Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Tulisan ini kembali menanggapi, persisnya menjawab pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan yang rancu dari seorang pakar (periset) BRIN dan anggota THR Kemenag RI, yang masih dan terus mengkritisi KHGT. Dalam artikel berjudul “Kerancuan Konsep Waktu Ibadah KHGT”, yang ditulis sang pakar, terdapat hal-hal yang terbilang rancu karena itu saya akan meluruskannya. Sebelumnya, saya telah mengkritisi tulisan sang pakar dengan penekanan bahwa analisis sang pakar lebih bernuansa fikih ketimbang analisis ilmiah-astronomis. Artinya sang pakar melampaui tugas, fungsi, dan kepakarannya, yang mana hal ini sesuatu yang paradoks, karena itu saya menyorot dua institusi yang kerap beliau bawa dan lekatkan yaitu BRIN dan Kemenag RI. Tulisan (kritik) saya itu dapat dibaca di sini: https://oif.umsu.ac.id/2025/05/kritik-atas-khgt-dari-teori-narasi-hingga-ketiadaan-opsi/. Adapun berikut ini adalah jawaban dan respons beberapa pernyataan dan kesimpulan fikih yang rancu dari tulisan sang pakar tersebut.
Kerancuan ke-1: “Demikian juga Rasul melarang puasa saat hari meragukan (yawmusy-syak), yaitu ketika ragu sudah masuk tanggal 1 atau masih tanggal 30”.
Tanggapan: Pernyataan ini tidak jelas, yaitu yang dimaksud tanggal 1/30 bulan apa? Apakah bulan Syakban, Ramadan, Syawal, atau bulan-bulan lainnya? Patut dicatat dalam khazanah fukaha bahwa yang terlarang puasa saat setelah tanggal 29 itu hanya untuk bulan Ramadan, yaitu tanggal 29 Syakban yang mana keesokan harinya apakah sudah masuk tanggal 1 Ramadan atau masih tanggal 30 Syakban. Diantaranya berdasarkan hadis Nabi Saw “Siapa yang berpuasa pada hari yang manusia meragukannya (hari syak) maka dia telah bermaksiat terhadap Abu al-Qasim (Rasulullah Saw) [HR. Abu Dawud & Tirmidzi].
Berikutnya patut dipahami pula bahwa bagi seorang muslim yang sudah terbiasa melaksanakan puasa sunah, maka tatkala keesokan harinya adalah hari syak maka tidak ada larangan baginya berpuasa, karena telah menjadi rutinitas dan amalannya. Demikian lagi fukaha menyatakan bagi seseorang yang punya hutang (kada) puasa, atau nazar, atau kafarat, maka berpuasa pada hari syak baginya juga tidaklah terlarang. Diantaranya berdasarkan hadis Nabi Saw “Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali seseorang yang telah (terbiasa) berpuasa maka berpuasalah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Selain itu sesungguhnya ada pula pendapat ulama yang tidak sepenuhnya melarang puasa pada hari syak, namun hanya jatuh pada hukum makruh, terlepas dari perdebatan ulama tentangnya. Antara lain Ibn Juzay (w. 741 H/1340 M) dari kalangan mazhab Maliki dalam karyanya “al-Qawanin al-Fiqhiyyah” menyatkan bahwa puasa pada hari syak adalah makruh, bukan terlarang (haram). Demikian lagi Ibn Qudamah (w. 629 H/1223 M) dari mazhab Hanbali dalam karyanya “al-Mughny” juga menyatakan puasa pada hari syak adalah makruh.
Selain itu tentu masih ada lagi pendapat dan keterangan lain tentang masalah ini di kalangan para fukaha. Karena itu pernyataan “Rasul melarang puasa saat hari meragukan (yawmusy-syak)…” terbilang riskan dan rancu oleh karena ada konteks dan penjabaran yang lebih luas, fikih itu fleksibel alias tidak hitam-putih.
Kerancuan ke-2: “Di masing-masing negara hari dimulai sejak pukul 00.00 waktu setempat, misalnya di Jakarta hari Senin mulai pukul 00.00 tengah malam WIB. Kalau 1 Ramadhan dimulai pukul 00.00 di Batas Tanggal Internasional atau pukul 00.00 waktu lokal, apakah sebelum pukul 00.00 dianggap Ramadhan? Tentu saja belum masuk Ramadhan. Misalnya pukul 19.00 Ahad malam, jelas belum masuk awal Ramadhan kalau Ramadhannya dimulai sejak Senin pukul 00.00”.
Tanggapan: Cara pandang dan penilaian sedemikian itu tentu sah-sah saja, yaitu jika dilihat dan disorot dalam satu perspektif. Namun patut dicatat implementasi awal hari dalam KHGT untuk praktik ibadah (terutama salat tarawih) tetap menyesuaikan dan mengikuti kebiasaan yang berlaku selama ini yaitu setelah salat Isya. Ini sebagaimana dipraktikkan Turki yang telah mempraktikkan beberapa tahun belakangan ini.
