kemenag RI diam dan tidak memberi respons.
Dari sejumlah tulisan sang pakar di blognya, tampak bahwa kritik yang dikemukakan dominan hanya narasi dan teori, tanpa ada opsi dan solusi nyata yang diberikan. KHGT yang menurutnya banyak kelemahan dan kekurangan hanya dilihat pada aspek negatifnya, padahal KHGT adalah sebuah konsep dan konstruksi besar yang harus dilihat dan dipahami secara komprehensif, bukan parsial. KHGT adalah satu kesatuan yang terdiri dari prinsip, syarat, dan parameter (PSP), yang jika dilihat secara terpisah dan parsial akan mengakibatkan inkompatiblilitas antara satu bagian dengan bagian lainnya, tentu cara pandang semacam ini tidak adil, tidak fair, dan tidak mencerminkan kejujuran akademik.
Dalam kenyataannya kriteria imkan rukyat oleh Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) yaitu 3-6.4 (ketinggian hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6.4 derajat) atau “Rekomendasi Jakarta 2017 M” yang digadang-gadang sebagai opsi dan solusi global terbaik tampak mulai redup dalam narasi dan teori sang pakar, betapapun sebelumnya sang pakar ‘mati-matian’ dan ‘setengah mati’ menarasikan dengan berbagai diksi dan argumentasi bahwa kriteria MABIMS 3-6.4 (atau Rekomendasi Jakarta 2017 M) adalah opsi global terideal. Namun kini tampak sang pakar kembali fokus hanya mengkritisi KHGT dengan tanpa opsi-solusi dan menutup mata dengan segenap kekurangan dan paradoks yang ada pada kriteria MABIMS 3-6.4 dan atau Rekomendasi Jakarta 2017 M.
Adalah fakta bahwa negara (dalam hal ini Kemenag RI) sama sekali tidak dan atau belum punya agenda merumuskan kalender Islam yang bersifat global. Memang dulu Kemenag RI punya produk konsep kalender Islam bertaraf global bernama “Rekomendasi Jakarta 2017 M” atau “RJ 2017 M” yang diawal kehadirannya sang pakar begitu membanggakan dan mengunggulkannya, namun kini produk itu tak lebih hanya arsip rapi di Kemenag RI. Praktis pasca seminar fikih falak tahun 1438 H/2017 M itu hingga kini belum ada gebrakan untuk merealisasikan rumusan-rumusan (butir-butir) dalam Rekomendasi Jakarta 2017 M itu. Sang pakar pun tampak kehabisan narasi karena negara (Kemenag RI) tak kunjung berkeinginan merealisasikan. Dalam tulisan sebelumnya saya telah menegaskan kiranya sang pakar berjiwa besar dengan fakta dan realita yang ada.
Rekomendasi Jakarta 2017 M yang awalnya diklaim merupakan perbaikan, penyempurnaan, dan pelengkap kriteria Turki 2016 (yaitu butir ke-1 RJ 2017 M) kenyataannya hingga kini tidak terbukti, apalagi terimplementasi, alias masih sebatas teori dan narasi. Rekomendasi Jakarta 2017 M yang diklaim dapat mengatasi perbedaan pada tingkat nasional, regional, dan internasional (butir ke-2) kembali hanya teori dan narasi. Terbukti dalam implementasi 4 negara sekalipun (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura) masih banyak paradoks dan inkonsistensi. Berikutnya Rekomendasi Jakarta 2017 M yang menegaskan keharusan otoritas tunggal, terbukti hingga kini hanya teori dan narasi belaka. OKI (Organisasi Kerjasama Islam atau “Organisation of Islamic Cooperation” atau “Munazzhamah al-Ta’awun al-Islamy”) yang digadang-gadang sebagai otoritas tunggal yang dimaksud kenyataannya hingga kini belum pernah berwujud-implementatif, kecuali sebatas narasi dan teori belaka.
Karena itu, ada baiknya sang pakar introspeksi dalam dua hal. Pertama, hendaknya berbicara sesuai kapasitas dan kepakarannya yaitu astronomi. Adapun fikih, terlebih fikih ikhtilaf, sama sekali bukan menjadi bidangnya. Ini sama sekali bukan soal sang pakar mengerti atau tidak mengerti soal fikih, saya menghormati pengetahuan sang pakar dalam soal ini, terlepas sejauh apa dan sedalam apa pengetahuannya soal ini, bukan hak dan kapasitas saya menilainya. Namun lebih kepada bahwa ini bukan bidang dan kapasitasnya sebagai periset BRIN dan pakar THR Kemenag RI. Dapat dipastikan bahwa dua lembaga ini (BRIN dan Kemenag RI) merekrut sang pakar adalah karena kepakaran astronominya, bukan karena ulasan dan kemampuan fikihnya, terlebih ulasan fikihnya banyak terjadi kekeliruan dan tidak merujuk sumber primer-otoritatif. Kedua, sang pakar sebaiknya fokus saja pada kriteria MABIMS 3-6.4 atau Rekomendasi Jakarta 2017 M dengan berupaya mengimplementasikannya secara nyata, bukan semata teori dan narasi. Sang pakar harus mampu meyakinkan negara (dalam hal ini Kemenag RI) untuk mewujudkan kalender global yang dianggap paling ideal, tidak semata fokus pada KHGT. KHGT telah dikonstruk dan dirancang sedemikian rupa, tidak lama lagi akan dilaunching, dengan segenap kekurangannya KHGT akan berjalan dan akan terus diperbaiki. Adapun kalender Rekomendasi Jakarta 2017 M sejauh ini hanya dan masih arsip rapi, paling optimal hanya berupa narasi dan teori.
Untuk kesekian kali pula saya menyatakan dan mempertanyakan alangkah fairnya KHGT yang kerap dikritisi punya pembanding agar dapat diketahui kelebihan-kekurangannya. Kalender global (baik model dual atau single) adalah kalender yang dalam konstruksinya tidak sederhana, mulai argumennya hingga implementasinya. Mengonstruksi sebuah kalender global agar akurat dan presisi dengan teritorial permukaan bumi yang demikian luas tidaklah mudah, diperlukan pemikiran dan pengkajian mendalam, diperlukan simulasi dan implementasi, tidak semata teori dan narasi. Mengkritisi, apalagi secara parsial, tentu mudah, namun jika tanpa pembanding yang menjadi opsi dan solusi adalah sebuah paradoks nyata, sekali lagi ini hanya teori dan narasi.
Sebagai penutup, sebuah kalender (baik global-tunggal atau bizonal) hanya dapat dikatakan baik, akurat, dan reliabel tatkala ada kalendernya, alias ada ‘barang’nya. Setiap kalender mesti diuji kesesuaiannya dengan dalil dan ketentuan syariat serta ketepatannya dalam implementasi, jika hanya teori dan narasi tentu tidak akan melahirkan kalender, kecuali narasi dan teori kembali. Saya menghormati Kriteria MABIMS 3-6.4 atau Rekomendasi Jakarta 2017 sebagai sebuah konsep (teori) kalender, namun agar fair dan dapat diterima sebagai kalender global mesti diuji, disimulasi, dan dipraktikkan. Mengkritisi KHGT dengan tanpa pembanding adalah tidak fair, demikian lagi membandingkan KHGT yang notabenennya kalender global-tunggal dengan konsep kalender lokal (dan dengan cara pandang lokal) adalah tidak fair dan selamanya tidak akan pernah punya titik temu, terlebih jika sudah demikian melekat bahwa dalam KHGT sama sekali tidak ada hal baik. Wallahu a’lam[]