Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU & Kepala OIF UMSU
Fajar (Arab: al-fajr) secara etimologi bermakna pencahayaan gelap malam dari sinar pagi. Para ulama sepakat bahwa fajar ada dua yaitu fajar kādzib dan fajar shādiq. Fajar kādzib (al-fajr al-kādzib) disebut juga dengan fajar pertama (al-fajr al-awwal) karena muncul pertama kali dan berikutnya disusul munculnya fajar shādiq. Tanda alami fajar kādzib adalah ia muncul menjulang ke atas laksana ekor Serigala dan sesaat kemudian menghilang. Sementara fajar shādiq (al-fajr ash-shādiq) disebut juga fajar kedua (al-fajr ats-tsāny), dinamakan demikian oleh karena ia muncul setelah dan atau mengiringi munculnya fajar kādzib. Tanda alami fajar shādiq adalah tampak menyebar di sepenjuru ufuk timur dengan warna keputih-putihan, cahayanya terus bertambah sampai akhirnya terbit Matahari. Menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili, fajar shādiq yang menjadi pertanda dimulainya awal waktu Subuh adalah cahaya putih yang tampak dan menyebar di ufuk timur yang muncul beberapa saat setelah fajar kādzib. Dua fajar ini muncul secara bergantian atau beriringan, sehingga munculnya fajar kādzib menjadi syarat bagi munculnya fajar shādiq.
Dalam konteks modern dan seiring kemajuan tekonologi diantaranya dengan keberadaan dan kemunculan jam, fajar shādiq memerlukan kuantifikasi dalam bentuk posisi atau ketinggian (derajat) Matahari di bawah ufuk. Namun karena petunjuk ayat-ayat dan hadis-hadis terkait tidak memberi definisi definitif dalam bentuk angka (nilai) tertentu, namun bersifat fleksibel dan alami, menyebabkan kuantifikasi dalam bentuk ketinggian (derajat) tertentu menajadi dinamis dan beragam. Dalam hal ini ilmu pengetahuan berperan dan mendapat tempat sesuai metode, temuan, dan perkembangannya.
Sementara itu fajar astronomi adalah terminologi modern di dunia astronomi yang merujuk kepada posisi Matahari di bawah ufuk -18 derajat, selain itu dikenal juga dua fajar lainnya yaitu fajar nautikal (posisi Matahari -12 derajat di bawah ufuk) dan fajar sipil (posisi Matahari -6 derajat di bawah ufuk). Dalam praktik dan perkembangannya, standar tiga fajar modern ini (astronomi, nautikal, sipil) telah definitif dan umum digunakan terutama oleh para peneliti astronomi. Dalam praktiknya lagi, kemunculan dan penggunaan tiga fajar modern ini lebih kepada kebutuhan praktis aktivitas astronomi, sipil, dan oseanografi, sesuai penamaan dan penggunaannya masing-masing.
Karena itu, mengaitkan atau melekatkan salah satu fajar (misalnya fajar astronomi) dengan dalil (ayat) tertentu, misalnya dengan QS. 2: 187 dan QS. 52: 49 sesungguhnya kurang tepat, sebab standar fajar secara astronomis telah definitif yaitu -18 derajat, sementara fajar secara syar’i diantaranya berdasarkan dua dalil ini masih dan sangat dinamis yang dalam perkembangannya saat ini berkisar antara -20 sampai -13 derajat sesuai ijtihad dan penafsiran para ulama dan para periset awal waktu Subuh.
QS. 02: 187 mendefinisikan tanda fajar shādiq dengan “al-khaith al-abyadh” (benang putih) dan tanda fajar kādzib dengan “al-khaith al-aswad” (benang hitam), dimana benang putih dipahami sebagai batas dimulainya puasa yang muncul setelah munculnya benang hitam. Ayat ini hanya menjelaskan batas dimulainya puasa, tidak mendefinisikan secara definitif-kuantitatif (berapa derajat) batasan benang putih dan benang hitam yang dimaksud.
QS. 52: 49 juga sama sekali tidak mendefinisikan secara spesifik fajar astronomi. Melalui analisis para mufasir atas ayat ini didapatkan penjelasan bahwa salat Subuh dilakukan saat bintang meredup (idbār an-nujūm) atau bintang terbenam di ufuk timur. Syekh Muhammad Sulaiman al-Asyqar dalam tafsirnya “Zubdah at-Tafsir min Fath al-Qadir” menjelaskan makna idbār an-nujūm sebagai saat bintang mulai terbenam di akhir malam, sementara itu tasbih (fasabbih) dalam ayat ini sebagai anjuran untuk bertasbih kepada Allah saat bintang-bintang itu tampak di akhir malam (saat bintang meredup) lalu setelah itu dilanjutkan dengan melaksanakan salat Subuh. Disini sekali lagi tampak bahwa tafsir “idbār an-nujūm” dalam ayat ini dinamis, tidak definitif.
Dengan demikian sekali lagi mengaitkan dan melekatkan dua dalil ini (QS. 02: 187 dan QS. 52: 49) dengan fajar astronomi (yang telah definitif -18 derajat) sesungguhnya kurang tepat dan menyempitkan makna dan pesan kedua ayat tersebut. Seharusnya dan idealnya dua ayat itu di posisikan dinamis dan universal, dan ditafsirkan sesuai paradigma yang dikembangkan oleh para mufasir, sebab sesungguhnya secara konten kedua ayat itu berbicara bukan hanya soal awal waktu Subuh. QS. 52: 49 juga berbicara tentang ibadah (tasbih), bahkan ada ulama yang berpendapat bahwa salat yang dimaksud dalam ayat ini adalah anjuran mendirikan salat Magrib dan Isya. Pendapat lain lagi mengatakan yang dimaksud adalah salat sunah dua rakaat sebelum salat Subuh. Demikian lagi QS. 02: 187 yang selain berbicara tentang ‘benang putih’ dan ‘benang hitam’ juga berbicara tentang hubungan suami-istri, batas awal puasa, dan makan-minum (sahur).
Fajar kādzib dan fajar shādiq terkait dan berkaitan dengan aktivitas ibadah, sementara fajar modern (astronomi, sipil, nautikal) berkaitan dengan aktivitas manusia dan sama sekali tidak berkaitan dengan ibadah. Keduanya berjalan sesuai definisi, fungsi, dan penggunaannya masing-masing, dengan demikian pula tidak bisa dirancukan dengan dimana satu fajar tertentu dilekatkan dengan dalil (ayat) tertentu yang berpotensi menyempitkan makna dan tafsir ayat tersebut. Wallahu a’lam[]
Jazakallaah ilmunya Dr. ARwin.. 😊
Terima kasih atas ilmunya