Adapun konsepsi awal hari saat tengah malam adalah semata instrumen untuk mengonstruksi kalender (KHGT) itu sendiri agar kompatibel satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Sebab dengan pengujian masif dan komprehensif, penetapana awal hari tengah malam adalah yang paling memenuhi prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia, dengan tetap menempatkan bilangan bulan 29 atau 30 hari, dibandingkan dengan saat gurub atau saat fajar. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pilihan tengah malam itu sebagai instrumen pengonstruksi kalender (KHGT) agar dapat terdistribusi ke seluruh dunia tanpa ada aspek definitif (tsawabit) yang dilanggar. Selain itu, sebagaimana menurut Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq bahwa waktu-waktu ibadah pada dasarnya tidak terpengaruh oleh penggunaan sistem waktu internasional, serta konsep malam dan siang bagi kewajiban puasa melampaui konsep hari. Karena itu tidak masalah tatkala awal hari ditetapkan pukul 00:00, sedangkan salat sunah tarawihnya dilaksanakan sebelum pukul 00:00 itu.
Memang, pandangan ini tampak tidak biasa karena berbeda dengan yang dipraktikkan selama ini. Namun sekali lagi ini semata dalam rangka mengonstruksi kalender itu sendiri agar definitif satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Adapun pemikiran gurub (atau saat fajar) juga merupakan satu arus pandangan soal konsepsi awal hari yang jika dapat diimplementasikan satu hari satu tanggal di seluruh dunia tentu akan sangat baik. Namun faktanya saat ini belum ada kalender global yang kompatibel satu hari satu tanggal di seluruh dunia dengan menggunakan gurub atau fajar sebagai instrumen konstruksi kalendernya. Jika ada dan bisa tentu akan menjadi solusi yang baik, namun tentu harus dibuktikan dan diimplementasikan, bukan sekedar diteorikan dan dinarasikan. Adalah hal tidak fair hanya mengkritisi tanpa ada opsi dan solusi yang diberikan.
Kerancuan ke-3: “…Yaitu setelah tengah malam. Itu bila menggunakan konsep hari lokal seperti pada kalender masehi. Tentu itu sangat memberatkan umat”.
Tanggapan: Memberatkan atau tidak memberatkan bagi setiap orang sifatnya fleksibel. Bahkan dalam konteks fikih, terdapat pendapat (berdasarkan nas) yang menyatakan bahwa salat Isya lebih utama dikerjakan saat tengah malam, diantaranya yang dipraktikkan dalam mazhab Maliki, apakah ini memberatkan? Diantaranya sebagaiman diriwayat Aisyah bahwa Nabi Saw menunda salat Isya hingga lewat tengah malam. “Dari Aisyah ra, ia berkata bahwa Rasul Saw menunda salat Isya hingga lewat tengah malam, kemudian beliau keluar dan melaksanakn salat. Lalu beliau bersabda “sesungguhnya itu adalah waktunya, seandainya aku tidak memberatkan umatku” (HR. Muslim).
Bahkan salat-salat sunah secara umum lebih utama dikerjakan saat tengah malam, dan terutama saat sepertiga malam. Maka bagi sebagian orang ini sama sekali tidak memberatkan sebab ada keutamaan (pahala) di dalamnya. Karena itu konteks “memberatkan” sama sekali tidaklah tepat dalam mengkritisi KHGT.
Kerancuan ke-4: “Tetapi bagaimana dengan kewajiban zakat fitrah bagi bayi yang baru lahir. Dalam ketentuan fikih konvensional, bayi yang lahir sebelum maghrib akhir Ramadhan wajib dibayarkan zakat fitrahnya. Dengan perubahan awal Syawal sejak tengah malam, ummat menjadi bingung. Mengikuti fikih lama dengan batas maghrib atau fikih KHGT dengan batas tengah malam?”
Tanggapan : Pertama, batasan gurub, yang menjadi batas jatuh tempo pembayaran zakat fitrah bayi yang baru lahir, yang dimaknai awal hari, adalah semata kelaziman (kebiasaan), bukan sebuah ketentuan eksplisit syariat. Tidak ada dalil eksplisit syariat yang menyatakan bahwa gurub (magrib) sebagai batas pergantian hari. Pemahaman gurub sebagai awal hari lebih didasari dari pemahaman praktik rukyat yang memang dilaksanakan saat gurub.
Kedua, esensi pelaksanaan salat sunah tarawih sejatinya adalah karena secara yuridis keesokan harinya (setelah fajar) diwajibkan berpuasa, jadi bukan soal awal dan atau pergantian hari.
Ketiga, ketentuan pembayaran zakat bagi bayi yang lahir pra atau pasca gurub sama sekali tidak berubah karena konstruksi KHGT yang menempatkan awal hari saat tengah malam (yang sekali lagi sebagai instrumen pengonstruksi kalender). Sebab gurub sebagai batas pembayaran zakat itu sendiri ditetapkan karena telah berakhirnya aktivitas puasa, bukan karena pergantian hari. Jadi implementasi awal hari tengah malam sebagai instrumen pergantian hari dalam KHGT sama sekali tidak mengubah praktik konvensional pembayaran zakat fitrah bagi bayi yang lahir pra atau pasca gurub.
Keempat, bahkan dalam Mazhab Hanafi awal hari adalah saat fajar, bukan saat gurub, bukan pula saat tengah malam. Jika saat fajar yang notabenenya akhir malam bisa diterima sebagai awal hari (sekali lagi dalam mazhab Hanafi), mengapa tengah malam tidak bisa? Pertanyaan berikutnya lagi, jika merujuk Mazhab Hanafi, kapan salat tarawih dilaksanakan? Silahkan telusuri khazanah dan liteartur dalam mazhab ini.
Kerancuan 5: “Coba kita terapkan di Papua. Saat di garis tanggal pukul 00.00, di Papua pukul 21.00 WIT. Bila ada yang melaksanakan shalat tarawih sesudah isya, misalnya pukul 19.30, itu jelas belum memasuki Ramadhan. Kalau dipaksakan, artinya mereka melakukan ibadah di luar waktunya. Pasti tidak sah”.
Tanggapan: Ini kekeliruan terhadap prinsip, syarat, dan parameter KHGT, ini menunjukkan sang pakar sebenarnya belum paham sepenuhnya KHGT. Penetapan pukul 00:00 di garis tanggal internasional (UTC) adalah standar (parameter) global untuk menyatakan awal hari/awal bulan pertama kali telah tiba. Adapun pendistribusian dan penerapannya ke seluruh dunia adalah dengan merujuk jam 00:00 setempat, yang sekali lagi fungsinya hanya sebagai administratif dan instrumen pengonstruksi kalender. Jadi bukan dari pukul 00:00 UTC itu lalu diimplementasikan misalnya ke Papua yang saat itu pukul 21:00 WIT. Awal hari di Papua (di Indonesia) adalah tetap pukul 00:00 setempat, sementara salat tarawihnya tetap pula setelah salat Isya sebelum pukul 00:00 malam itu, seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Kerancuan ke-6: “Fikih KHGT jelas mengubah syariat. Ibadah Ramadhan menjadi kacau dengan perubahan awal harinya. Shalat tarawih (khususnya di wilayah timur) dipaksa dilaksanakan menjelang tengah malam. Ketentuan batas waktu bayi lahir yang perlu dibayarkan zakat fitrahnya juga berubah. Pada akhir Ramadhan, saat masjid-masjid lain sudah takbiran menjelang idul fitri, ada masjid pengamal KHGT yang masih melaksanakan tarawih malam terakhir. Itu menyulitkan dan menimbulkan ketidakpastian manajemen waktu ibadah”.
Tanggapan : Pertama, pernyataan “Fikih KHGT jelas mengubah syariat” jelas keliru. KHGT sama sekali tidak mengubah syariat karena dalam konstruksinya tidak ada prinsip-prinsip definitif (tsawabit) yang dilanggar atau diabaikan. Adapun bahwa di dalamnya ada perbedaan pandangan dan pendapat, itulah tabiat fikih. KHGT justru mengangkat dan mengagungkan syariat dengan produk kalendernya yang notabenenya sebagai jawaban dari utang peradaban Islam dalam hal unifikasi waktu ibadah dan manajemen waktu.
Kedua, pernyataan “Ibadah Ramadhan menjadi kacau dengan perubahan awal harinya”, sama sekali tidak ada yang kacau dengan prinsip dan implementasi awal hari dalam KHGT, karena ini hanya soal teknis konstruksi kalendernya, sedangkan secara praktis umat tinggal mengikuti kalender yang telah ditetapkan.
Ketiga, “Shalat tarawih (khususnya di wilayah timur) dipaksa dilaksanakan menjelang tengah malam”. Pernyataan ini tanpa sadar, atau sebenarnya sadar namun menutup diri, sesungguhnya menohok diri sendiri. Bukankah praktik ‘menggantung’ umat Islam di timur selama ini, bahkan hingg hari ini, kerap dipraktikkan setiap tahun? Yaitu umat Islam disana ‘dipaksa’ menunggu prosesi sidang isbat hingga hampir tengah malam? Bahkan sebelum Menteri Agama RI mengumumkan belum diketahui apakah malam itu sudah masuk awal Ramadan/Syawal atau belum, umat Islam disana masih belum memiliki kepastian hingga hampir larut malam. Setelah salat Isya mereka belum tau apakah sudah dapat melaksanakan salat tarawih atau belum. Ini tentu berbeda dengan KHGT yang telah memiliki kepastian sejak jauh hari karena sudah tetera di kalender, sehingga umat Islam disana tidak menunggu-nunggu.
Keempat, “…Menjelang idul fitri, ada masjid pengamal KHGT yang masih melaksanakan tarawih malam terakhir. Itu menyulitkan dan menimbulkan ketidakpastian manajemen waktu ibadah. Praktik dan implementasi KHGT tidak seperti itu. Wallahu a’lam[]